Rabu, 16 April 2025

DRAMA DI PAGI HARI

BABAK 37
Pagi itu sebuah keluarga kecil bangun. Alarem sudah bunyi menjerit-jerit sedari sepuluh menit lalu. Kokok ayam tak terdengar lagi. Seorang ayah bangun dengan letih. Beberapa tahun belakang ia ingin mengakhiri saja profesi sebagai guru. Di kepalanya sudah tertanam beberapa pola di masa depannya. Salah satunya, ia ingin serius untuk meniti karir sebagai seorang penulis. Setidaknya ia bisa bertahan karena ada ambisi yang meluap-luap di kepalanya. Ia bisa mengajar di mana saja dan kapan saja. Soal mendidik tidak terbatas ruang dan waktu. Tak perlu meniti rutinitas yang bisa membunuh bakatnya secara kejam.

Setelah ia bangun. Kedua anaknya ikut bangun. Istrinya tak lama bangun. Sementara anak ketiga yang masih bayi sudah bangun lebih dari semunya. Tengah berbicara dengan dunianya. Ketika lampu di kamarnya dihidupkan, ia kaget lalu tersenyum kepada orang yang telah dikenalnya. Ayahnya sendiri.

Ayahnya pergi ke toilet menjalini rutinitas yang tak pernah bosan. Berak. Di tengah asih buang hajat ia mendengar bunda dari anak-anak tengah mengulang materi untuk ulangan pekan ini. Bunda yang pernah mendapat beasiswa kedokteran rupanya sedang menerapkan pola belajar yang dulu pernah digelutinya, mencoba diturunkan kepada anaknya. Kepada anak lelakinya tradisi itu cukup berhasil, kepada anak perempuannya agak mentah. Darah seniman ayahnya rupa mengalir deras di tubuhnya. Ia menolak pelan-pelan, ia sedikit mirip kepada cara ayahnya yang membuat jawaban di kepalanya.

Ayahnya selesai buang hajat. Tradisi intelektual itu masih saja berlangsung, mungkin bundanya ketika tidurpun mimpinya tentang algoritma, kalkulus, kimia, yang memusingkan ayahnya. Sampai kegiatan sarapan tradisi ilmiah itu masih alot. Ayahnya menikmati sepiring nasi uduk yang dibelinya bersama kedua anaknya. Mencuri tradisi yang sedang panas di pagi hari. Anak perempuannya ikut kabur bersama kakaknya mengendari motor yang di jokiin oleh ayahnya. Ia tampak gembira menghindari sejenak tradiri yang membuat wajahnya sering cemberut. Bundanya ketus ditinggalkan ketiga orang yang dicintainya. Tanganya masih mengenggam modul yang di buat oleh guru-gurunya di sekolah.

"Kertas dibuat lap sepatu ayah saja." Pungkas bundanya. "Buat apa dibuat, kalau kamunya tidur. Besok setelah sekolah, tidur saja, bangun sinetron, kalau disuruh belajar banyak sekali acaranya. Makanlah, ngantuklah, kartunlah, gemlah, kalau begitu hapus saja gemnya, semua pertanyaan bunda, tak ada yang bisa kamu jawab." Tambahnya, wajahnya nggak enak dilihat.

Kakaknya ingin mengelak, bahwa ia tak segaris dengan adiknya yang menurutnya akan mempersulit main gem setelah pulang sekolah.

"Nggak, dua-duanya nggak ada yang main gem!" Bunda mulai mengaum. Teritorinya mulai terganggu. Ayahnya menjadi pendengar saja. Ia pikir ini wilayahnya. Hewan saja punya teritorinya apalagi manusia yang punya segala-galanya dari hewan buas itu.

Ayahnya manggut-manggut saja dalam hati. Bunda sedang mewariskan pola yang membuatnya dulu disegani dalam dunia aljabar dan turun-turunannya. Permainan di luar sana lebih ganas dari apa yang dibayangkan oleh kedua anaknya. Ia coba mewariskan jurus-jurusnya agar mereka sedikit bertahan di lahan yang culas serba instan.

Ayahnya mengira mereka akan merengut sampai di sekolah. Ketika berpamitan hanya anak lelakinya yang mau cium tangan, sementara ia menolak tegas. Di hadapan bundanya. Sampai di sekolah wajahnya jernih setalah ia melihat temannya dan menyapanya. Begitu juga kakaknya. Transisi emosinya begitu cepat. Mungkin orang dewasa setidaknya berkenan melihat kejadian ini. Tapi, sepertinya untuk ayah saja. Terimakasaih kalian telah mengajari kami.

0 Comments:

Posting Komentar