Sabtu, 25 Januari 2025

DIORAMA BADUT

Akhir-akhir ini memang cuaca sangat panas, ditambah badut-badut itu makin gencar meneror dan sesekali membunuh, jika terpaksa. Orang-orang mulai malas untuk berjalan di trotoar, para badut itu sering berkerumun menjelma polisi yang tak punya lencana. Sekedar menggertak atau mencibir, bahkan seringkali ghibah untuk memuaskan intelektualnya.

Kendit mengelap keringat yang membanjiri mukanya. Handuk kecil hijau berubah warna, deterjen telah mengurainya pelan-pelan. Tanco yang dioleskan pada rambutnya ada yang berhasil lolos hingga bergelantungan pada ujung rambut.

Ia memperhatikan Tauke ‘membetulkan’ kacamata yang berkali-kali lolos dari hidungnya yang licin. Ini waktu istirahat yang paling ditunggu. Tauke itu sudah tak berhenti menenggak es limun yang dipesan dari pedagang depan tokonya.

Sebentar senyap, sebentar tegang. Bunyi musik mencekam itu pelan-pelan mendekati mereka.

"Mereka telah kembali, berapa banyak pengikut mereka," Guman Tauke.

"Tidak tahu bos." Jawab Kendit.

"Sekelompok badut telah memenggal nurani di sepanjang Jalan."

Jalanan tampak ramai, orang-orang bernyanyi-nyanyi seperti lelucon kesiangan. Orang tak lagi malu untuk menyemprot sana menyemprot sini. Tangannya mengacung-acungkan ke langit. Atau mungkin menantang langit. Seberapa pantaskah mereka.

Kendit menatap kerumunan para badut yang banyak tingkah. Nampak matanya membelalak, ia menubruk sebongkah wajah yang ia kenal saat masih mengeja huruf di bangku sekolah. Wajahnya tampak merah. Riasan badut tak menghalangi Kendit untuk mengenalinya. Atau memang betul wajahnya seperti itu, tanpa harus meminum darah, atau marus. Wajahnya tetap merah. Itu tak baik, bahkan di jauhkan sejauh-jauhnya. Haram.

Mungkin hanya riasan yang membuatnya tampak semerah saga, atau jiwanya telah karam oleh darah. Atau betul-betul menenggelamkan diri pada lautan merah, meski hanya semata kaki. Walau hidungnya tak mau berbohong, ia telah mencium bubuk mesiu seharian. Bersama dengan genangan merah, atau ia tak sengaja merias wajahnya, hingga tampak semerah darah.

Touke mengajak Kendit keluar. "Ini malam minggu kau harus menghirup udara segar," begitu katanya. Ia tentu punya alasan. Semua orang punya alasan. Kadang melakukan sesuatu juga tanpa alasan. Semua hal bisa terjadi. Meski banyak alasan akan mempertegas sebuah kesalahan.

Kendit memegang erat besi pegangan yang berada di bawah sadel. Udara malam mengelus rambutnya yang berombak. Touke mengayuh sepedanya di jalan raya yang dipenuhi lampion-lampion aneka warna. Orang-orang berpakaian bagus berjalan kaki menuju satu titik secara bersamaan.

"Kemana kita Bos."

"Pasar Malam, di sana tidak hanya kemeriahan yang akan kau temukan, tapi juga rindu yang bisa kau temukan."

Kendit tersenyum.

Sepeda Onta berhenti. Mereka berdua berjalan beriringan. Layaknya ayah dan anak.

Mereka sampai pada kedai yang ramai dipenuhi gelak tawa dan berdenting minuman yang ditenggak secara bersamaan. Cahaya Petromak menerangi kedai malam itu.

"Selamat datang, lama tidak berjumpa." Kata seorang pengunjung. Matanya tampak terpejam ketika ia tersenyum.

"Kau tampak gemuk sekarang." kata Touke.

"Berkat kau, aku bisa seperti ini."

"Jangan ungkit-ungkit terus, tak baik." Jawab Touke.

"Linda?" kata bapak bermata sabit itu. Ia melambaikan tangan pada pelayan kedai.

Seorang gadis berbaju merah datang menghampiri meja kami. Ia menghidangkan minuman dengan jari jemarinya yang tampak terawat. Bosnya sendiri sudah menenggak minuman sebelum berdiri di atas meja.

Gadis itu berdehem untuk mempersilahkan Kendit mengambil minumannya. Kendit menoleh kearahnya. Mata mereka saling berpandangan, dan Kendit tampak kikuk dibuatnya. Mata sipitnya telah membuat Kendit kalang kabut. Ia tetap berdiri di depan Kendit, dan tersenyum ke arahnya.

"Oh ya Linda, aku baru ingat kalau Kendit tidak minum," kata Touke.

"Maaf Paman, aku tidak tahu. Segera ku bawakan minuman yang lain."

"Anakmu rupanya sudah besar. Ia cantik seperti ibunya" Kata Touke.

Pria bermata sabit tertawa.

Selanjutnya yang Kendit dengar dari mereka berdua adalah bahasa yang seringkali digunakan oleh Touke. Sesekali mereka menatap Kendit dalam beberapa detik. Lalu mereka melanjutkan pembicaraan yang terputus-putus. Baru kali ini Kendit melihat sang Touke menghapus air mata beberapa kali. Termasuk bapak itu, kemudian mereka bersulang lagi dan suasana berganti dengan cepat.

