Senin, 13 Januari 2025

Seorang Maling dan Polisi Berwajah India

Seorang maling tengah terpojok di sebuah jalan buntu. Setelah sebelumnya berusaha lari dari kejaran para penghuni Gang Masjid dan sekitar baik tua ataupun muda. Mereka berhasil menjebak serta menyudutkan maling pembobol kotak amal di tempat sudah direncanakan. Wajah-wajah pengepung tampak beringas dan menyimpan kobaran api amarah.

Maling itu terduduk dan menatap para pengepung. Wajahnya sudah seputih terigu. Uang yang ia curi dari kotak amal, ia genggam erat-erat. “Cepat kembalikan uang itu?” ucap seorang berpeci berkali-kali. Uban putihnya menyembul dari balik peci hitamnya.

Maling itu menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak!” jawabnya. “Pergi saja kau!,” Teriaknya. Nafasnya tersengal.

HP jadul yang ia kantongi sudah tujuh kali berdering. Tangannya seperti ingin merogoh dan mengambil, tetapi salah seorang dari pengepung tiba-tiba menyambar lehernya dan memitingnya kuat-kuat.

“Sudah Pak Ustaz, biar kami yang menyelesikan!” teriak seorang yang maju mendekati maling itu. Dan tenaga Pak Ustaz kalah kuat dengan para pemuda yang sedang diselimuti kebencian.

Seorang lain berlari cepat dan memberikan pukulan kuat mengarah ke perut. “Akhrh!” sontak maling itu melenguh keras. Tubuhnya merosot kedinding tembok berlumut. Ia melenguh kesakitan ketika tendangan keras mendarat tepat di kepalanya yang sejak dua malam terserang vertigo.

“Ampun Pak, Ampun?” rintih maling itu pelan. Darah sudah meleleh memenuhi mulutnya, ketika bogem kasar dari orang bertato menghujam keras berkali-kali. “Dasar maling busuk!” ucapnya sambil memberikan tambahan tendangan ke perutnya. Wajahnya makin sangar.

“Ampun?” Suaranya makin lemah lalu hilang dibalik pukulan dan tendangan liar bergantian mengenai tubuhnya yang ringkih.

Pandangannya gelap. Uang yang digenggamnya lepas bersimbah darah. Dan ia kalah sekali lagi melawan ketiberdayaan, ketidak
pedulian, janji-janji manis yang diucapkan oleh mulut para penguasa.

“Bakar manusia bangsat ini!” seru seorang dari balik kerumunan. Tangannya mengacungkan jerigen dan menyeringai kasar.

Maling itu tak berkutik. Ringkihan dan minta tolong tak lagi terdengar. Tubuhnya telah kaku, telentang siap menerima hukuman maha berat.

“Bakar!” ucap orang itu lagi. Kali ini ia maju kedepan. Siap-siap menuangkan derigen yang berisi BBM yang sedang naik terus.

“Berhenti! Jangan main hakim sendiri!” ucap seorang polisi berwajah India yang tiba-tiba saja muncul seperti dalam adegan film-film stasiun televeisi swasta.

Ia memeriksa maling naas itu. Memeriksa denyut nadinya. Wajah maling itu telah membisu. Ia berdiri menatap wajah orang-orang yang masih menyimpan marah berlapis geram. Polisi itu melepas topi dan memberikan penghormatan terakhir.

“Orang ini sudah mati!” ucapnya. Seketika orang-orang yang terlibat dalam penghakiman mematung, beberapa menyesal, yang lain menghela nafas puas merasa telah menuntaskan kemarahan pada maling yang telah lama meresahkan.

HP jadul dalam saku maling itu terus berdering. Nyaring terdengar. Orang-orang menunggu siapa yang menelepon pada orang yang sudah terbujur kaku. Termasuk Polisi berwajah India itu. Ia menarik nafas dan merogoh saku dan mengambil HP tersebut.

Polisi berwajah India tertegun sejenak sebelum menekan tombol jawab. Dan ia menekan tombol suara nyaring (loud speaker) agar terdengar orang-orang yang telah main hakim sendiri.

“Ayah kapan pulang, aku sudah laper banget!, kata Ibu, beras di rumah sudah habis, cepat pulang ya Yah. Halo ayah, kok diam aja, Halo Yah, Ayah...!, Yah...?!

0 Comments:

Posting Komentar