Ramai lapangan komplek suatu perumahan. Anak-anak dan orang dewasa dari ibu-ibu sampai bapak-bapak, semua ada di sana. Semua penasaran atas kegiatan yang baru muncul di komplek itu. Mereka ingin melihat para pendekar silat yang nantinya unjuk kebolehan dan akan melatih para putra putri mereka.
Pembukaan dan pertunjukan silat tradisional pun di mulai. Para pendekar silat itu berpakaian hitam-hitam dengan ikat pinggang beragam. Mulai dari hitam, biru, dan juga putih. Hanya saja para pendekar berikat pinggang putih itu sikapnya lebih tenang. Usut punya usut lelaki ber-ikat pinggang putih adalah ketua pelatihnya.
Mereka berkumpul di tengah lapangan setelah nama-nama mereka dipanggil. Anak-anak itu berlari pemanasan dengan suasana meriah dan semangat, maklum ini baru pembukaan pertama.
Tampak satu anak yang berwajah sendu menatapi anak-anak yang lain riang ikut latihan. "kau ingin ikut, baru pembukaan tidak apa," tanya ayahnya.
"Nggak ah, sudah terlambat," ucap si anakdengan kesal.
"Kenapa kamu ngasih tahunya mendadak, ayah bisa siapin uang. Sekarang ayah tak pegang uang," jawab si ayah.
Si ayah mencuri pandang wajah anaknya. Punggung si anak terlihat sibuk untuk menghapus jejak air mata yang tiba-tiba melelah.
"Ayah nggak kaya! ayah miskin!" ucap si anak yang makin sibuk menghentikan air mata yang tak diiringi dengan isakan.
Si ayah terdiam mencoba mencerna perasaan yang sedang dialami oleh anaknya. Ada sayatan kecil yang cukup memerihkan hatinya.
"Nanti belajar sama ayah saja, gulat."
"Nggak mau sendiri, maunya sama temen-temen."
Para pendekar itu melakukan pemanasan lima meter dari tempat duduknya. Matanya sibuk megawasi sekitar. Si anak juga tampak awas melihat para pendekar-pendekar itu.
"Ayah kenapa orang itu cuma pakai tangan satu."
sang ayah tampak mengawasi orang yang telah di teliti sang anak.
"Tangan sebelahnya sedang sakit," ucap sang ayah.
0 Comments:
Posting Komentar