Lampu didepan tiba-tiba mati. Badrun berhenti sebentar dan tolah-toleh siapa tahu seorang temannya tengah mengisenginya, seperti yang sering mereka lakukan.
“Jangan iseng deh, udah malam nih?” ucap Badrun. Ia menurunkan payung dan memeriksa teman-temanya yang sering bersembunyi di antara rimbun perdu, didekatnya pohon nangka tua.
“Wan, Jal, To!, awas kalau ketahuan ya!” teriaknya lagi. Yang ditemui Badrun hanya sepi lagi sunyi. Suara jangkrik bawang, yang menjawab panggilan Badrun.
Badrun berjalan melewati gardus pos ronda jantungnya sudah tak karuan. Tangannya juga sudah mulai memegangi kemaluan. Lampu gardu pos tiba-tiba mati.
“Wan, Jal, To!, jangan iseng! Teriak Badrun memecah jalan sunyi yang sudah lengang sejak hujan sore hari.
Badrun mempercepat langkahnya. Sampai di bawah pohon nangka. Badrun menjerit. “Pocong Bantet!” tubuhnya kaku, mematung sebentar, lalu terkulai pingsan.
Dari balik persembunyian muncul Iwan, Rijal, dan Toto. Wajahnya ikut-ikutan tegang. Mereka berlari mendekati Badrun yang masih tak bergerak.
“Kamu sih Wan kelewatan,” ucap Rijal.
“Mana Lampu kamu matiin lagi, dosa kamu” tambah Toto.
“Kenapa pada menyalahkan saya, ini ide kita semua, kalian mau lari dari tanggung jawab,” sergah Iwan.
Toto tolak pinggang tak mau terima. Sementara Rijal masih berusaha membangunkan Badrun.
“Nangka jatuh itu bukan ide saya, buah itu memang jatuh persis saat Badrun lewat!”
“Aku nggak ikutan, pokoknya kamu yang tanggug jawab ya!, jawab Toto cepat.
Badrun tak lama bangun. Badanya masih gemetar. “Ada pocong tadi...” ucap Badrun menggigil.
“Ini hanya nangka Drun,” kata Iwan sambil menjinjing Nangka yang dibrongsong kaos putih menjuntai.
“Po, Pocong Bantet..!” teriak Badrun. Matanya melotot. Ia pun kembali pingsan.
“Iwan!!!” Teriak Rijal dan Toto serempak.
0 Comments:
Posting Komentar