Selasa, 28 Januari 2025

ISTANA CACING

“Hara, sudah waktunya kau cari Paman Coran. Tanah yang kita huni sudah semakin beracun, petani-petani itu sudah kerasukan, tega sekali menyiram air terlarang kedalam tanah berjuta-juta ton,” ucap Annelida sebagai ratu cacing.

“Mereka para petualang, sangat sulit dicari ibunda,” ucap Hara.

“Untuk apa kau kulatih di tanah yang ditimbuni banyak plastik, lalu kau menyerah sebelum berperang.”

“Baik Ibunda,” kata Hara.

“Sebelum berangkat besok, kau bawalah beberapa temanmu yang cakap. Ahli ruangan, Senjata, dan juga pandai membuat terowongan,” ucap sang Ratu. “Aku bisa sendiri Ibunda,”

“Kau lebih kuat, jika bersama mereka,”

Hara berangkat bersama ketiga temannya. Atas saran Gobed si ahli ruangan, mereka berangkat menyusuri selokan demi selokan, pematang demi pematang, tanah berpasir, dan sebuah bukit kecil. Di sanalah Coran tinggal bersama keluarga dan handai tolan.

“Kau harus menghindari selokan itu, di sana biasanya jam segini orang-orang itu membuang limbah pabrik, baunya membuat pusing kepala, dan airnya membuat permukaan kulit kita terbakar,” ucap Gorim, cemas.

“Terimakasih Gorim,” ucap Hara.

“Kalian duluan, perutku mules, kemarin terpaksa yang terpapar limbah,” ucap Golen.

Mereka mulai berjalan secara bersamaan hingga sampai di pematang sawah, mereka menulusuri rerumputan basah, matahar hangat membuat mereka tampak semangat. Tak henti-hentinya mereka bernyanyi untuk menghibur diri dari ketakutan yang bisa membuatnya celaka.

“Sembunyi!” teriaknya, meski Golen si ahli terowongan sudah berteriak, tetapi Hara teman-temannya terus saja bergerak. Seekor burung semak tengah berpatroli mencari sarapan pagi untuk keluarganya.

“Teman-teman sembunyi!, bahaya!, bahaya!” teriak Golen yang suaranya hampir hilang ditelan angin. Ia pun mengeluarkan cairan dari tubuhnya sebagai tanda peringatan.

“Kuharap mereka mencium bau yang kukeluarkan,” bisiknya. Ia pun terus mengeluarkan cairan khusus tanda bahaya.

“Kau cium bau busuk itu,” tanya Gorim pada Hara.

“Bau Golen, berhenti!” teriak Hara.

Golen bernafas lega, seluruh tenaganya hampir habis. Ia telah mengeluarkan salah satu senjata pamungkas yang membuat tubuhnya bergetar dan berminyak lebih banyak dari biasanya. Nafasnya tersengal. Mereka menghampirnya.

“Ada apa Golen,” tanya Hara.

“Burung semak sedang mondar-mandir, kalian berhati-hatilah, tinggalkanku sendiri, nantiku menyusul, aku belum cebok” Golen melipir menuju satu lubang lembab disanalah ia berhibinasi untuk waktu tertentu. Ia menutup hidungnya, bau belerang menyeruk ke segala sisi.

“Cari tempat yang nyaman!” ucap Gorim sambil lari masuk dalam celah tanah yang cukup dalam di susul Hara dan Gobed. Dari dalam tanah mereka menatap paruh burung yang tajam, cakar yang kokoh, mengais dan mematuk-matuk tanah sepanjang pematang sawah. Hasil patukannya membuat tanah-tanah sekitar hancur dan masuk kedalam celan tanah, di mana Hara dan teman-temanya sembunyi.

Burung semak terus berpatroli, gerakan kedua kakinya lincah, butir-butir tanah sampai masuk kedalam.

“Lari..!” teriak Golen, “Lompat ke sungai!, cepat!, jaga ibuku?! tambahnya. Golen tertangkap burung semak. Tubuhnya menggeliat keras di paruh burung semak. Ia terus berteriak memberi peringatan pada pada Hara, Gorim, Gobed. Gobed yang tubuhnya lebih besar menarik tubuh Hara, dan menggendongnya di punggung. Sementara Gorim berusaha membuka jalan.

Sungai kecil dangkal cukup deras. Diujung cabang sungai itu ada bukit kecil, tempat Coran bermukim bersama keluarga dan pasukannya.

“Turunkan aku Gobed, kita pasti akan tenggelem dan terserat arus bawah,” ucap Hara.

“Tidak, percayalah,” Gorim meyakinkan.


“Pengorbanan Golen akan sia-sia!” teriak Hara, disusul isak tangis.

Burung semak tinggal satu langkah lagi. Di saat yang bersamaan, ketiga lompat ke sungai kecil yang dangkal dengan air cukup deras. “Ibu...!” teriak Hara.

Ketiganya masuk sungai. Tubuh mereka limbung pontang-panting terbawa arus sungai. Hara nyaris tewas, manakala sebuah dorongan kuat dari Gobed berhasil mendorongnya kepinggir. Dengan sisa tenaga, Gobe mendorong tubuh Hara dan Gorim yang sudah lemas. Sementara tubuh Gobed timbul tenggelam. “Sudah waktunya,” ucap Gobed.

“Apa yang kau katakan, cepatlah naik,” bisik Hara lemah.

Gorim nyaris tak bergerak, hanya nafasnya yang menandakan ada kehidupan.

“Titip Gorim ya, nanti malam ia harus minum obat, ia sering lupa. Itu wasiat ibunya. Aku pergi dulu,” ucap Gobed. Tubuhnya mengejan dan mengeluarkan aroma bawang. Ia sekarat. Tubuhnya hanyut terbawa sungai kecil yang berarus deras.

“Gobed...!!! teriak Hara. Tubuh air yang deras menelan tubuh Gobed. Hara ambruk, pandangannya kosong, dan ia tertidur lelap. Daun talas yang besar menahan mereka dari tenggelam.

“Itu mereka tuan,” ucap salah satu pengawal Coran.

“Cepat lepaskan jaring!” perintah Coran.

“Siap tuan!”

Jaring diturunkan tepat sebelum mereka hanyut ke sungai yang lebih besar. Hara dan Gorim terbangun.

“Kita selamat Hara,” kata Gorim lemah.

Hara mengangguk lemas.

“Aku kehilangan dua temanku Paman, mereka anak-anak yang hebat.”

“Kita semua akan betemu mereka nanti? Ucap Coran menenangkan.

Gorim datang memakai baju hangat. Wajahnya lebih segar. Ia bergabung besama Hara dan Coran

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan tempat tinggal kalian,” tanya Coran.

“Manusia tiap hari membuang limbah ke dalam tanah, banyak teman-teman kami tewas, dan tumbuh tidak sempurna. Kami berniat pindah mencari tempat tinggal baru,” jawab Hara.

“Setalah kalian pulih. Kembalilah bersama pasukanku. Jemput Ibumu dan seluruh penduduknya. Kita akan cari tempat yang lebih aman,” tutur Coran.

“Kemana Paman?”

“Kampung halaman Ibumu, Istana Cacing.”

0 Comments:

Posting Komentar