Ia berlari ke arah kantin. Yang didaptinya hanya kuah sop yang berlimpah-limpah. Secentong nasi dan sesendok sambel yang pedasnya memerihkan mata. Keluar dari kantin, ia masih meraba-raba perutnya yang masih dangdutan minta jatah karbohidrat lebih banyak. Dari pagi juga lambungnya hanya terisi kerupuk-kerupuk ubi yang memusingkan kepala jika terlalu banyak.
Ia berjalan ke arah serambi masjid dimana di sana banyak kakak kelas yang sedang menghafal pidato untuk acara muhadoroh nanti malam. Rantang masih ia bawa bersama sendok di tangan kanannya.
“Banyak antabur di belakang pondok, cepat lari nanti kamu nggak kebagian loh,” kata seorang kakak tanpa melihat kearahnya. “Benar Kak!” desaknya. Bayangan perutnya yang kenyang membuatnya senang.
“Ya, benar, nanti cari yang bener ya?” ucap Kakak kelas.
Ia berlari sambil menenteng rantang, menggenggam kuat sendok, tanpa menoleh ke belakang. Sarungya ia angkat sebatas betis. Posisi peci sudah mirip para cendekiawan kaum pejuang.
Tak butuh lama untuk ia sampai di belakang pondok. Ia berdiri mematung. Merenung sejenak. Tak ada siapa-siapa di sana, kawan satu kamar pun tak ia jumpai barang sebiji pun. Bahkan sampai ia naik berlin untuk memastikan. Ia turun. Lalu duduk di atas gundukan batu besar sisa bangunan.
Yang di jumpainya hanya ratusan burung dara yang sedang bercengkrama satu sama lain di kandang-kandang yang menempel di dinding dan rumah-rumahan. Cacing perutnya bunyi. Ia mengelusnya pelan. Sendal jepitnya yang ia gunakan mengeluarkan aroma tak sedap. Setelah diperhatikan baik-baik olehnya. Ia jumpai banyak tai burung yang menempel di sendalnya. Satu dua menempel pada ujung sarungnya.
Ia bangkit dan berjalan ke arah kamar.
“Bagaimana dapat nggak antaburnya!” tanya kakak kelas tadi.
“Nggak ada Kak?” jawab santri itu, loyo.
“Kamu kurang cermat, coba cari lagi. Banyak sekali Antabur di sana, kamu bisa ambil sebanyak mungkin,” celetuk santri yang lain.
Santri itu kembali lagi berlari menggunakan sisa tenaga dari kuah sop dan kerupuk ubi. Sampai di sana tak ada Antabur yang mereka maksud. Tak ada kakak-kakak lain yang menjaga kuali besar berisi Antabur. Ia kesal, menghentakkan kaki kanannya ke tanah sebanyak empat kali.
Ia kembali. Mengkonfirmasi kepada Kakak kelasnya.
“Kakak bohong ya, nggak ada antabur, di sana sepi,” selidik santri itu.
“Ada?” desak Kakak kelas.
“Nggak ada?” jawab santri itu, nggak mau kalah.
“Ada..., Antabur itu, Ancuran Tai Burung, masa ngga ada?” ucapnya enteng. Sudut bibirnya mengulum senyum. Santri itu mlengos pergi dan bersungut-sungut. Sementara kakak-kakak kelas itu sibuk menahan diri agar tawanya tidak meledak.
0 Comments:
Posting Komentar