Minggu, 23 Februari 2025

21. Soal Nikah Muda

Malam belum terlalu larut.

Aku dan ibu duduk di atas kursi rambang yang dianyam sendiri oleh kedua tangan ayah. Ibu tengah menyeruput teh rosela. Teh yang berwarna magenta atau merah tua setelah diseduh dengan air panas ataupun dingin. Teh dengan rasa asam ini mempunyai kandungan antioksidan yang tinggi, mampu menghalau serangan radikal liar yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan tubuh. Kuketahui dari majalah yang kutemukan di perpustakaan sekolah.

"Bu?"

"Hemmm, ada apa?"

"Ketika kita ada pilihan, perlukah menjadi orang lain?"

Ibu menghentikan acara minum tehnya. Ia menatapku lembut, tapi tidak seperti di film-film kolosal.

"Tak perlu jadi orang lain dalam posisi apapun. Kalau kamu berubah menjadi pribadi asing yang kau sendiri saja tak kenal, maka itu akan merugikan dirimu sendiri. Demi tuntutan "pilihan" kita kadang sering mengabaikan sebuah peran lain."

"Bisa lebih sederhana."

"Ben, setiap orang memiliki hak untuk menyatakan rasa suka (cinta). Tapi ingat Ben, Maharnya harga diri adalah citra diri. Cinta itu tidak buta, tapi kadang menuntut tumbal agar membutakan siapa saja."

"Jika ada orang diperlakukan begitu berbeda oleh seorang gadis, kita perlu bentengkah?"

"Intimidasi setiap jejak langkah. Jika perlakuan hangat membuat persahabatan kalian jadi erat, bagi ibu itu tak masalah. Cinta lahir tanpa motif apapun. Ia suci dan mensucikan. Cinta yang benar itu mendewaskan bukan mengkerdilkan sudut pandang. Menurut Ibu, ada yang salah dengan cara berpikir segilintir orang. Membunuh 'harus' ada sebab. Padahal pembunuhan banyak terjadi karena ingin-nya membunuh, penyebab lain hanya penyempurna saja. Mungkin sama dengan hati, ataupun cinta. Cinta muncul dari ketulusan hati. Bukan dari sebab dan musabab, itu terlalu klise. Jika rasa hilang, maka cinta tinggal jejak pasir. Bila ada gadis menukar mahkotanya demi cinta, maka cintanya telah membunuh logikanya. Menyisakan lelaki miskin tanggung jawab atas benih yang telah dibenamkan melalui pipa tak bertulang. Kalaupun mereka bertanggung jawab, bukan dari ketulusan yang mendalam, tapi dari penyelasan atas nama baik keluarga. Parahnya lagi hanya pencritaan semata."

"Jika malah melahirkan jarak."

"Cinta yang murni itu melahirkan kekuatan pikiran. Dapat mengenali resiko. Meski tampak rentan. Ada solusi pada setiap tumpukan jarak. Terkadang jarak mendewasakan sebuah hubungan."

"Sampai saat ini aku masih bingung untuk bersikap Bu?"

"Ben, cinta itu sederhana. Komitmenlah hingga tampak elegan, lalu lahirlah pisau setia. Ketajamannya bisa merobek hal-hal yang rumit"

"Kalau ikatan rasa itu terlalu kuat bagaimana?"

"Urailah ikatan itu agar tak jadi rindu bertindih-tindih. Meski itu sulit, Ibu tak mau melihatmu sakit gara-gara cinta buta. Longgarkanlah ikatan itu meski kau harus kehilangan. Karena cinta yang tak punya alasan yang benar, semua itu adalah topeng monyet, palsu, dan munafik."

"Kalau sulit?"

"Gunakanlah waktu sejenak untuk mengistirahatkan harapan. Anak muda sekarang menyebutnya apa ya inval..., eh bukan, wah ibu lupa."

"Interval."

"Yah itu, Ibu lebih suka menyebutnya dengan jeda."

"Pertahankan atau mengalir saja."

"Untuk sekarang, jadilah air mengalir pada tempat yang indah, bukan got atau comberan. Jadilah sahabat yang menjujung kejujuran, kehormatan, kasih sayang, serta ketulusan sebagai bentuk pertahanan."

"Bu, Naura pernah ngajak nikah muda."

Ibu menatapku dengan mata burung hantu. Lalu ia bersender pada kursi. Kepalanya ditempelkannya pelan-pelan. Matanya menutup seperti buaya. Ini saat yang kutunggu-tunggu. Setelah membuka matanya, ia akan mengatakan hal yang mencengangkan. Kutunggu hampir lima menit, ia tak kunjung membuka matanya. Aku masih bersabar. Yang terjadi hening. Belalang Kerik di luar sana bahkan terdengar lebih nyaring.

"Bu." Ku panggil sekali lagi. Tak ada jawaban. Ternyata Ibu tak kuasa menahan kantuknya. Nasihat dari kak Egi agar tak tidur setelah makan, menguap begitu saja.

Aku beranjak dari duduk dan pergi ke kamar. Mengambilkan selimut untuknya. Ketika keluar dari kamar kami hampir bertubrukan.

"Ku kira ibu tidur, ibu pura-pura ya."

"Ibu belum punya jawaban soal pertanyaan terakhirmu. Ibu perlu..." Ibu tak meneruskan kata-katanya.

"Perlu apa Bu, interval" kataku penasaran.

"Ya pintar kamu, sekalian ngingetin kamu kalau besok ada UN, soal nikah muda, itu soal mental, dan persiapan lain, apakah kamu sudah siap?"

"Fisik sih siap bu, tapi.."

"Ibu juga dilamar oleh ayahmu saat Ibu berusia 16 tahun, jadi kalau kamu ingin nikah muda, ibu dukung? bagaimana?"

Tiba-tiba sebuah pisau kasat mata menghujam tepat di jantung. Hening ditingkahi senyap.

"Kenapa?, kok nggak dijawab."

0 Comments:

Posting Komentar