Aku keluar dari kamar. Hujan tadi malam menyisakan gerimis yang tak putus-putus. Berjalan pelan menuju kandang kambing yang bersatu dengan dapur rumah. Di batasi oleh dinding anyaman bambu dan sebuah jendela jeruji kayu sengon.
Kunyalakan senter, kuarahkan pada kandang kambing. Kudapati mahluk berwajah seram sedang mengunyah daging Bronto, kambing kesayangan kami semua, kecuali Anggoro, ia pembenci kambing.
“Mau kumakan juga kau!” ucapnya, ia tertawa. Membuatku ketakutan. Aku berlari menuju kamar ayah dan Ibu. Ayah mendengkur keras. Putus asa membangunkannya. Terpakasa kucabut salah satu bulu ketiaknya, dan ia tersentak terbatuk-batuk, kaget. Ia menoleh kesal kepadaku.
“Bronto diserang Yah!”
Ayah langsung bangun. Membangunkan Ibu. Ibu mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengucek matanya berkali-kali.
“Bronto diserang Bu, coba bangunkan Anggoro!” perintah ayah.
Tak lama Anggoro bangun. Masih memakai sarung kesayangannya. Ia berjalan bersama ibu menuju dapur. Rambutnya acak-acakan, wajahnya tampak marah.
“Ada apa sih lagi tidur enak-enak dibangunin!”
“Bantu ayah, bawa Alu, Bronto diserang!” perintah ayah.
"Djo saja ayah, aku masih ngantuk, besok upacara, aku yang jadi pemimpinnya?”
“Untuk apa belajar silat, kalau jadi penakut!” ucap ayah kesal.
“Siapa yang penakut, aku masih ngantuk Yah! Jawab Anggoro, nadanya tinggi. Kami yang sudah paham tabiatnya, tak bisa berbuat banyak. Soal tidur ia nomor satu.
“Djo ikut Ayah, bawa senter, dan Ibu bawa Alu buat jaga-jaga,” bisik Ayah.
Aku mengekor di belakang ayah. Ibu memegangi lenganku.Mungkin sama takutnya denganku, tetapi Ibu lebih takut pada Ayah. Mungkin. “Djo senterin kandang,” bisik ayah
Gaduh seketika terjadi. Bayangan hitam melompat dari atas kandang melesat lari cepat.
“Dasar Siluman jadi-jadian!” berang Ayah.
“Tunggu disini jangan kemana-mana,” perintah ayah. Ayah mengejar siluman itu.
Kami berdua naik kandang. Dari cahaya senter. Kulihat ceceran darah ada di pojok kandang. Kepala Bronto putus, tersisa usus dan kotoran yang teronggok. Mata Bronto melotot. Lidahnya menjulur.
“Kasihan sekali Bronto,” ucapku lirih.
Aku kaget melihat ayah datang.
“Aku kehilangan jejaknya,” ucap ayah, nafasnya naik turun. “Kita masuk,” tambahnya.
“Kepala Bronto Yah,” ucapku.
“Biarkan saja, tak bisa dimakan, besok kita kubur bersama usus-ususnya.”
Esok harinya, beberapa tetangga ramai berkumpul di dekat kandang kambing. Mereka melihat kepala Bronto yang sudah tergeletak di atas tanah. Juga jeroan dan usus yang mulai bau. Lalat-lalat hijau mulai berdatangan. Seperti kawanan burung pemakan bangkai.
Sepakan kemudian pengganti Bronto sudah ada di dalam kandang. Dibelinya ayah dari seorang teman yang sedang kesulitan keuangan. Dilehernya sebuah kalung terpasung, setiap ia jalan terdengar bunyi-bunyi khas mirip suara kentongan.
Kalian bisa memanggilnya Joko. Ia pengunyah yang cepat, lincah, dan sebentar saja sudah mampu menggantikan Bronto yang telah mati duluan. Suatu malam Ayah masuk kamarku. Membawa segelas air dingin.
“Djo bangun!” ucap ayah. Ia memercikan wajahku dengan air dari dalam gelas.
Aku bangun langsung duduk.
“Ada apa Yah! Masih ngantuk?” keluhku.
“Joko rewel!”
Ayah membawa pentungan besi. Kunyalakan senter setelah sampai di dapur. Bunyi ribut di kandang membuat kantukku hilang.
Cahaya senter mengenai mahluk berwajah seram itu. Badannya berbulu lebat. Ekornya tampak menjuntai. Ia menyeringai siap menerkam siapa saja. Sementara Joko sudah dalam cengkramannya. Nafasnya tersengal-sengal.
Senterku jatuh, tanganku tiba-tiba terasa kaku.
“Siluman Gendeng!, berhenti!” perintah ayah. Yang diteriakinya tetap saja tak bergeming. “Rasain ini!” teriak ayah. Pentungan melayang mengenai kakinya. Membuatnya terjungkal ke tanah. Mahluk masih bangun dan melarikan diri menerobos semak di belakang kandang.
“Djo!, kita kejar siluman itu!” perintah ayah. Lututku terasa berat. Tak terasa aku kencing di celana lagi. Panggilan ayah tak mampu membuatku kembali fokus.
Ayah mendekat dan menepuk keras kedua pipiku.
“Aduh sakit Yah!”
Di tikungan menuju jalan aspal. Kami berhenti. Mengatur nafas.
“Ssst,” ayah menyuruhku diam. “Kau dengar suara itu.”
Aku menggangguk tegang.
“Yah lihat,” bisikku. Mahluk itu berkali-kali menoleh kebelakang, seperti memastikan situasi. “Aku tahu, kita ikuti dia,” bisiknya.
Kami mengikuti dari jarak yang memungkinkan. Kalung dari leher Joko terus bunyi ketika siluman itu mencoba bergerak. Ia terpincang-pincang sambil terus bersuara aneh. Keluar dari jalur setapak yang rebah. Sekali lagi siluman itu menoleh ke belakang. Ia berhenti di rumah gedong dengar pagar terbuka. Ia masuk rumah sambil membawa Joko. Joko mengembik lagi, keras, aku lega. Kami saling pandang lalu memutuskan pulang dan menyusun rencana penangkapan.
0 Comments:
Posting Komentar