Minggu, 12 Januari 2025

API TEKAD SEORANG GURU

BABAK 4

Dalam Diorama Guru Magang dan Sang Penjaga

Close Reading (pembacaan dekat) atas nama pengabdian dan api tekad seorang guru. Bagaimana pendidik mengekstrasi karakter dalam setiap individu dan subyek hukum lainnya, misalnya pedagogi, psikologi, dan seterusnya. Nantinya diharapkan ada siswa-mahasiswa yang akalnya diisi oleh pengetahuan, raganya diisi oleh kekuatan, dan ruhaninya diisi keimanan. Ini selaras pendidikan yang diinisiasi oleh Nabi Muhammad Sollohualaihi wasallam kepada para sahabat sebagai murid-murid terbaik abad kejayaan islam. Kejayaan seperti itulah yang perlu dikekalkan sampai bertemu lagi dengan beliau, Nabi Muhammad Saw.

Api tekad menjadi guru magang di sebuah sekolah bukan perkara mudah, diabaikan, ditelantarkan begitu saja. Mesti ada pilihan kepribadian yang hendak dimunculkan, bukan untuk gagah-gagahan, tetapi lebih kepada perayaan atas pencapaian atas sebuah nilai, yaitu pengabdian terhadap sebuah nilai itu sendiri (misi). Jalannya kadang rumpang, tetapi sesungguhnya ia hendak menampilkan satu elitis yang tidak hanya bermain pada wilayah benefit semata. Ia longgarkan mencapai titik pada wilayah sensori yang tak terhingga. Dengan kata lain, tidak mudah mlempen pada reaksi-reksi tertentu yang berangkat dari wilayah personal yang kadarnya terlalu rendah. Guru magang menindaklanjuti dirinya mencapi titik klimaks pada nuansa rigid hingga tak mudah disusupi oleh persoalan-persoalan yang rendah visionernya, sebut saja praduga-praduga, asumsi-asumsi, dan segenap reputasi yang dibangun dari segenap ketidaksukaan pada indvidu. Ini menyedihkan.

Kepemimpinan seorang kepala yang pemimpin bisa memberikan satu alasan penting pada guru magang. Ketika menjadi guru magang di sebuah sekolah baru mendatangkan ketercapaian pada kesadaran akan predikatnya sebagai seorang guru, pendidik, pengajar, mentor, fasiltator, pendampingn dan seterusnya. Kata-katanya mungkin sudah diucapkan berulang kali oleh pendidik yang bertebaran di bumi pertiwi ini. Sedapat mungkin lahir dan bisa memaknai dengan cara lain, memperbaharui apa-apa yang usang dan mengokohkan apa-apa yang sudah jalur pendampingan. Tidak bermaksud untuk memuaskan birahi guru baru yang magang, setidaknya bisa meredam egosentris yang membuncah siap menyapu siapa saja kapan saja.

Diorama seorang guru magang dibangun berdasarkan pengalam sebelumnya. Ia dengan sadar melihat tempat magangnya dengan latar belakang penilaian sebelumnya. Entah ia sebagai seorang yang benar-benar pendatang baru, atau seorang yang masuk dalam line up premier meski memijak bumi dan mengosongkan gelas lain. Membiarkan sejenak wadah lain yang sudah terisi penuh dengan pengalaman-pengamalan yang mewah, dan bisa menahan diri agar tidak terjebal pada penuturan serba tahu. “berbicaralah sesuai kaumnya” bisa menjadi semacam peraturan diri agar tidak mudah berkhotbah pada situasi yang mestinya rendah hati, inisiatif tanda ia bergerak, membangun reputasi bagus, mencitrakan diri halal, tetapi menghargai tuan rumah adalah kebijakan lain, meski ia datang dengan perbekalan yang berlimpah jika tak dibilang cukup. Berkeinginan mengubah segala hal mestilah dikontrol, niat baik saja kadang tidak cukup, jika kantong meminta cara (saran) saja jauh panggang dari api.

