Seorang guru selain ia bisa memberikan ilmu (materi) kepada peserta didik selayaknya memiliki kemampuan lain, diantaranya: Mengukur dan Menakar. Ia bisa menilai, paling tidak bisa mengira-ngira mana yang sudah kategori murid yang tingkat penyerapannya tinggi (High), Sedang (Midlle), atau Rendah (Low), kenapa begitu?, karena pada saat tertentu guru menahan diri untuk tidak menyamaratakan kemampuan yang dimiliki oleh si murid, ia harus bisa mengontrol ilmu pengetahuannya agar tidak menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Pada tahap tertentu ilmu itu akan membelit dirinya sendiri, jika murid tampak kebingungan mencerna apa yang disampaikan oleh gurunya. Syukur-syukur jika guru mampu menjernihka ulang pikiran murid, kepada pemahaman seutuhnya, kalau tidak guru akan tampak 'bodoh' meski tidak 'bodoh' dalam arti literalnya. Ia akan mengalihkan kondisi kebingungan murid dengan kalimat; "Ini sudah pernah dibahas," kalimat (ini sudah pernah dibahas) satu sisi memberikan instruksi agar murid mencatat dan mengingat pelajaran yang sudah diberikan oleh guru, sisi lain adalah bentuk pembelaan atas lupanya guru akan konsep yang ia pahami, karena mungkin rentang waktunya yang lama. Hingga ketika murid menemukan kesulitan, guru tidak cakap untuk memberikan pemahaman sekaligus pengulangan atas materi yang perhan disampaikan.
Logika ini terpakai bagi saya sebagai pengajar--mendekati pendidik, menjadikan semacam peredam agar selalu mencari ukuran intelektual tertentu bagi pada muridnya. Karena masih dalam proses belajar bukan sudah melewati fase membaca seluruh kitab dan buku tertentu secara utuh dengan perangkat yang sudah final, seperti guru kebajikan untuk semua kalangan (Ustaz Adi Hidayat, Ustaz Abdul Shomad, Ustaz Khalid Basalamah, Gus Baha, Buya Yahya, Ustz Felix, Aa Gym, Omar Mitha, Ari Ginanjar, dan para mentor sekaligus fasilitator yang sudah melewati fase utuh dalam proses mendidik), jika konsep penimbangan saya ini pun keliru, ada banyak hal nantinya yang bisa menakar paradigma saya.
Level menakar adalah proses menilai sejauh mana konsep yang ia ajarkan bisa di aplikasikan (diamalkan) melalui tindakan paling sederhana sekalipun. Pada titik berikutnya menjadi pijakan bagi murid untuk menjadi pemahaman utuh versi dirinya, tanpa kehilangan teks dan konteknya. Ini mungkin yang paling mahal dalam ranah mendidik.
Menakar dan mengukur seperti sedang memberikan intruksi agar berbicaralah sesuai dengan kaumnya. orang-orang yang terbiasa dengan pembacaan buku dengan kemauan tinggi, seperti menuangkan air dalam gelas tanpa tumpah satu setes pun. Air yang tumpah dari tuangan gelas itulah yag menjadikan penyerapan murid menjadi berbeda, karena isi kepalanya berupa neuroplastisitasnya tidak pernah diperbaharui melalui stimulus paling 'sederhana' sekaligus rumit yaitu membaca.
Melanjutkan kata ini sudah pernah dibahas adalah bentuk pengalihan psikologi dari guru kerena 'ketidakhuan' non permanen pada situasi yang ia tidak duga sama sekali, lalu masuk pada wilayah kebutuhan untuk menambah epistimologi sang guru agar sampai pada taraf melengkapi kebutuhan murid atas satu ilmu yang sempat tersendat. Ini menjadi parameter bagi saya untuk masuk pada wilayah perburuan buku-buku selanjutnya, agar nanti ketika menyantap buruan (buku) sudah dalam keadaan 'sadar' untuk membenamkan seluruh kemampuan pada penangkapan isi bacaan yang selanjutya ditindak lanjuti sebagai visi pribadi, yang kemudian menjadi paradigma kultural.
Cekap Semanten.
0 Comments:
Posting Komentar