"Ayah aku masih takut." Katanya pelan.
"Kamu bisa nak, seimbangkan badan, santai saja,lihat jalan, dan jangan lupa rem." Kata Ayah. Bagi keduanya mereka mencoba selalu menerapkan pijakan ketika melakukan sesuatu.
Sepeda meluncur. Ayah tahu kamu bisa membunuh rasa takut. Meredam keraguan. Dan memeluk keberanian. Sepeda meluncur dengan kecepatan sedang. Permulaan yang baik. Ayah lupa kalau di depan rumah ada saluran air (got) setinggi betis orang dewasa. Dengan kondisi sebagian tertutup oleh rumput liar. Ia sudah berada dalam mode khusus, ayah tak ingin mengubah konsentrasi. Tangan kecil kamu belum seimbang, tak mengurangi kecepatan, dan masih kaku. Ia terjerembab dengan posisi jatuh yang tidak berbahaya. Dia gunakan kakinya untuk menginjak rumput. Lalu di keluar got dengan wajah tegang.
Ayah tak ingin kamu panik berlebih. Walau jantung ayah berdetak cepat. Ayah ingin kamu menguasai ketegangan. Ia menangis dengan kondisi yang lebih berani. Karena dia berani untuk keluar dari zona nyaman. Sepedaannya bukan dengan roda tiga lagi. Aku memeluknya. Memberi ketenangan. Dan memberi listrik keberanian dan apresiasi. " Kamu hebat, sudah bisa naik sepeda roda dua." Kamu sudah mengalahkan rasa takut, takut untuk jatuh.
"Aku nggak mau naik sepeda lagi, sepedanya rusak ayah." Gerutunya sambil menangis.
Ayah tahu kalau ungkapan itu sebaliknya. Ciri khas putranya. Karena esok harinya, kamu ngajak ayah untuk belajar sepeda. Hasilnya subhanallah, meluncur dengan beberapa meter, lalu kamu berteriak girang, lupa rasa sakit, jatuh karena berhasil mengendalikan sepeda, menyeimbangkan, dan fokus. Senyumnya mengembang. Ayah mengikuti dari belakang. Ayah tertinggal jauh di belakang." Ayah aku bisa yah". Jalanan komplek berhasil kamu taklukkan.
Selamat untuk rasa berani.
0 Comments:
Posting Komentar