Selasa, 08 April 2025

INTRAPERSONAL

BABAK 30
Ia menangis sesenggukan dipelukan bundanya, kedua matanya basah. "Abang penjual es krim tak perlu dipanggil ke rumah, jika tidak memungkinkan. Cukup kamu bawa uang dan beli di tempatnya saja," kata ayahnya. Nasihatnya dicerna sebelum ia berubah sedih dan menangis. Ia lupa atau belum ada intruksi. Ayah harap kamu tak perlu menunggu intruksi, sebaiknya kamu belajar berinisiatif.

Mungkin penolakan tak sengaja yang dilakukan oleh penjual eskrim mona seribu-seribu membuatnya terluka. Ia mencoba mengejar dari rumah dengan pikiran positif dapat memanggil penjual es krim itu agar dapat berkunjung sejenak di depan rumahnya.

Ketika ia menangis ayah dan bundanya memberikan kesempatan meluapkan 'emosi' yang tak bisa ia bendung dengan logikanya yang mungkin masih terbatas. Atau ia mungkin merasa bersalah pada kesimpulan yang tak begitu tepat di mata orang dewasa. Ia mencoba untuk tak merepotkan orang terdekatnya dengan berlari menyusuri jalanan komplek rumahnya dengan hasil di luar dugaannya.

"Beli es krim di warung kak Syifa saja ya, ditemani ayah," kata bunda setelah lima menit tangisannya mereda.

"Ayo ayah temenin," katanya merajuk, kedua matanya masih berkaca-kaca.

"Yuk," ungkap ayahnya.

Sampai halaman rumah wajahnya berubah cerah. "Yah, itu abang es krim mona ada di sana," katanya cepat-cepat.

Adiknya menyusul dengan mata mengantuk. "Kau mau," tanya ayahnya.

"Nggak mau," katanya beberapa kali. Setelah ayahnya menawarkannya keempat kalinya ia memegang kerucut es krim.

"Ya udah," katanya, agak cemberut.

Ketika pulang ia disapa oleh anak perempuan kelas 5. Ayahnya yang menjawab dengan mengembalikan sapaannya. Kedua anak itu berjalan ke rumah. Adiknya berhenti untuk menyapa temannya.

"Kenapa tak menjawab sapaan kakak itu," kata ayahnya penasaran.

"Aku jawab yah, ayah saja nggak dengar."

Beberapa menit yang lalu ia bercerita kalau ada kakak yang merasa tak nyaman dengan nyanyiannya. Padahal ia tak bermaksud untuk menyindirinya. Ia terlihat ingin memperbaiki 'kesalahan' yang mungkin bukan kesalahan. "Aku kan cuma nyanyi-nyanyi yah, eh mereka marah," katanya sambil menghentakkan kaki kanannya. Sang ayah mencari sebuah jawaban, tampak ia berpikir. Kedua alisnya mengkerut. "Mungkin suaramu terlalu tinggi, atau mungkin kamu perlu menjaga sikap," kata sang ayah agak ragu-ragu menjawab.

"Nggak yah, ayah mah begitu, kan aku cuman nyanyi yah." Sekali lagi ia berusaha untuk membenarkan sikapnya. Ayahnya juga belum mengetahui isi lagu itu langsung memberikan kesimpulan.

"Kakak itu kenapa menyapa, kamu tahu alasannya."

"Nggak yah."

"Kakak itu sedang meminta maaf dengan cara lain."

Ia berhenti dan menatap ayahnya, seperti mencari-cari kebenaran yang tersembunyi.

0 Comments:

Posting Komentar