Anak itu meringkuk memeluk bantal guling kesukaannya. Bundanya sudah mulai tak tersusun kata-katanya. Anak lelakinya mogok pergi kesekolah. Padahal ia rekor tak pernah macet pergi ke sekolah barang sehari pun. Mungkin baginya aib bolos barang sehari dan tak mengisi jurnal pagi untuk pertama kalinya.
Pada hari itu, ia benar-benar melakukan tugasnya dengan baik. Merajuk tak mau ke sekolah. Rupanya setelah selidik punya selidik ia tak nyaman dengan teman sebangku. Padahal ia sudah berjanji pada ayahnya agar berani agar tak meninggalkan masalah lalu pergi menjadi pecundang kelabu yang tak bisa membedakan warna apapun.
Ia mungkin lupa akan komitmen mulia. Sebuah kalimat yang jarang diajarkan di sekolah. Ia berangkat dari rumah membawa senjata pemusnah masal yang berisi kalimat-kalimat sakti yang diturunkan oleh lidah sang ayah agar berani bicara jika memang perlu dibela. Selanjutnya ayah seragkan segalanya pada keputusanmu yang mungkin berani kau cerna dalam-dalam isi kepala. Yang kau muntahkan kepada waktu dan orang yang terasa nyaman kau tumpahi segala unek-unek.
"Kami terus kuatkan anandanya bun, sebelum benar-benar dipisah duduknya." kata bundanya suatu pagi menjelang berangkat sekolah.
Yah, sebuah cara yang tak biasa agar ia terbiasa dalam tanda petik menyelesaikan setiap masalah yang menerpanya. Ada banyak fulan-fulan yang sejenis yang mungkin kau temui kelak ketika dewasa. Entah ayah bunda bisa memberi semacam penerang agar jalan tak terseok-seok sedemikian rupa. Tetap saja ayah bunda tak bisa menebak isi kepalamu meski darah yang deras mengalir dalam tubuhmu adalah darah kami. Kami mempunyai segudang pelita yang siap kau ambil kapan saja, tak perlu membayar. Jika sewaktu-waktu pelita mati atau hilang kau boleh kembali kapan saja tak perlu mengetuk pintu rumah tiga kali. Kami sudah tahu baumu darah ribuan mil. Jadi jangan sungkan-sungkan. Kami masih sama seperti dulu, yang berbeda hanya umur kami yang terus bertambah.
Sepulang main, ayahmu memberi tahumu kegiatan esok. Ia berbinar seperti biasa, lalu mengangkat kedua tangan, ayah maklum.
Ayah terlupa kalau gurumu itu yang kau bilang galak itu adalah daya ungkap yang belum bisa kau tangkap dengan seksama. Bahwa galak sama dengan tegas, jika kau tak sepakat tidak apa. Bahwa marah-marah sama dengan benci, lagi-lagi jika kau tak setuju tak jadi soal buat ayah. Lagi pula ayah hanya mengira-ngira. Ada banyak wilayah psikologi yang tak bisa ayah jangkau dengan alat hukum. Tetapi, setidaknya kau bisa belajar banyak dari semua orang yang kau temui, hingga pada satu hari kau bisa menyimpulkan dengan caramu sendiri bukan dengan cara ayah.
Siang itu senyummu kembali lebar seperti layar lebar. Kedua tanganmu menangkup ikan yang berhasil kau tangkap di dalam kubangan. Seorang yang kau anggap sebagai guru yang galak bisa menjadi teman menangkap ikan yang menyenangkan. Ayah senang kau menemukan kembali semangatmu untuk sekolah.
Kau rindu salju pada tiap iklan tv promosi tentang perjalanan wisata muncul. Kau bisa belajar dimana saja tak mesti disekolah, justru kau akan kuat nanti pada hutan belantara kehidupan yang banyak ranjau dan bisa meledakan isi kepalamu.
Salju adalah pikirmu dan tindakmu, jadi perhatikan langkah-langkahmu agar kau bisa menghirup udara yang sama dengan tempat yang berbeda.
0 Comments:
Posting Komentar