Jumat, 24 Januari 2025

AYAH YANG DURHAKA KEPADA PUTRINYA

Selepas pulang mengaji Tina terkejut. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung di halaman rumahnya. Suasana rumah yang tak biasa membuatnya cemas dan gelisah. Apalagi ada mobil mewah dan selingan gelak tawa Bang Kobar, ayahnya sendiri.

Tina masuk ke rumah. Di ruang tamu ia lihat ada orang ‘asing’ yang sedang duduk berhadapan dengan Bang Kobar.

“Tin,” sapa Bang Kobar.

Tina berhenti. “Ya Ayah.”

“Beri salam pada calon suamimu,” ucap Bang Kobar enteng.

Tubuh Tina menegang, lutut gemetar. Ia seperti melihat malaikat maut. Al-Quran yang ia pegang hampir jatuh. Ia hanya mengangguk dan masuk kamar. Sejam kemudian, tamu itu pulang. Bang Kobar masuk kamar memasang wajah ceria. Banyak barang-barang yang ia bawa masuk. Satu persatu ia serahkan kepada Tina.

“Ini apa yah?"

“Jangan bodoh, semua barang-barang mahal ini adalah hadiah dari calon suamimu, Paman Tom. Ia akan melamarmu secepatnya,” Tukas Bang Kobar sambil membuka barang-barang satu persatu.

“Aku tak mau, kenapa ayah tak bicarakan dulu dengan Tina.”

“Anak dungu!, kau tak bisa menolak. Sekarang ayah jadi manusia bebas. Paman Tom yang melunasi semua hutang-hutang ayah. Camkan itu nak?” seringai Bang Kobar, sambil merobek pembungkus kado.

Tina memilin-milin bajunya sendiri. Ia merasa kebebasannya telah terjual mulai saat ini.

Sepekan kemudian Tina dilamar. Satu bulan kemudian berikutnya laki-laki itu menikahinya. Matanya selalu terpejam manakala tersenyum dan tertawa. Tina tak berani memandangnya. Ada luka yang pelan-pelan tumbuh di dadanya.

Malam hari Tina di boyong ke Ciputat. Perjalanan dari Bogor ia habiskan dengan melamun. Sebelum berangkat ia melihat ayahnya tertawa melepaskan kepergiannya dengan membawa koper besar yang terus menerus dipeluk. Bibirnya menjepit cerutu yang mengepulkan asap terus menerus.

Di kamar yang luas Tina duduk dipinggiran tempat tidur. Lantainya bagus, tidak seperti dirumahnya yang kasar dan kotor. Ia masih memakai gaun pengantin. Laki-laki asing itu masuk dan menatap Tina. Tina menunduk menatap lantai yang licin. Kedua tangannya memegang pundak Tina. Luka itu makin merekah dengan akar-akarnya menghujam kuat. Tetapi ia tak bisa mengelak. Matanya menutup kuat-kuat sejak lelaki itu mengangkat dagu Tina hingga lelah membuatnya tertidur.

Pukul 06.00 Tina terbangun.

“Allah, ampuni aku. Hamba terlambat solat subuh,” lirih ia berucap.

Selesai sholat ia melipat sajadah dan pergi ke ruang tamu, membuka gorden yang tebal dan mengaitkannya pada kayu apik.

“Tuan Tom keluar kota, ada pekerjaan di sana,” ucap seorang perempuan. Ia membawa secangkir teh dan meletakannya di atas meja. Tina menoleh dan mencoba tersenyum.

“Terimakasih tehnya.”

“Sama-sama Neng, kalau butuh bantuan. Bibi ada di belakang.”

Tina mengangguk. Dan ia tak ingin tahu nama Bibi barusan. Caranya menatap membuatnya teringat dengan Guru Matematika yang galak.

“Kau senang?” tanya tuan Tom pada Tina yang sekarang duduk di Taman Kota. Sebuah cincin berlian melingkar di jari manisnya.

“Tina mengangguk kecil, dan mencoba seramah mungkin. Melihat wajah Paman Tom yang tampak bersahabat membutanya tak lupa dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama.

Memasuki usia pernikahan yang yang kedua. Tina diberikan sebuah rumah mewah dan besar. Di garasi rumahnya terdapat dua mobil mewah. Satu mobil Eropa dan satu mobil lokal.

Tina mulai belajar mengendarai mobil. Kursus selama tiga bulan. Sementara Paman Tom mulai jarang di rumah. Pekerjaanya sebagai pengusaha ‘impor ekspor’ membuatnya sering ke luar negeri.

