Rabu, 15 Januari 2025

Bukan Apalah Arti Sebuah Nama

Siapa bilang kalau nama hanya nama, tak punya pengaruh apapun pada kehidupan seseorang. Tidak bagiku. Namaku Sugeng Priyanto. Biasa dipanggil Sugeng. Teman-teman dekat memberiku nama Tude: Untu Gede. Yang kenal belakangan memanggilku Sugeng, guru-guru, dan kebanyakan teman-teman jauh. Hanya Ibuku yang memanggilku Eng, itupun ketika sudah masuk Aliyah dan Kuliah. Selebihnya sama sampai sekarang.

Saat MI-SMP nama Sugeng tak punya pengaruh apa-apa, ada banyak nama yang sama di kelasku. Waktu di Aliyah mulai menggerogoti mentalku. Di sekolah ini nama Sugeng mulai jarang. Seingatku dari 855 siswa, hanya ada 4 nama Sugeng di sekolah Aliyah. Yang lain ada Slamet dan Lujeng. Sisanya nama-nama yang umum yang disematkan pada orang jawa. Sutoyo, Partono, dan seterusnya.

Bukan bermaksud untuk tidak bersukur pada pemberian nama yang mungkin susah payah diberikan oleh orangtuaku. Meski agak filosofis, nama Sugeng sekadar tambahan untuk melengkapi nama Priyanto saja. Menurut Ayah, nama Sugeng dapat meredakan penyakit yang kerap menghantuiku, hingga dapat memutus dan tak lagi menyerang. Aku terima itu, sebagai alasan terbaik, versi ayah.

Selesai Aliyah nama Sugeng menerima ujian pertama. Namaku lolos, masuk ujian perguruan tinggi yang keren di Jakarta. Menginjak di kota keras seperti kota Jakarta adalah prestasi lain. Ujian pertama sebagai perantau adalah menaklukkan kota Jakarta, katanya.

Ketika namaku muncul pada papan pengumuman hasil ujian kampus. Yang kupersiapkan bukan baju atau sepatu atau yang lain. Adalah mental health nantinya ketika mereka mulai mengetahui namaku, mungkin akan dipanggil nantinya sesuai urut absen. Sudah kupersiapkan sebuah nama yaitu Apri atau Anto, kupikir itu cukup keren. Kuharap ayah tak marah. Ibuku mungkin tak banyak komentar. Yang kuingat nama Sugeng dari Ayah, Priyanto dari Ibu.

Hari pertama Propesa semua mahasiswa baru di kumpulkan di lantai bawah (basement) Fakultas Hukum. Ratusan mahasiswa/i hadir, beberapa dari mereka masih menggunakan seragam Aliyah atau SMA, begitu juga denganku. Meski hanya bagian celana saja, atasannya kupakai kemeja, sesuai intruksi orang rumah. Bukan kerena kemeja ini yang membuatku gerah, tetapi jantungku sudah berdegup kencang, dag-dig-dug bila nanti nama Sugeng tiba-tiba saja dipanggil keras lewat pelantang yang sedang dicengkram Senior.

Senior sudah memberi beberapa instruksi yang harus kami jalankan sebagai Mahasiswa baru (MABA). Mulai dari seragam, benda-benda apa yang saja yang nanti kami, dan seterusnya. Itu masih bisa melegakan, kupikir itu semua bisa kupenuhi.

“Sekarang pembagian kelompok sekaligus mentornya, dengarkan baik-baik kawan!” ucap sang senior. Kata mentor masih baru bagi telingaku, tetapi pembagian kelompok berarti berkaitan dengan nama. Kumulai gelisah, apalagi tak ada satupun wajah-wajah yang kukenal sebanyak itu.

Riuh hanya sebentar, MABA punya cara sendiri agar tak kena bully dari para kakak seniornya. Kini hening menerpa, aku harus fokus siapa saja teman-teman baruku nanti.

Kumulai gelisah. Kupandangi kartu namaku.

“Kelompok Pertama dengan Kak Dendi, anggotanya satu!, Lantang kakak senior bicara.

Kami tenang, tepatnya diam.

“SLAMET LAHIR BATIN!” ucap senior lantang memecah keheningan. Sejurus kemudian, disusul ledakan tawa yang membahana.

“Emang mau lebaran!” teriak sang senior gembira.

Tertawa lagi.

Jantungku berdenyut. Ada kelegaan. Rupanya ada nama yang lebih “parah” dariku. Mulai detik ini, kumenyadari nama harus apa, bukan apalah arti sebuah nama.

0 Comments:

Posting Komentar