Apabila nanti naskah ceritamu terbengkalai atau mati suri, maka datangkan ide kreatif yang bisa melepasmu dari kemandekan dan menghilangkan penyesalan seumur hidup, karena tak pernah bisa menyelesaikan naskah secara idealis. Jika juga naskahmu tak kunjung muncul di dunia cetak, maka hukumlah tulisanmu lebih berat lagi, agar penerbit yang menolak naskahmu akan menyesal, menyesal yang tak tergantikan. Itulah cara mendidik naskahmu agar tak selalu mencari penjelasan.
Mari melipir sejenak pada penggalan pikiran menjelang tidur. Padanya selalu ada hal yang bisa dikerjakan. Coba simak satu persatu.
Perjalanan menulis seperti pendaki yang menyisakan perbekalan satu mie instan, sementara puncak gunung masih dalam bayang-bayang, perut lapar melilit, dan otak mesti terus berpikir.
Perjalanan menjadi seorang penulis, bukan seperti pemilik lampu aladin yang ongkang-ongkang kaki menyuruh ide ini itu melalui jin penunggunya agar keluar kapan saja dimana saja dan mesti beda dari kebiasaan lama.
Perjalanan menulis seperti persekutuan abadi antara minyak dan air, kadang antara ide, bentuk, isi, dengan proses menulis samasekali berbeda. Outline sudah serapih pasukan pengibar bendera, ketika eksekusi—semua yang jadi bahan masakan tercerai berai, meski begitu masih bisa dihidangkan dalam meja redaksi. Lalu penulis di hari-hari berikutnya mencari cara agar bisa tertib untuk menaklukkan permainan kata dalam tiap sesi menulis.
Perjalanan diatas mengingatkan saya pada satu undangan dari dewan kesenian jakarta (DKJ 2012). Atas undangan tersebut aku datang satu jam sebelum acara itu dimulai. Ada banyak pameran novel yang telah digitilasisasi mejeng dirak-rak yang dipola sedemikan keren. Tahun itu, tahun pertama saya selesaikan novel setebal 200 an halaman. Kastil Bermekaran judulnya.
Tak ada yang saya kenal di sana, hanya bermodalkan sedikit keyakinan, kepercayaan sebagai wartawan magang di sebuah lembaga kemanusiaan (NGO). Saat saya kirimkan novel itu lewat pos, empat rangkap sekaligus. Berdasarkan bahwa cerita yang baik adalah yang berjalan apa adanya—prinsip dasar menulis pada waktu yang lampu. Sama sekali belum terpikirkan untuk menulis sebuah novel dengan bentuk atau isi seperti apa nantinya. Apalagi memikirkan alur, angle, apalagi suara narator.
Novel Kastil Bermekaran mungkin tak dibaca sampai habis oleh para juri. Juri yang mumpuni bisa melihat kualitas novel dari halaman-halaman pertama saja. Itu membuat saya maklum. Tetapi ada kegembiraan ketika kartu undangan itu dikirimkan ke alamat rumah mertua di daerah Bintaro, dan ibu mertua yang menerimanya. Peristiwa ini sangat menyenangkan sebagai penulis pemula yang sanggup menyelesaikan satu naskah novel. Sekaligus memberikan suluh untuk perjalanan menulis yang tanpa terminal—satu perjalanan sunyi, menurut para penulis kesohor.
Novel itu jenis roman keluarga yang berkisah tentang penghianatan, cinta, dan pembunuhan lewat racun. Seharusnya novel itu bisa dipresentasikan sebagai cerita yang menarik. Meski cara menuliskannya mirip anak SD yang baru membuat jurnal, toh panitia sayembara DKJ 2012 tetap mengundang saya dalam malam sayembara anugrah. Ini menimbulkan keharuan.
Saat masuk ke TIM, sebuah tempat bergengsi yang saya tempuh dari tempat kerja (condet) dengan cara tersesat beberapa kali. Mengingat jalan adalah satu diantara kepayahan yang saya miliki. Seseorang yang saya yakini sebagai bagian dari panitia memberikan sebuah makalah yang ditulis oleh A.S Laksan—dari sini aku menemukan nama tersebut sebagai guru sekaligus empu dalam menulis, meski belum pernah bertemu secara kopi darat. Tetapi saya bisa memutar ulang sebanyak yang saya mau, materi-materi yang disampaikan lewat platform digital baik youtobe ataupun blognya. Saya akui nama itu sebagai mentor dalam tulisan-tulisan saya nantinya. Perjalanan ini membut saya gembira dan selalu merayakan dengan caranya sendiri. Baik ketika mampu menulis—mendekati apa yang dimodelkan oleh Mas Sulak, begitu orang-orang terdekat memanggilnya.
