"Ayah aku ingin pindah sekolah saja, nggak enak di sekolah, Banu selalu mengganggu padahal aku tidak usil," Kata si anak menjelang tidur malam. Kepalanya ia benamkan dalam ketiak ayahnya.
"Pindah sekolah itu belum tentu bisa menyelesaikan masalah, bisa jadi di sekolah yang baru ada lebih banyak anak-anak kayak Banu," jawab si Ayah dengan isi jawaban sedikit "mengancam" situasi. Si Ayah berusaha membawa isi pikiran anaknya kedalam cara alam pikir orang dewasa, tentu saja ini berisiko. Jika tidak ada pendampingan yang terus menerus.
Ia membenamkan kepalanya ke ketiak ayahnya lebih dalam. Seperti burung yang ingin hangat di bagian kepalanya.
"Nggak enak di sekolah," ia mengulangi kata yang sama.
"Kamu harus berani bicara, kalau tidak nyaman katakan tidak. Perjalananmu masih panjang," Kata si Ayah.
Mungkin ada banyak kata yang bisa mewakili kejadian itu. Ada baiknya pikiran alam bawah mengaktifkan kata-kata positif yang segera dimunculkan bila anak-anak mengalami School refusal yang ia sendiri tak bisa mengatasinya. Orangtua mohon untuk menumbuhkan bakat atau setidaknya memaksakan bakat seorang mas-mas motivator agar anandanya di rumah berkurang kecemasan, ketakutan, bahkan penolakan tak ingin sekolah.
Bahwa memilih Home Schooling adalah cara lain agar anak bisa menumbuhkan bakatnya, menggali ekpresi kepribadian secara lebih terukur. Itu bisa saja terjadi, tetapi ada banyak pilihan selain home schooling. Kursus-kursus kah, les piano, sekedar membacakan cerita, ayah yang mengajarkan kemacoan anak lelaki, dan seterusnya. Home Schooling adalah pilihan yang baik diantara pilihan-pilihan yang baik juga.
Kembali lagi, pindah sekolah adalah cara terbaik setelah cara-cara terbaik dilakukan. Secara alami pindah adalah hal yang wajar, karena efek lingkungan adalah akan melahirkan pengaruh-pengaruh kuat di masa yang akan datang. Seperti Efek menulis lahir dari efek membaca. Efek dari bully bisa melahir pembuli-pembuli lain. Salah satu cara terbaik adalah soal pendekatan personal kepada pembuli atau terhadap korbannya. Adalah pola asuh akan melahirkan asuhannya. Hindari pola asuh yang cenderung anti klimaks antara sekolah dan rumah. Minimal seimbangkan, agar nilai-nilai yang berkembang di sekolah dapat di budayakan di rumah secara wajar dan menyenangkan.
Bahwa Ikan tidak bisa memanjat pohon, adalah ketidakmanusiaan kita/aku/kami/kamu sebagai ukuran manusia. Mungkin saja ada hal-hal yang sering dibebankan kepada anandanya yang mungkin belum waktunya, katakanlah seperti itu. Yang jadi korban adalah perasaan yang terdalam. Tergores saja sudah sakit, apalagi sampai tercabik-cabik. Orang tua manapun tak ingin melihat salah satu buah hatinya terjun dari lantai rumahnya, mengakhiri hidupnya di tali yang membunuhnya, atau bergeser pada disorientasi pikiran sehatnya. Menjadi orang yang luntang lantung tak berbaju mengukur jalanan.
Bahwa ikan adalah ikan, bahwa kera adalah kera ia tidak bisa bertukar peran-peran kemampuan. Begitu juga ananda, ia lahir dengan bakat-bakat yang berbeda-beda. Maaf, mungkin pendekatan tak berimbang. Tetapi setidaknya orang tua bisa meredam apa-apa yang ingin diturunkan kepada anak secara membabi buta. Tanpa pernah menoleh apa yang ada pada dirinya secara sudut pandang yang berbeda.
0 Comments:
Posting Komentar