Ia mengambil karung dan bergegas ke sawah. Cahaya sore terasa hangat. Somplang mencari rumput-rumput yang hijau. Ia mulai menyabit, mengumpulkan di beberapa titik lalu memasukannya ke dalam karung.
Seekor ular melintas di hadapannya. Jarak dua langkah kaki. Kepalanya tegak dan lidahnya menjulur. Somplang tegang tangannya berhenti menyabit. Ada gundukan berisi daun-daun yang mencurigakan. Ia pun mundur ke belakang. Tanpa pikir panjang ia mengambil karung dan berlari ke tempat di rasa nyaman. Karungnya masih enteng, rumput-rumput yang ia kumpulkan belum diambil. Ia menatap ular yang masih menegakkan kepalanya. Ular itu merebahkan kepalanya dan pergi menyusuri semak-semak. Wajahnya pucat, dan tangannya meraba area kemaluan. Basah.
Somplang mengambil rumput-rumput yang sudah terkumpul. Buru-buru ia memasukkan, wajah ular yang barusan ia lihat sangat menakutkan. “Jangan-jangan ular jadi-jadian,” ucapnya.
Ia bergegas menuju pematang sawah yang lebih tinggi. Ia melihat anak-anak sebayanya sedang bemain layang-layang. Ada yang bermain bola, dan gobak sodor. Sawah berubah menjadi area olahraga jika lepas panen.
Tangan kecilnya menyabit rumput-rumput di sekitar pematang sawah. Sesekali ia berhenti, memberi jalan pada orang yang lewat. Kadang Ibu-Ibu yang menggendong ubi penuh dalam rinjing, atau petani yang capingnya terlihat ada beberapa ekor belut di atasnya.
Ia berpindah tempat, dekat dengan kebun tebu milik perusahaan swasta. Mandor-Mandornya terlihat pendiam. “Jangan coba-coba mengambil batang tebu, kalau ketahuan kamu bisa di bawa ke Kalibagor, dan kamu akan di penjara di sana.” Kata-kata ayahnya membuatnya tak mau lama-lama menatap batang-batang tebu yang menggiurkan itu.
Karungnya mulai teras berat. Ia istirahat. Kembali menatap batang-batang tebu itu. Ia menelan ludah. Kata-kata ayahnya terngiang-ngiang. Pada saat yang sama, godaan untuk mencuri tebu semakin besar.
Senja mulai turun. Cahaya sore mulai redup. Ia pun tak terjebak dalam aram, seperti yang pernah ia alami ketika lepas mancing. Untung ayahnya masih melacak keberadaanya. Jika tidak mungkin ia akan di asuh oleh Hantu Cepet untuk waktu yang tidak diketahui.
Dengan gesit dan lincah ia menorobos ke dalam kebun tebu. Jantungnya berdebar. Ia diam sejenak. Tak ada tanda-tanda Mandor Tebu sedang berpatroli. Ia meraba batang tebu yang kekar dan menjulang tinggi. Tangan kanannya mengambil sabit dan mulai menebas batang tebu. Memotongnya pendek-pendek lalu memasukannya ke dalam karung. Di atasnya ia tutupi rumput.
Ia keluar dari kebun Tebu. Jantungnya masih dag-dig-dug. Wajanya kembali pucat manakala di jalan menikung menuju pulang berdiri mandor tebu bercaping. Mandor itu menatapnya. Ia pun berlari serampangan.
Tubuhnya terasa berat, membuat Ia mudah tertangkap. Cengkraman Mandor tebu terasa berat dan kuat.
“Ampun Pak!, Ampun?” ucap Somplang. Matanya mulai berair. Telinga kanannya terasa panas. Mandor Tebu menjawernya sepuluh detik.
“Jangan kau lakukan lagi!, berbahaya!” kata Mandor Tebu. Ia memasukkan kembali batang-batang Tebu yang telah dipotong-potong itu.
Somplang mengangguk. Mandor Tebu pergi begitu saja. Somplang masih berdiri menatap punggunnya. Ia pun berbalik dan menatapnya. “Pulang ayo!” pekiknya sambil mengelus jenggotnya.
Somplang lari terhuyung-huyung memanggul karung berisi rumput. Ingatan pada Marmut-Marmut yang lucut itu membuatnya cepat-cepat ingin sampai di rumah. Ia ingin menurunkan rasa takutnya dengan melihat Marmut-Marmut peliharannya.
“Guik-Guik-Guik,” Marmut-Marmutnya memanggil. Ketika Somplang sampai di depan kandang. Ia memasukkan rumput-rumput ke dalam kandang. Marmut-Marmut lucut itu saling loncat-loncat menyambut makan malamnya.
Menjelang tidur seorang tamu datang. Somplang mengintip dari celah pintu. Jantungnya mau copot. Ia mengenali tamu itu dari jenggotnya. Ayah mempersilahkan duduk. Lalu ayah beranjak ke dapur. Somplang memasang pendengarannya.
“Siapa Pak,” tanya Ibu.
“Teman Bapak, sekarang ia jadi Mandor Tebu.”
“O, Ibu siapkan Teh.”
Somplang duduk di pinggir Amben. Ibu memanggil dari dapur. Ia berdiri tegak. Wajahnya berkeringat.
“Kau antarkan Teh ini ke ruang tamu ya, Ibu mau goreng Ubi.”
0 Comments:
Posting Komentar