Ekstrasi karakteri guru baru dengan membawa catatan lama bisa melahirkan sikap penting atau tidak penting, atau apriori yang brutal. Semua pemula pada yang sama memiliki buku yang berisi catatan lama sebagai panduan ia melangkap sekaligus merespon setiap lintasan yang muncul dalam peredarannya. Misalnya, menghitung setiap kegiatan dengan rupiah yang bisa didapat adalah salah satunya, betul semua orang memerlukan uang itu sebagai sarana, bukan sebagai tujuan, meski ini sangat tipis bedanya. Perbedaannya pada keihlasan yang kalian sendiri dan Tuhan yang bisa mengukur dan menakar. Pandua buku berisi catatan lama kalian 'simpan' dulu, bukan untuk dibuang, tetapi buka halaman baru untuk mencatat sekaligus menerjuni setiap reaksi dan respon positif dan negatif, agar nantinya bisa bergulat dengan tindakan atas dasar tidak hitam putih tetapi dari seluruh sudut pandang yang ada. 

Sebagai mentor di sekolah alam, dan saat itu menjadi guru baru berstatus magang, mencoba membuka kran dialetikanya. Ia seperti menyadari betul bahwa pembaca buku mestilah memiliki pikiran terbuka, dan mengabaikan sejenak tentang teknis penulisan dan seterusnya agar memperoleh beragam cara tutur yang bisa diserap, dan terhindar dari katak yang selalu merindukan tempurungnya .

Kemungkinan dari setiap guru adalah mahir menciptakan tempurung untuk pikirannya sendiri. Sehingga untuk mengaktifkan bluetoth yang dimiliki menjadi kesukaran tiada tara. Apakah hanya kematian yang dapat membuka pikiran terbaiknya?. Adakalanya Firaun menjadi tolak ukur dari kegelapan yang terus menutupinya, sampai nyawa tercerabut dari badannya. Seperti itukan dialektika yang ingin dibangun wahai para guru?

Ia pun memperlakukan dirinya sebagai pembaca baru atas lembaga yang ia ‘baca’ sebagai laboratorium hingga penilitian-penelitian atas nama pengabdian tercetak jelas dalam langkah, pikiran, juga tindakan. Yang nantinya bisa menjadi penjaga definisi atas peran dirinya sebagai seorang guru.

“Seorang guru ketika melewati gerbang (pagar) sekolah, mestilah ia meletakan pakaian terbaiknya (ego dialektika) agar bisa menerima pakaian lain sebagai bagian dari dialektik baru, yang sesungguhnya saling kait-mengait”

Kalimat di atas diucapkan tidak dalam ruang-ruang seminar, tempat duduk yang nyaman, meja yang bersih dari merek terkenal, tetapi dituturkan dalam keadaan duduk melingkar (circle time) sambil menikmati kudapan pagi (gorengan dan teman-temannya). Dalam ruang tidak luas, memaksimalkan ruang kantor dan diantara rak-rak buku berisi buku-buku pedagogig dan yang sejenisnya, guru-guru baru tetap mengunyah setiap kalimat-kalimat yang meluncur dari sang kepala sekolah, meski kebanyakan kalimat didaktik, tetapi sesungguhnya jika berangkat dari arus kesadaran, maka bisa menyerap setiap pendekatan yang bersifat psikologi. Juga membosankan bila setiap dari guru otonom dengan cara berpikir dan tak membuka peluang ada metode mendidik unik yang tidak di dapatkan ketika berseragam lain.

Jika kalian antipati dengan istilah unik, mungkin kata Khas boleh juga dipakai, sebagai dasar pembaharuan mestilah terus menerus dilakukan. Karena guru akan menghadapi setiap anak yang bukan zaman kalian, mereka (anak-anak) memiliki zaman yang tidak ada di zaman kalian. Contoh sederhana tadi, bisa menjadi kapak bagi guru yang telah beku pedagogignya, lalu suatu hari ia sendiri yang menghantam kebekuan itu dengan kapak yang telah digenggamnya lama. Hanya mereka (guru) yang bisa menghantam isi kepala agar tak lagi beku dan berkarat, hingga nanti bisa menjadi para mujadid dan mujahid. Sebagaimana buku dan membacanya bisa menjadi kapak bagi pikiran yang beku serta berkarat.

Lembaga-lembaga yang pernah disinggahi dengan amanah yang sama, yaitu guru. Tak bisa menjadi laku terpuji jika penyimpanannya ada pada dendam dan kecewa. Mendampingi siswa setiap hari berangkat dari kekecewaan bahkan rasa dendam kesumat, meskti tampak normal dan patut diacungi jempol besar-besar, tetapi sesungguhnya sedang melakukan kebaikan yang bertumpu pada transaksional, sampai kapan terus bertindak dengan dasar pikir seperti itu.