Gadis yang dipanggil Linda oleh bapak itu muncul lagi dari dalam pintu yang gelap. Ada tirai yang tampak berkilaun dari pintu itu.

"Ini Kopinya," kata gadis itu.

"Terimakasih." Jawab Kendit.

"Rokok?" tanya gadis itu lagi.

"Maaf, itu juga tidak?"

"Hei Linda, bawakan saja semangkok bakso, pasti ia tak bisa menolak." kata Touke.

Pulang dari Pasar Malam, udara makin dingin. Kendit ganti mengayuh sepeda. Bosnya duduk dibelakang sambil terus bercerita. Sambil sesekali tertawa sedih. Kendit tak tahu harus menyimpulkan seperti apa. Karena Ia sedang menertibkan jantungnya sendiri, yang sedari tadi berdebar-debar. Seperti ada yang memompa secara sembunyi. Ia tak tahu kenapa berdenyut lebih kencang. Perasaan yang telah lama terkubur, kini kembali muncul.

Ia tak menggubris ocehan Kendit yang berbau formal itu. Ocehannya seperti kentut yang keluar buru-buru. Mengeluarkan aroma sebusuk mayat, yang telah dikebiri hak-haknya. Lalu terkubur sia-sia bersama bakat yang tak pernah ditemukan oleh pemandu bakat sehebat apapun.

Badut berwajah merah menenggak sari buah lontar dari gelas bambu hitam. Jakunnya naik turun. Nafasnya tertahan sejenak. Lalu ia menghembuskan nafas. "Ah..." terasa betul ia menikmatinya.

"Minuman ini bisa menjauhkan kamu dari impotensi, dan jumlah sperma kamu makin banyak, camkan itu baik-baik, kelak kalau sudah menikah, banyak-banyaklah minum legen," ucap badut berwajah merah.

"Kau tak mau Dit," tawarnya.

"Itu sudah lewat satu minggu guru, tak baik untuk kesehatan."

"Maaf, aku sudah lupa hari."

Badut berwajah merah tiba-tiba menatapnya tajam. Kendit menatap balik. Ditatapnya orang yang telah membangkitkan mimpi-mimpi besar, cita-cita, juga menceritkan kisah-kisah abadi. Seragam yang dulu ia pakai, berganti dengan pakaian sederhana. Tak lagi terselip pena di saku bajunya. Yang ada sekarang badut berwajah merah yang menggusarkan banyak pihak.

"Maaf," ucap Badut berwajah merah.

Kendit menghapus air mata yang turun tiba-tiba, menyeka dengan jempolnya. Mungkin terlalu lama beradu pandang dengan gurunya sendiri. Lelaki yang memilih jalan lain. Sebuah jalan terlalu terjal, tak biasa, dikecam, bahkan dituduh tak bertuhan.

"Kendit waktu istirahatmu sudah habis, nanti kau dicari Touke," ucap badut berwajah merah. Kendit tak mau menghindari gurunya, tak memilih jalan lain seperti buang muka ketika berpapasan di jalan, pasar, terminal, puskesmas, bahkan di sekolah.

Beberapa tahun kemdian badut berwajah merah menjelma raksasa yang ditakuti. Kepalanya besar, wajahnya tak presisi, kulitnya kasar, hidungnya besar, telinganya panjang, dan menimbulkan kegaduhan setiap ia jalan menelusuri lorong-lorong kelas.

"Bapak perlu istirahat sejenak," kata Kendit. “Orang-orang sudah mulia mendiktenya dengan suara-suara sumbang, menyakitkan, merendahkan dan berbagai gunjingan yang menohok,” tambah Kendit.

Badut berwajah merah hanya menoleh kearahnya.

"Tak usah," ucapnya. "Ketahuilah, kita tidak selalu baik di cerita orang lain, seperti penulis yang yang bermaksud mengucapkan JALAN, pembacanya menafsirkannya GURUN. aku tak bisa menghentikan semua lidah itu, tatapan itu, dan tentu saja ucapan itu." tambahnya.

Kendit tak menjawab sepatah kata. Ia sakit, tapi bukan badannya yang sakit. Nuraninya telah dipenuhi berbagai kilatan pedang dan sayatan sembilu. Ia menatap wajah yang dulu dirindukan, sederhana, tetapi menggema. Raksasa yang kalem, tuturnya menyentuh, dan jalannya tak membuat bising seisi ruang kelas. Kini badut berwajah merah menyusut, akalnya juga kesehatannya. Ia tampak kurus dan mengecil. Bahkan orang-orangnya mulai memakinya dengan Raksasa Kerdil.

"Kau tak perlu bersedih. Aku punya cara hidupku sendiri, kamu juga. Kita sama-sama hidup dengan cara masing-masing," ucap pria berwajah merah. Kendit menatapnya pilu. Ia harus menyaksikan orang yang dicintainya telah dikucilkan hingga makin mengecil. Rumah yang dirintis dengan segenap jiwa kini menolaknya, bahkan sampai bau tubuhnya.

Badut berwajah merah masuk kedalam gua, sebagai rumah baru yang tak pernah menolaknya. Ia tak peduli dengan keangkeran dan mistis. Hewan-hewan buas mungkin jadi teman setianya.

Kendit pulang. Kakinya kuat melangkah. Pikirannya melayang. Panas matahari yang menyengat, tak juga melepuhkan. Ia ingin merebahkan sejenak bersama segala yang keropos, tak bertulang, juga meluruskan prasangka-prasangaka.

0 Comments:

Posting Komentar