“Kek kenapa tubuhku bongkok?” tanya Bako satu malam.
Kakek komar menatapnya.
“Sabar ya,” jawab kakek.
“Yang lain tidak bongkok kek,” cecar Bako.
Kakek komar berhenti mengunyah tape. Meneguk air hangat dari gelas pemberian anaknya yang sudah almarhum.
“Karena Allah sayang sama kamu.” Ucap kakek.
“Allah nggak sayang sama aku kek, tubuku bongkok, dan teman-teman sering meledek.” Pungkas Bako.
“Pasti sayang,” jawab kakek lembut.
“Nggak!” Teriak Bako. Ia masuk kamar dan menangis.
Bako kembali membuka pintu, kakek Komar lega.
“Allah jahat!” ucapnya. Bako menutup pintu kembali.
Kakek Komar menghela nafas.
Tak lama kakek Komar menghampirinya dan mengelus-elus punggungnya. Sang kakek memberinya cerita. Bako tersenyum. Ia memeluk tubuhnya. Mereka berdua terlelap.
Satu Sore
“Kek, ada lomba, aku boleh ikut nggak?” tanya Bako semangat.
“Tentu saja boleh, semua lomba boleh kamu ikuti,” tutur kakek.
Bako senang. Ia lompat-lompat. Melupakan tubuhnya yang bongkok. Ia masuk ke rumah. Dan keluar dengan baju santai.
“Kek, tolong tancapkan tongkat kuat-kuat ke dalam tanah.”
“Buat apa.”
“Latihan, nanti lombanya mencabut tongkat.”
“Dengan senang hati cucuku.”
Tiap pulang sekolah Bako latihan. Tidak kenal lelah. Ditemani kakek Bako terus mencabut tongkat berkali-kali.
Puncak Lomba
“Dari perwakilan kampung dukuh silahkan,” ucap pembawa acara.
Muncul dari kerumunan seorang bertubuh tinggi lagi kekar.
“Kau sudah siap!” ucap pembawa acara.
“Siap!” ucapnya melengking. Penonton terdiam. Dari balik tubuhnya yang tinggi keluar suara cempreng yang membuat sakit telinga. Penonton tertawa.
Si tubuh tinggi lagi berotot mulai mencoba mencabut tongkat. Percobaan pertama gagal. Ia pun terkejut. Tongkat seperti menempel kuat di dalam tanah. Ia pun mencoba lagi. Gagal. Percobaan terakhirpun gagal. Ia sampai terjengkang kebelakang. Penonton tertawa dan ia kembali lagi kelompoknya.
“Peserta selanjutnya dari perwakilan kampung rambutan, beri tepuk tangan.”
Para penonton bersorak-sorai. Gembira dan senang. Anak kecilpun ikut bahagia melompat-lompat.
“Kau siap!”
“Siap Pak!” teriak si tubuh tinggi namun kurus sekali. Suaranya besar dan menggelegar. Membuat penonton terdiam. Hanya sejenak. Mereka kembali tertawa dan bertepuk tangan. Makin meriah suasana.
Si tubuh tinggi lagi kurus langsung mencabut tongkat itu. Wajahnya menegang. Otot-otot lehernya keluar. Terdengar suara kentut yang besar. Hanya ia yang mendengar. Penonton makin histeris dan bertepuk tangan tiada henti. Ia mencoba lagi walau tubuhnya sudah bercucuran keringat. Ia tidak menyerah.
Sampai pembawa acara menghentikan usahanya. Waktunya sudah habis. Ia pun kembali ke kelompoknya. Ia menangis keras. Gagal membawa hadiah untuk anaknya.
“Peserta berikutnya!, dari kampung Manggis!” lantang pembawa acara memanggilnya. Sontak penonton senang.
Lelaki pendek tampak kuat. Tak beralas kaki. Kakinya lebar dan jemarinya besar-besar. Ia seperti pejalan kaki yang ulung. Tak ada yang menyemangatinya.
“Kau sudah siap anak muda!” teriak pembawa acara.
Ia hanya mengangguk cepat. Ia berlari sambil memakai ikatan di kepala. Penonton memberinya semangat.
Ia mulai mencabut. Semangat sekali usahanya. Berkali-kali ia berhenti untuk mengambil kekuatan. Sampai batas yang di tentukan lelaki itu tak berhasil mencabut tongkat. Ia pun gagal dan berlari menjauhi arena.
Kini tiba saatnya Bako maju ke depan. Penonton sejenak terdiam. Melihat seorang anak maju ke tengah arena. Tetapi hanya sebentar. Mereka langsung tertawa. Bako terlihat tenang. Ia menatap sang kakek. Si kakek mengangguk memberinya semangat.
Percobaan pertama gagal. Penonton teriak meminta untuk pulang saja. Begitu juga usaha kedua. Anak-anak ikutan mengejek. Ia mengambil nafas dan mencobanya sekali lagi.
Bako mencabut tongkat itu keras-keras. Tubuhnya berkeringat. Beberapa kali bergetar. Sejenak penonton terdiam melihat usaha Bako. Bako terjungkal kebelakang. Tubuhnya mencium tanah. Dan kedua tangannya memegangi tongkat. Penonton bersorak gembira. “Pemenangnya dari kampung Jambu Monyet!” teriak pembawa acara. Semua penonton bertepuk tangan.
Di rumah.
“Ternyata Allah ngga jahat ya kek,” ucap Bako.
“Tentu saja tidak. Allah Maha penyayang,” jawab kakek.
Keduanya tampak senang melihat sepeda baru berdiri di dalam rumahnya.
0 Comments:
Posting Komentar