Udara terasa lebih segar. Kiera duduk di kursi roda, ayahnya mendorongnya dari belakang. Keduanya berhenti pada satu gerbang besar dan mengisi buku tamu, lalu mereka berjalan menuju kotak Donasi. Taman Pustaka bunga Bandung segera menyapa mereka, dengan aneka macam bebungaan sedap dipandang.
"Yah kenapa ibu tak pernah pulang. Apa ia tidak kangen dengan kita," kata Kiera.
"Ayah tidak tahu."
"Apa ada pria lain yang lebih kaya." Kiera tampak sinis.
"Kiera?" ungkap ayahnya sambil mengatupkan kedua rahangnya.
"Ibu sudah memutuskan sebuah ikatan."
"Ikatan dengan ayah mungkin telah terurai, tetapi denganmu, ikatannya tetap menyambung sampai kapanpun.
"Rumah di Jakarta bagaimana Yah."
"Ayah jual, buat persiapan kuliahmu."
"Ayah dengar kau punya teman dekat di sekolah, siapa namanya?"
"Kok ayah tahu?"
"Itu tidak penting?"
"Namanya Beni, biasnya dipanggil Ben. Ia kadang pendiam, ceria, cool, cuek, rambutnya grondong, sedikit jutek, tapi ia cowok yang baik," kata Kiera. "Kau suka," celetuk ayahnya.
Kiera memandang bunga-bunga yang sedang bermekaran. Semilir angin menyapu jilbab yang menutupi kepalanya yang botak.
"Maaf, kau tak nyaman dengan pertanyaan ayah."
Kiera menggelang. Ia kembali memandang taman-taman indah berisi aneka macam bunga-bunga.
"Sosok Beni memberi saya semacam semangat," ucap Kiera. "Apa itu salah, rasa suka hadir begitu saja." Tambahnya
"Kapan-kapan kau ajak ke rumah dong?"
Pak Alex mendorong kursi roda sampai ketengah taman pustaka Bandung hingga kakinya letih melangkah. Memeluk pundak Kiera dengan lembut, seperti sentuhan ketika Kiera baru menginjakkan kakinya di Kota Purbalingga. Tuntutan pekerjaannya membuat Kiera mengikuti kemanapun ia bekerja. Selama di Rembang, Kiera menginap di rumah bibinya.
"Kenapa ayah harus berpisah dengan Ibu sih," Kiera bertanya kembali. Terdengar helaian nafas panjang dari ayahnya.
"Ayah tak pernah meninggalkan ibumu. Mungkin ayah yang jarang memperhatikan Ibumu."
"Soal Ibu kawin lagi apakah itu benar."
"Ayah hanya berharap semoga ibumu menemukan kebahagiannya."
"Saya tak tahu cara berpikir ibu, ia manusia atau monster sih, demi uang ibu tega meninggalkan kita," sewot Kiera.
Keduanya terdiam. Langit tampak bersih, kumpulan awan mengarak-arak. Seputih kapas, membentuk gugusan.
"Ayah tahu nggak kemotherapi nano?"
"Baru dengar, kamu tahu dari mana."
"Naura, teman sekolah."
"Nanti ayah cari tahu."
Malam semakin pekat, Pak Alex duduk di ruang tamu dengan segelas kopi gayo sebagai temannya. Ia tampak serius. Wajahnya datar. Ia terlihat sedang membaca sebuah artikel di ruang tamu. Kedua matanya menubruk kalimat yang mulai menganggu pikirannya.
"Kemoterapi nano adalah salah satu terapi minim resiko dalam pengobatan kanker. Konsentrasi partikel nano dalam waktu lebih lama meningkatkan tekanan darah di jaringan kanker. Akibatanya, aliran darah yang keluar-masuk tumor pun terhenti. Karena tak mendapatkan asupan makanan yang diantar darah, perlahan sel kanker mongering. Setelah itu barulah butiran nano pecah, obat tertahan selamanya dalam jaringan tumor."
Pak Alex menutup majalah yang dipesan dari salah seorang teman. Ia menyeruput kopinya yang tak lagi mengepulkan asap. Tangan kanannya menjambak-jambak rambutnya tanpa menyakitinya. Ia meletakkan majalah tersebuat pada rak yang kosong. Ia melangkah masuk dan menutup pintu rumah serta menyelotnya.
Kiera tertidur sambil memeluk buku hariannya. Ayahmu mengambilnya hati-hati meletakannya diatas meja kecil. Ia mengambil selimut dan menghamparkan sampai sebatas leher.
Ia kembali duduk di luar. Bandung sedang nyenyak diselimuti kabut tipis yang pelan-pelan bertengger dipucuk-pucuk pohon.
Ia mengati buku harian putrinya, sampulnya berwarna merah muda. Lalu ia membukanya.
***-Untuk Beni-***
Ayahnya tersenyum membaca judulnya. Beberapa lembar foto ada didalamnya. Ia mengambil foto-foto itu. Melihatnya. Dan ia mengucek matanya berkali-kali. Ia pun mulai membaca halaman demi halaman. Ia terlihat semakin sering mengucek matanya. Kalau mau tahu, itu sangat merepotkan. Karena menghapus jejak itu lebih sulit dari pada membuat jalan setapak.
0 Comments:
Posting Komentar