Seorang pemain pengganti masuk. Romli namanya, ia terlalu senior bagi para pemain, termasuk aku sendiri. Aku tidak terlalu suka dengannya. Kata-katanya sering menyakitkan. Dan selalu membuatku tampak payah. Pernah ia berkata bahwa, diantara semua teman sebayamu itu, hanya kamu yang tidak punya saudara. Semua saudaraku, kata Romli. Entah kapan ia mengucapkan, tetapi aku ingat terus. Rasanya ingin membungkam mulutnya dengan kotoran kambing. Biar tahu rasa.
Ketidaksukaanku seperti terbaca olehnya. Ia menyeringai beberapa kali, dan kerap mengacungkan jempolnya kebawah. Aku tidak membalasnya, lagipula badannya terlalu besar buatku. Jika berkelahi dengannya, sudah bisa dipastikan aku yang akan terjungkal mencium tanah dan menangis kencang sebagai pertanahan terakhir.
Kedudukan masih kosong-kosong. Diantara kami sedang memperlihatkan bagaimana sebaikanya bermain bola. Tampaknya mereka termasuk aku sedang dalam puncak kesombongan menggocek bola plastik sedemikian rupa, hingga bisa meliuk-liuk seperti penari, lalu pada tendangan terakhir mencuri tendangan ke pojok gawang, sendiri melewati lawan juga kawan.
Bola kugocek memakai gaya kungfu. Berhasil melewati kaki-kaki lawan. Pada pertahanan tengah, Romli sudah berdiri, menyeringai, bahkan meludah untuk mengejekku. Menurungkan keahlianku sebagai penggojek bola plastik yang tidak bisa dianggap enteng.
Kutendang bola keras-keras, sial, mengengai kakinya yang kokoh. Romli tersenyum.
“Begitu saja keahliamu Su!” ucapnya sembari meludah keras-keras. Aku tahu Romli sedang mengujiku, tetapi yang kurasakan adalah penghinaan yang ringan diucapkan.
Bola melambung kebelakang menggelinding ke tempat pembuangan sampah. Dalamnya hanya satu meter, tetapi beberapa hari yang lalu ada banyak serbuk gergajian pohon kelapa. Dibakar, tetapi tak lagi nampak asap yang bisa kulihat. Seperti sudah mati.
Aku berhenti ingin mengambil bola plastik itu. Aku berpikir keras apakah api itu sudah mati dan tingga abunya saja.
“Lompat saja Su, apinya sudah mati!”perintah Romli.
Tanpa pikir panjang lagi aku lompat kebawah ke bekas bakaran serbuk gergajian pohon kelapa. Bola plastik kuraih dan kulemparkan ke atas. Beberapa detika kemudian. Kedua kakiku terasa dingin sampai ketulang, juga ada rasa kesemutan, lalu disusul rasa panas yang tak tertahan. Segera kunaik keatas, tetapi kedua kakiku masih sangat panas, juga gatal, yang tak bisa kugaruk.
Kedua kakiku kugosok-gosokkan ke atas tanah. Mencoba untuk meredam. Tetapi sia-sia, rasa panas itu teras ada. Pecah tangisanku. Gempar para tetangga, dan orang-orang dewasa segara sibuk untuk menolongku. Sedangkan Romli tak nampak batang hidungnya diantara orang-orang dewasa yang wajahnya sulit kuungkapkan.
“Bu! Tolong Su Bu!” tak ada jawaban. Nenekku muncul dari balik kerumunan. Meraka sedang berdiskui bagaimana meredama rasa panas yang tengah mendera kedua kakiku.
“Ibu masih dipasar, nanti juga pulang?” ucap nenek. Nenek menyuruhku untuk meminum dari gelas yang dibawanya. Rasanya nyaman, tetapi hanya sebentar. Selanjutnya tangisanku memecah kesunyian Gang Rapingun.
“Cepat bawa odol dan oleskan!” perintah seorang dewasa yang sulit kuingat wajanya.
Seketika rasa dingin menjalari seluruh punggung kaki termasuk seluruh jemariku. Hanya sekian detik, tak memapan. Aku kembali menangis. Orang-orang dewasa yang terus menatapku tak karuan.
“Ambil telor!” perintah salah seorang dewasa. Kali ini wajahnya kuingat. Orang dewasa itu, ayah temanku.
Amis segera menguar. Hidungku cepat-cepat mencium. Beberapa butir telor dipecahkan. Lalu dioleskan, rasa adem membutku tenang. Tetapi lagi-lagi hanya sesaat. Selanjutnya rasa panas terus kurasakan. Sementera Romli tak juga nampak. Sejak saat itu, Romli kuanggap sebagai musuk sampai kapanpun.
Dari balik pintu rumah. Sesorang muncul. Aku sangat kenal dengannya.
“Bu!” teriakku.
Entah dari mana informasinya. Ibuku mengangguk dan menggendong badanku yang mulai membutnya sulit bernafas.
“Kita pergi ke Desa Kesamen, berobat?”ucap ibuku. Aku mengangguk. Lalu menangis lagi.
Turun dari angkot, aku masih menangis.
“Bu, apa aku akan mati,” tanyaku seketika, kalimat yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku.
“Huss, ngomong apa kamu. Itu rumahnya sudah dekat,” ucap Ibu.
Seorang Ibu menyambut. Ia perempuan berkebaya batik. Mempersilakahkan masuk. Setelah wawancara singkat, ibu menurunkanku dari gendongannya. Membiarkanku duduk di atas bale.
Lalu Ibu mengoleskan sesuatu dengan alat yang mirip setempel, hanya saja benda itu terbuat dari besi. Kurasakan hawa dingin segera menyergap. Ada rasa nyaman ketika ia bergerak ke area puser. Dan itu sangat menenangkan. Ajaib benar benda. Rasa panas pada kakiku tiba-tiba hilang.
Ibu pamit pulang, dan Ibu kembali menggendongku pelan-pelan. Tubuhku yang mulai berat membuat kaki ibu terlihat limbung. Tetapi Ibu segera memperbaiki kuda-kudanya.
Seminggu kemudian luka bakar di kaki mulai mengering. Hanya saja bau amis segera menyergap. Telor yang dipecahkan diatas kakiku telah mengerak dan membuat risih.
Hari kedelapan dan kesepuluh. Pelan-pelan kerak itu mulai mengelupas. Dan hari-hari penantian itu sangat melelahkan, tetapi saat itu pula aku menikmatinya sebagai sebuah pelajaran tentang kepercayaan.
0 Comments:
Posting Komentar