Aku duduk di samping dan mengelus pundaknya. Terasa berotot. Sampai sekarang suamiku masih rajin cardio dan disiplin pola makan.
“Nggak habis pikir kenapa ayahmu tega, ngatain aku sebagai Wedus. Seekor hewan yang bau itu. Kan ayahmu ustaz, orang berpindidikan tinggi, sering kemana-mana, tetapi kata-katanya menyakitkan. Tertuju sama menantuya sendiri. Apalagi tadi banyak keluarga kamu yang hadir,” Ucapnya, rahangnya mengeras. Aku ingin tertawa, tetapi kasihan meliht tampangnya yang kuyu.
“Memang kata-kata yang diucapkan oleh ayah, seperti apa. Hingga buat seorang Dokter bisa jadi manyun begitu,” kataku sepelan mungkin dan sehalus mungkin. Kukenal perangainya, karena suamiku itu teman masa kuliah, dan kos-kosannya hanya sepelemparan batu.
“Itu loh Win, apa tadi Mantukuwedus, lalu doyan makan sayur daun singkong, begitu. Apa nggak keterlaluan, memang saya sayur itu, tetapi kamu tahu aku bukan Wedus. Begini-begini aku tahu sedikit bahasa jawa?” cerocosnya.
Aku tidak bisa lagi menahan tawa. Pecahlah tawaku yang kencang dan nyaring. Membuatnya tambah senewen. Tubuhku sampai terguncang-guncang diatas kasur.
“Kok malah ketawa!, nggak lucu tahu!” ucapnya ketus, melempar buku yang sedang dibacanya mengenai bagian tubuhku. Aku tahu ia butuh penjelasan yang masuk akal. Jika ia tidak tahu perangaiku, mungkin ia akan semakin marah tak terkendali.
“Gini suamiku yang ganteng. Baik hati dan pandai menabung,” ucapku sambil mengatur nafas karena sulit mengendalikan tawa yang panjang dan menggelikan. Sisi naif dari suamiku masih saja melekat erat, kuat, bahkan mungkin nanti sampai kakek-kakek.
“Jangan tawa terus dong? Maksudnya apa?” kejarnya.
“Mas Umar, maksud ayahku itu. Ayah berkata pada pamanku: Man, Tuku Wedus, artinya Paman Beli Kambing. Soalnya pamanku itu punya banyak kambing. Ayah pengin beli nanti untuk idul adha, begitu Mas?” jawabku sambil mesam-mesem. Wajah suamiku melunak.
“O begitu, jadi bukan ngatain aku Win?” tanyanya lagi.
“Siapa yang ngatain, malah sering muji kamu. Katanya kamu udah Dokter, ganteng lagi, pinter banget sih Win kamu nyarinya. Itu kata ayah dan Ibuku.”
“Jadi malu, kita lanjutkan yang tadi malam ya?” ucapnya. Wibawanya sudah kembali. Tetapi aku nggak bisa nahan sesuatu yang menggelikan. “Maaf nggak bisa Mas.”
“Loh kenapa, kamu marah?”
“Nggak, tadi pagi aku haid, maaf Ya,” ucapku sambil senyum dan ingin tertawa lagi.
“Yah...” ucap Mas Umar. Sambil menepuk jidatnya dan menjatuhkan punggungnya ke kasur.
Aku tertawa lagi.
0 Comments:
Posting Komentar