Lelaku diatas mestilah disudahi, jika pernah merawa kecewa dengan seseorang yang sekarang atau dulu, duduk dan mengampu kebijakan. Kebijakan dirasa tak mewakili aspirasi diri atau teman-teman yang meletakan kepercayaanya untuk mengubah kebijakan agar sesuai dengan kehendak dan pikiran terbaiknya. Lalu dikemudian hari, karena merasa tak pernah digubris selayaknya para demonstran, bahkan tak menjadi bahasan penting di rapat-rapat pemilik kebijakan, bahkan dirasa telah menjadi warga kelas dua dari sebuah perguruan bernama lembaga pendidikan.

Lalu mempraktikan pendampingan dengan perintah-perintah kekecewaan menggunung yang kapan saja bisa meletus. Lalu menghamburkan asap; siswa selalu menanyakan dimana wali kelasnya, karena setiap ada celah walikelas mlipir sejenak ke dapur sekadar minum kopi dan berasyik masyuk dengan rekan sejawat tanpa pernah mengabarkan, atau lebih berani meminta izin kepada ketua kelas jika dirinya keluar sejenak mengisi amunisi dalam ruang-ruang kejujuran serta keikhlasan. Meski menurut kacamata guru sulit diindrawi pengamalan dari sebuah keikhlasan. Tahu-tahunnya pekerjaan sudah rapi, ketika salah seorang rekan guru tak masuk kelas karena di dera sakit.

Kiranya cukup menghadirkan pembicara demi pembicara yang tak membawa dampak yang diharapkan. Kata pembicara dari sekolah lain. Sambil mengumumkan bahwa li wajhillah lebih dari segala-gala. Tak perlu menunggu momen ketika melihat hal-hal yang kurang tepat dengan budaya sekolah, budaya organisasi, dan ekosistem budaya. Seberapapun hebat sang pembicara mengupas segala lini pendidikan tanpa pernah guru membuka diri atas peluang-peluang yang bisa diterapkan menjadikan pendampingan makin lama makin mumpuni. Selepas itu, konsep yang mendengung dikepalanya luput begitu saja seperti burung elang yang menyambar setangkup roti yang sedang dimakan oleh turis di pinggir pantai.

Hangat-hangat tahi ayam, setelah keluar dari ruangan seminar menguap begitu saja, seperti tak pernah disiram oleh konsep-konsep pendidikan dari pakar praktisi. Bukan pakar yang duduk-duduk saja menanti draf-draf beratus halaman dari seorang stafnya tanpa pernah membacanya barang sejenak. Sukses menggulirkan lalu lari terbirit-birit liburan ke pulau dewata. Tetapi, pakar ini, berbeda dari yang lain. Seolah-olah sudah siap untuk dibenci, pada bagian ini dirinya sudah menjadi martir atas nama ketidakaturan ketidaktertiban yang sering memakan korban bagi guru-guru yang waras (berdedikasi) sebagai pembawa lentera di kegelapan.

Untuk menelusuri jejaknya dalam hal pengamalan dunia pendidikan yang lain dari pada lain. Seyogyanya memperhatikan cara mereka berpindah (berhijrah) dari wilayah yang menurutnya tak mendapati dirinya dalam posisi yang diharapkan ( tak sering silaturahmi ke dokter), melalui perencanaan yang terukur berpindah peran menjadi seorang guru, yang mengajari para untuk terus menjaga sebuah definisi pendidik dan segala hal turunannya.

Sudah sepatutnya beralih dari wilayah-wilayah sensor pada wilayah simbolik, pada ruh sebagai guru. Guru yang tidak hanya menjejali pikiran muridnya dengan sejuta soal pintar, tetapi dibarengi tindak tanduk agar terus tumbuh. Pendek kata; ketika guru memberi soal mata pelajaran, tidak berhenti belajar, tetapi dari soal-soal itu siswa terpantik untuk mengulik semua jenis pengetahuan.

Jika tak keberatan ada kalimat yang mengatakan, guru yang membuat pintar para anak didiknya, hal itu sudah kelazimannya sebagai guru. Tetapi ia tidak puas hanya sekadar menjadikan semua siswa didiknya pintar-pintar, langkah berikutnya ia mesti memastikan agar siswanya bisa punya kemandirian sikap, agar semua keputusan tentang dirinya tidak diputuskan oleh orang lain, meski itu orang tuanya sendiri. Itu salah duanya, yang lain masih bertebaran pada langkah dan tawa mereka; yang katanya masa paling indah masa-masa di sekolah. Salah satu lirik lagu yang dinyanyikan alm Chrisye.

0 Comments:

Posting Komentar