“Kau sudah bisa mengendarai mobil Tin?” tanya Tuan di pagi hari ketika mereka sarapan. Aneka macam hidangan tersedia. Sang Bibi selalu menolak setiap mereka makan bersama. Ia membawa satu piring makanan dan menyantapnya di kamar sambil menonton sinetron.

“Pekan ini aku akan coba bawa mobil sendiri,” ucapnya kikuk.

“Bagus, oh ya selama empat pekan aku akan pulang kampung, ibuku sedang sakit,” ujar Paman Tom. “Semoga Ibumu cepat sembuh,” tutur Tina.

Paman Tom di sambut di ruang tamu. Di sana sudah hadir keluarga besar. Anak-anaknya yang kuliah di Amerika juga ikut bergabung. Hatinya tiba-tiba menciut. Pendingin ruangan yang besar itu tak mempan mengusir gerah yang tiba-tiba menyergapnya.

“Sudah satu tahun kau meninggalkan rumah ini, apa yang kau lakukan di Indonesia,” tanya seorang perempuan dengan dialek korea selatan yang medok. “Berbisnis,” ucap Paman Tom.

“Sekarang kamu pandai berbohong!, Cepat tinggalkan Indonesia dan perempuan desa itu. Kalau tidak aku akan gugat cerai kau!, dan semua kerjasama akan di atur ulang. Semua keluargamu dan juga dirimu tak akan mendapatkan apa-apa. Dan kalian akan kembali tidur di emperen toko!” teriak perempuan itu. Sementara kedua anaknya menatapnya jijik.

“Baik,” ucapnya parau.

“Dasar lelaki tak tahu di untung!” teriaknya kembali. Ia meninggalkan ruang tamu. Anggota keluarga yang lain ikut bubar. Seorang laki-laki berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat mendekatinya.

“Tinggalkan dia,” ucapnya. Tangan kanannya yang keriput mencengkram kuat bahu Paman Tom. Ia pun meringis kesakitan. Ia buru-buru mengangguk. “Baik Ayah.” Jawab Paman Tom.

Tina pulang ke Bogor mengendarai mobil Eropa. Sampai di rumah ia disambut meriah. Soudara-soudaranya memperlakukan layaknya raja. Ia mencari-cari ayahnya. Tak ada di rumah.

“Kemana ayah.”

“Biasa di ‘kebon’, jawab salah seorang soudara ayahnya.

Tina meluncur ke ‘kebon’. Maksudnya tempat judi. Sampai disana suasana sepi. Ia menemukan ayahnya yang tertidur pulas. Tina membangunkannya. Ayahnya tertawa melihat putrinya pulang.

“Hebat sekali kau nak?” puji sang Bang Kobar. Sementara gelak tawanya tidak berhenti sampai di depan Mushola. Tempat yang penuh kenangan. Ia keluar dari mobil dan sholat magrib. Bang Kobar menolak untuk turun.

Ketika keluar dari Mushola ia berjumpa dengan salah seorang sahabatanya. Hatinya yang gembira berubah sedih. Kata-kata dari sahabatnya mengandung bawang.

“Dasar perek!” ucapnya kasar. Senyum Tina hilang berganti rasa sakit. Air matanya tiba-tiba saja jatuh.

Satu pagi ayah dan saudara-saudaranya mampir ke rumah. Mereka mengambil apa saja yang menarik baginya. Guci, Karpet Turki, sampai pembersih WC pun mereka ambil. Tina pun tak bisa berbuat apa-apa. Mereka berdalih apa saja. Ayah pun mengamininya.

“Kasihan, mereka sedang terlilit hutang, bantu mereka ya,” pinta sang ayah.

Tina mengangguk. Air matanya sulit terbendung. Begitu selesai dengan hajatnya, saudara-saudaranya pergi begitu saja. Hatinya tiba-tiba sangat kacau, pikirannya melanglang buana, dan Paman Tom, suaminya makin sulit dihubungi.

Tina menangis sendiri. Ruang tamu sangat sepi. Bibi pulang kampung melayat suaminya yang meninggal. Ia tertidur di atas sofa dan terbangun mendapati dirinya sudah di kepung saudara-saudara dari Bang Kobar. Mereka memasang wajah melas. Sementara Bang Kobar duduk mengangkat kaki di salah satu kursi yang biasa Paman Tom duduki.

