Ia berhenti mengunyah sarapan. Ia terkejut, ternyata seorang manusia yang tengah mengamatinya dan siap-siap memanjat pohon jengkol. Dahan yang duduki tiba-tiba bergoyang. Seorang anak manusia tengah naik pohon jengkol sambil meringis manahan gatal. Ulat-ulat bulu yang menempel sepanjang pohon jengkol, tewas tergencet dan bulu-bulunya menempel di kulitnya.
Topa tubuhnya menegang. Ia terlihat panik dan taku. Ia teringat kedua kakaknya yang ditangkap oleh manusia-manusia tak bertanggung jawab. Anak manusia berhasil naik sampai ke atas pohon dan mulai membidik Tupa. Rasa takut yang berlebih membuat tubuhnya sulit bergerak. Ia ingin melompat ke dahan pohon dukuh. Tetapi tubuhnya seperti menempel kuat pada dahan yang duduki.
Pandangannya gelap tiba-tiba ketika tanah kering dan padat yang dilesatkan oleh ketapel mengenai perutnya. Topa mengerang keras dan jatuh ke bawah. Tubuhnya tak bergerak.
“Bangun Topa!” teriak Pato, si burung Pelatuk. Juga riuh rendah teriakan dari burung Prenjak dan burung Kemaduan.
Anak manusia turun dari atas pohon jengkol. Puluhan ulat bulu yang belum tergerus tubuhnya sewaktu naik ikut tewas ketika tergerus tubuh manusia itu. Sampai di bawah sibuk menggaruk-garuk keseluruh bagian tubuhnya.
Sambil terus menggaruk ia bergerak menuju Topa. Pato, si burung Pelatuk dan teman-temannya kembali berteriak memanggil namanya.
“Bangun Topa!, bangun!” teriak Pato, si burung Pelatuk. Ditambah terikan dari Burung Prenjak dan Burung Kemaduan.
Topa bangun pada detik tangan manusia itu hendak meraihnya. Ia berusaha berjalan cepat ke samak-semak. Anak manusia itu semakin sibuk menggaruk tubuhnya yang gatal. Ia balik kanan sambil mengeluh.
“Lain kali, akan kutangkap kau!” teriak anak manusia.
Si anak manusia pun pergi. Topa kembali ke pohon jengkol menunggu Ibunya pulang. Ia tampak lelah.
“Bagaimana keadaanmu Topa,” tanya Pato.
“Perutku sedikit nyeri,” jawab Topa.
“Hampir saja kamu tertangkap,” ucap Pato, si burung Pelatuk. Burung Prenjak dan Kemaduan terlihat ikut khawatir.
“Terimakasih semuanya, terutama kau Pato” ucap Topa
Senja mulai turun.
“Kenapa menangis Nak,” ucap Sal, si Ibu Tupai.
“Aku hampir ditangkap anak manusia Bu,” ucap Topa sambil memeluk ibunya.
“Dasar anak manusia serakah,” kata Sal.
“Coba kalau ada Ayah,” kata Topa. Ia melepaskan pelukannya. Ia menghapus air mata, dan duduk di batang pohon dekat dengan sarang.
Tuka, si ayah Topa tewas ketika ingin menolong kedua anaknya. Sebuah peluru dari senapan angin tepat menghajar kepalanya. Ia pun jatuh tersungkur bersimbah darah. Topa dan Sal tampak terkejut dan sedih. Mereka hanya bisa melihat ayahnya dari atas pohon tak bisa membantunya.
Sebuah suara mengejutkan mereka.
“Hei kalian cepat berjalan. Kalau lambat upah kaliah akan dipotong. Tupai-Tupai ini harus sampai sebelum acara karnaval,” bentak seorang manusia berbadan besar brewok panjang kepada pendorong gerobak yang didalamnya ada kandang-kandang besi berisi ratusan ekor Tupai.
“Bu, apakah ada kakakku di dalam kandang itu,” tanya Topa. Mereka sedang di atas pohon duren.
“Ibu tak tahu, coba kita lihat lebih dekat,” ajak Ibunya.
Mereka berdua turun dari atas pohon Duren. Mereka berdua sembunyi diantara daun-daun pohon duren. “Tor, Tan!” teriak Topa dari balik dedaunan. Tupai-tupai dalam kandang itu hanya terdiam. Wajahnya tampak putus asa. “Tor!, Tan!” teriak Topa lebih keras lagi.
“Mereka bukan kakakmu Nak?” ucap Sal, Ibu Topa.
“Aku yakin Bu, mereka Tor dan Tan, aku kenal bulunya? Kilah Topa.
“Bukan!, mereka bukan Tor dan Tan, ayo kita pergi sebelum manusia-manusia serakah itu mengetahui keberadaan kita. Keduanya kembali menaiki pucuk pohon Duren.
“Kau belum tidur Topa,” ucap Ibunya.
“Belum mengantuk Bu,” jawab Topa.
Malam semakin larut. Keduanya masih terjaga.
“Topa, kau rindu dengan kakakmu.”
“Kaukah itu Bob?” tanya Sal.
Bob si Burung hantu muncul memperlihatkan dirinya. Suaranya yang besar cukup mengagetkan mereka.
“Ada karnaval di negeri para badut. Mereka bersama hewan lain akan tampil digelanggang arena. Hati-hati jangan sampai tertangkap. Jika beruntung kalian bisa melihat Tor dan Tan beraksi di sana. ”
“Apa kau serius Bob,” ucap Sal.
“Tentu saja.”
“Terimakasih Pak Bob,” ucap Topa.
Bob si Burung Hantu, tertawa. “Sama-sama Nak.” Ia pun pergi. Mereka masuk kedalam sarang. Dan malam terus saja berjalan tanpa bulan yang bersinar.
0 Comments:
Posting Komentar