Rabu, 05 Februari 2025

6. Mimpi Buruk


Teriakan itu makin menggores akal sehatku. Suaranya menggema seperti srigala yang terluka. Pilu mencekam. Kedua kakiku kenapa tak mau diajak berkompromi, mana tenaga yang biasa kupacu ketika berlari menyapu setapak dan jalanan berundak-undak. Aku berjalan terhuyung-huyung menghampiri suara itu.

Di ujung jalan setapak menuju hutan terlarang sabuk, Intan tengah memeluk kakaknya yang bersimbah darah. Ia melepaskan pelukannya dan bangkit mendekatiku dengan tubuh gemetar, sorot matanya membuatku semakin gelisah.

"Plak!" pipiku terasa panas. Di susul tamparan kedua dan ketiga. "Kakakku mati!, kenapa kau lama sekali!" katanya sambil menyeka air mata dan darah secara bersamaan. Ia diam mematung, sementara darah terus saja mengucur dari balik batok kepala kakaknya.

"Pergi!" katanya lantang, kedua matanya membesar. Dadanya naik turun. Wajahnya memucat, matanya memutih, senyumnya amat ganjil, dan tiba-tiba ia menyeringai dengan ganas. Tanpa memberiku waktu yang cukup untuk mencerna semua hal, ia sudah menerkamku dan mulai mencabik-cabik batang leherku dengan giginya yang runcing. Ia mulai sesak nafas dan pandangan semakin kabur. Apakah aku akan mati dengan cara seperti ini?

Lalu gelap menyergapku untuk beberapa saat.

"Ben." Suara itu memantul-mantul di telinga. Tubuhku terasa kaku dan seolah ditarik oleh kekuatan yang melimpah dari kejadian yang mengerikan.

"Ben!" Suara itu kukenal, ia terus memanggil namaku berkali-kali.

Cepat sekali mataku terbuka, mungkin jantungku berdenyut terlalu cepat. "Kau mimpi buruk lagi" kata Ibu pelan dan akrab. Sentuhan tangan Ibuku telah menyelamatkan mimpi buruk yang kerap kali menyiksa.

"Semakin buruk Bu," ucapku lelah.

"Minumlah."

Kutandaskan segelas air putih dari mug di bawah tatapan lampu lima wat. Setiap mimpi buruk tubuhku selalu banjir keringat dan perasaan aneh.

"Mungkin kau perlu menjenguk sahabat lama," ucap Ibu.

Pintu garasi berderit pelan dan melangkah masuk menyusuri halaman panti. Kubetulkan sweter merah marun. Kulihat sebuah bangunan kecil yang cerobong asapnya sedang bekerja keras. Aroma kue rangi menebar sepanjang halaman panti.

Langkahku terhenti oleh laku seorang gadis yang tengah memetik bunga Rosela ditemani oleh Suster yang telah kukenal, suter Mari. Ia telah mendampingi Intan sejak ia masuk ke panti rehabilitasi ini.

Aku memberi isyarat pada Suster Mari.

"Terimakasih suster Mari,"

Intan masih tekun memetik bunga Rosela sampai ia menoleh ke belakang dan memekik keras. Ia bertepuk tangan sambil melompat-lompat sebentar dan memeluk keranjangnya erat. Ia tersenyum selebar papan kayu, matanya juga membesar.

"Apa kabar Tan," sapaku tepat di depan wajahnya yang semakin dekat. Baru beberapa detik di depannya. Matanya sudah berkaca-kaca, mengikilat tak terbendung lagi.

Hidungnya mengendus-endus, nafasnya terasa hangat ketika menyentuh permukaan wajahku. Aku tak menghindar, ia justru mencari tatapan mataku yang sekarang masih menyisakan misteri baginya.

Ujung jarinya menarik-narik sweter yang ia kenakan. Ia sibuk berputar mengelilingiku sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Kau sudah sarapan?" tanyaku lagi.

Intan membalas dengan deretan gigi-giginya yang putih. Aku merasa lega.

Kuberi isyarat pada suster Mari agar menggantikan peranku selanjutnya. Aku berjalan menuju toilet dan keluar dengan wajah basah. Ada kegembiraan sekaligus sisa-sasa yang mengerikan. Kuharap ia bertahan, entah sampai kapan. Sampai waktu yang bicara.

"Ini bunga kesukaanmu, kau ingat?" Tanyaku pelan. Kutunggu reaksi yang mungkin bisa berbeda dari pertemuan yang telah beberapa kali terjadi. Sampai kapan, aku juga tak tahu.

Intan tersenyum membentuk palung pada pipinya. Bentuknya agak dalam, lalu kembali seperti semula ketika sibuk mengangguk-anggukan kepala. Kedua kakinya mengais-ngais

Intan menerima bunga mawar itu dan mulai melucuti satu persatu kelopaknya sampai tak tersisa. Lalu ia memasukan kelopak-kelopak itu dalam stoples tembus pandang. Aku tersentak ketika kepalaku ditaburi oleh ratusan kelopak yang keluar dari stoples. Intan tertawa lepas dan berpaling pada kursi goyang. Tanpa menunggu waktu yang lama ia sudah berubah dingin dan memandangku seperti mahluk asing yang harus kujauhi. Bibirnya mengatup rapat membentuk sebarisan benteng yang kokoh. Ia menggumankan sesuatu seperti sebuah nyanyian atau ratapan. Aku merasa ia tampak wajar dan normal.

"Pergi!, Dasar pecundang!, Banci!, Modal bacot doang!" katanya. Sumpah serapah selanjutnya adalah kesedihan dari bulir-bulir air matanya. Intan memeluk boneka kayu. Dan lari menangis sepanjang lorong panti. "Beni Banci...!" teriaknya. Disusul tawa mengikiki layaknya 'binatang' malam.

Mungkin yang dibutuhkan sekarang adalah memberinya jeda agar keberanian itu terus ada. Lalu ia bisa menghapus mimpi buruk yang kerap datang.

Aku duduk di kursi kayu trembesi, dipayungi dahan waru. Tempat dimana Intan selalu merajuk untuk dibuatkan layangan dari duan ini. Setelah berhasil menerbangkannya, Ia akan bersiul-siul sepanjang waktu. Dan selalu menyempatkan diri mengetuk pintu jendela, mengucapkan terimakasih. Ketika kubuka jendala ia telah lenyap sambil meledekku; pangeran kesiangan. Aku rindu itu.

Suster manghampiri seperti biasa. Ia melambaikan tangannya. Tangan kanannya menjinjing tas kertas. Pisang goreng yang dihidangkan telah tandas kedalam perut besar ditelan teh tawar panas.

"Ini buatan Intan, katanya ini hadiah ulah tahun buat 'kakaknya'" ungkapnya sambil tersenyum meledek.

"Sudah lewat satu minggu." kataku.

"Ia membuat sampai larut malam."

Kuterima hadiah ulang tahun. Suster Marni pamit setengah berlari. Ia melambangkan tangan dalam jarak tertentu. Aku pulang menutup gerbang putih dan menyelot sendiri. Kulihat lantai atas. Sebuah horden terbuka, Intan menatapku kosong. Kulambaikan tangan. Ia tak membalas. Aku balik kanan.





0 Comments:

Posting Komentar