Tanpa basa-basi aku naik angkot lalu menghempaskan tubuh duduk paling pojok. Di dalam angkot nuansa perpisahan justru semakin menyebalkan. Suara musik familier menyentuh gendang sukma. Sebuah lagu berjudul Dan milik Sheila On Seven tengah mengalun.
Penumpangnya hanya ada dua. Aku dan seorang Ibu kira-kira seumuran ibuku. Ia dikelilingi oleh barang belanjaan di sekitar tempat duduknya.
Angkot melewati jembatan Kali Klawing, ia masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Semoga tetap kokoh setia melayani sampai anak cucu. Di bawah jembatan para pemancing duduk beralaskan akar besar pohon beringin menunggu umpannya disambar ikan Tawes atau Patin. Tetap setia pada titik-titik nasib yang mungkin bisa merubah takdirnya suatu saat nanti. Mendidihkan kemiskinan yang menggelayut manja, lengket, dan menjengkelkan.
Angkot berhenti di daerah Trenggiling. Ibu itu turun disambut oleh lelaki berkumis tebal, kekar, tinggi menjulang bagai raksasa. Betisnya seperti atlet pelari. Tangannya kokoh berotot mengangkat rinjing besar. Ia memindahkan barang belanjaan itu satu persatu ke atas becak.
"Aku pulang," kataku setelah membuka pintu dan berucap salam.
Aku terkejut di ruang tamu ada Kiera, salah satu putri titanium dari klan bidadari tengah duduk ditemani ibu dan ayah.
Ayah menyapaku, lalu ia pamit melanjutkan pekerjaannya. Ia juga meninggalkan sebuah kode sambil tersenyum.
*** "Saya pamit kak, sudah dari pagi sudah di sini menemani ibu memetik kopi, pergi ke kandang ayam dan menikmati seduhan teh rosella."
"Kau antar Kiera ya?"
"Ya bu."
Kiera mengangguk dan tersenyum. Bukankah itu terlalu boros. Seharunya ia simpan untuk lelaki yang jauh lebih baik.
Kami berdua terdiam lagi. Jalan menurun membuat kami fokus agar tak jatuh terpeleset. Pikiran kami masing-masing menerawang tak tentu arah.
"Bagaimana kabar kak Naura ya, kau tahu?"
Aku menggeleng. Ia tersenyum lagi.
"Kakak nggak rindu."
"Untuk apa, kami berdua memang dekat, tetapi tanpa ikatan. Aku tak cukup berani untuk melampaui hal-hal yang di luar garis persahabatan."
Kami duduk di halte Kaligondang memandang ke depan.
"Kak Ben, nanti malam kau sibuk."
"Nggak, kenapa."
"Ayah saya ingin ngajak kakak makan malam."
Aku diam tak ingin menjawab. Kuharap ia segera lupa.
"Kenapa kak, kau sibuk."
"Aku akan datang, Insyaallah." Jawabku dengan nada datar. Mencoba menakar perasaan senang dan penasaran. Kenapa ayah Kiera ingin mengundang makan malam. Kalau aku menolak undangan dari ayahnya, kuanggap diriku mahluk paling sombong sekecamatan.
"Terimakasih ya kak?" wajah Kiera ceria.
"Apa pentingnya Insyaallah dalam hidup kakak," Tanya Kiera, ia tidak sedang mencela atau mengumpat. Ia mungkin punya alasan sendiri. Atau bagian dari keyakinan baru yang belum lama dipeluknya.
"Ada hal yang diluar jangkuan kita. Kadang situasi tak bisa kita kendalikan, meski telah berusaha keras."
"Seperti ketetapan Tuhan bukan."
"Kau benar."
0 Comments:
Posting Komentar