“Ayah pinjam surat-surat rumah dan mobilmu ya.”

“ Untuk apa.”

“Pinjam duit ke bank, buat usaha ayah dan usaha saudara-saudaramu.”

“Tapi, aku harus izin sama suami dulu yah.”

“Tak perlu karena hari ini kawin kontrakmu sudah habis, dan nanti ayah akan bangunkan rumah yang lebih mewah dari rumah yang kamu tinggali.” Sorot mata Tina tiba-tiba berubah seperti mata beruang yang kena jebakan. Ia pun meninggalkan ruang tamu menuju ke kamarnya. Terdengar teriakan dan lolongan tangis yang menyayat. Bang Kobar tersentak, tetapi saudara-saudaranya cepat-cepat bereaksi agar kelicikan mereka tak tergagalkan oleh nurani yang tiba-tiba hadir pada benak Bang Kobar.

Mereka pergi meninggalkan rumah Tina yang mewah dan megah. Hampir seluruh perabotannya lenyap oleh tangan-tangan rakus saudara-saudara Bang Kobar. Mereka semua gila judi.

Di sebuah rumah judi yang ramai. Mereka bertaruh dengan sertifikat rumah dan mobil milik Tina. Sementara Bang Kobar sibuk menenggak bir sambil mengacungkan uang bergepok-gepok di atas meja judi.

Kali ini mereka menang. Semua uang hasil judi mereka bawa kabur. Sementara Bang Kobar terkapar di meja judi dengan nyaris telanjang. Uang bergepok-gepok itu lenyap oleh kelicikan sang bandar.

Tina mengurung diri. Wajahnya kuyu. Sementara perutnya mulai membesar. Dan ia kelihatan linglung.

Bang Kobar terbangun sendiri oleh tangisan Tina. Di dapatinya ia sedang duduk di atas amben di tengah ‘kebon’. “Ayah menjualku pada orang kota, ayah kejam!” teriak Tina sambil tergugu.

“Tidak, ayah ‘menikahkanmu’ pada orang kota, itu yang betul.” Pungkas ayah.

“Ini buktinya!” ucapnya. Nada perkatannya makin tinggi. Ayah yang masih pengar ingin membantah dan menutupi semua kejahatannya. Tetapi secarik surat lengkap dengan tangannya membuatnya terpaku. Dan ia membaca pada bagian yang paling menyengat kesadarannya.

“Sekarang ayah mau mengelak!” cecar Tina.

“Maafkan aku nak?”

Tina pergi dari ‘kebon’. Di ujung jalan sebuah mobil berhenti. Paman Tom keluar dari mobil itu. Tina langsung berlari ke arahnya. Ia ingin memeluknya.

“Kenapa kau jual rumah dan mobilmu!” Dasar pelacur bodoh!” umpat Paman Tom dan menghujani kedua pipi Tina dengan tamparan serta beberapa pukulan.

“Hentikan!, teriak Bang Kobar yang muncul dari balik pepohonan.

“Anak dan ayah sama saja. Sama-sama goblok!” hardik Paman Tom.

“Pergi! Pergi! teriak Bang Kobar.

Paman Tom tertawa lebar.

Paman Tom masuk masuk mobil dan melaju. Tina berdiri kaku dan rahangnya mengatup. Ia diam tak mengeluarkan sepatah kata. Ada darah yang keluar dari sudut bibirnya. Bang Kobar mengajak Tina pulang ke rumah dan menyuruhnya istirahata di kamar, tempat ia dilahirkan.

Ia meninggalkan Tina sendiri yang tertidur. Lalu berlari ke arah ‘kebon’. Mencari pohon kopi yang pernah di tandainya dengan getah karet. Ia menggali tanah di sekitar akar pohon tersebut. Ia berhenti mengambil tanah ketika tangannya menyentuh kotak yang terbungkus plastik.

Satu kotak perhiasan milik mendiang istrinya masih utuh. Ia ingin memberikan perhiasan itu untuk Tina sesuai sesuai wasiat terakhirnya. Senyum culas tiba-tiba hadir. Bang Kobar mengeluarkan kotak kecil dari dalam sakunya. Ia memasukan tiga buah kalung dan tiga cincin. “ini cukup untukmu nak.” Tukasnya sambil menyeringai. Sisanya, gelang jumlah yang banyak, siap-siap ia bawa ke ‘kebon’.

0 Comments:

Posting Komentar