Mengenalnya seperti abang yang memberikan buku-buku bagus secara cuma-cuma dan ia juga menunjukan bagaimana cara membacanya. Ada banyak buku yang berserekan di sekitar kita, ambil yang bagus dan bacalah setekun mungkin. Perhatikanlah cara mereka menulis, kira-kira begitu pesannya. Tulisan yang buruk pun tetap memiliki ide dan itu bisa sangat mencerahkan. Itu semua tidak terlepas dari crafmanship seseorang yang terus tumbuh dan meningkat setiap saat.
Sayembara menulis novel DKJ dianggap oleh Mas Sulak sebagai insiden untuk memunculkan para penulis prosa yang potensial, saya setuju. Ada satu insiden lain yang membuatbsaya amat malu, dan itu terjadi saat malam anugrah menulis novel DKJ 2012. Malu atas kerendahan hati seseorang.
“Bang ikutan lomba juga?”
“Ya ikut?” jawabnya ditambah senyum sedikit.
Belakangan setelah mengikuti sepak terjang mereka dengan memendam kekaguman jenis tertentu. Orang yang pernah saya tanya, dengan mengabaikan kelancangan, waktu yang sempit, yang mungkin dimiliki oleh orang tersebut. Nanti yang muncul kemudian adalah penyesalan terdalam dan selalu mengutuki dengan ragam gegabah, arogan tak bisa membaca situasi. Mata saya yang siwer tak bisa membedakan mana peserta dan juga mana pendekar sastra. Semua tampak sama, mereka yang hadir disana bisa dibilang mumpuni di bidang penulisan, yang sama berharap apakah namanya nanti disebut sebagai pemenang atau juara harapan.
Orang yang tetap rendah hati tersebut, tetap menjawab pertanyaan remeh dari seorang yang sok tahu soal sastra, dengan hati-hati permintaan maaf orang itu bernama Anton Kurnia. Ingatanku tetap mengendap meski menginjak 13 tahun lamanya.
Seorang perempuan di samping saya bertanya apa profesinya. Saya jawab wartawan. Ia mulai mencecar beragam pertanyaan seputar dunia wartawan. Kebingungan mulai melanda, bagaimana sebaiknya jenis jawaban apa yang hendak saya sampaikan agar ia bisa menakar. Jangan-jangan perempuan itu seorang redaktur, itu membuat posisi saya sekarang tampak lebih menyedihkan.
Setelah keringat dingin mulai hangat, seiring pertunjukan musik yang dibawakan oleh Payung Teduh. Sebuah aliran musik yang baru mendarat di kedua telinga saya waktu itu, yang kebanyakan sudah nyaman dengan SOS, SLANK, PADI, JAMRUD, PETERPAN, juga DEWA. Saya membeku sesaat setelah Payung Teduh menunjukkan kebolehannya.
Tiba saatnya para pembicara dan juga murid hadir di depan saya. Setelah Anton Kurnia berbicara (belakangan baru tahu setelah aktif menyelusuri jejak para penulis indonesia), saya merasa lega sekaligus malu yang kesekian. Untuk mengatasi rasa malu dan takut tersesat pulang ke Bintaro, saya bergegas undur diri dari perhelatan hebat itu. Saat itu saya tak masuk nominasi, apalagi harapan, tetapi lomba DKJ telah memenangkan pikiran saya dengan bertemu (mengenal) dengan para penulis hebat, seperti A.S Laksana, Anton Kurnia, dan Abidah El Khaliqi. Setelah sebelumnya saya membaca karya Andrea Hirata, Habiburrahman, Asma Nadia, Tere Liye, dan lainnya. Hal ini menjadi semacam ledakan dan bisa keluar dari cangkang sebelumnya. Bagi saya ini adalah insiden dialektika yang mahal untuk saya perjuangkan, tentu saja setelah memeras intisari dari semua karya dan bagaimana menangkap isi bacaan untuk kemudian diwujudkan dalam kultur paradigma.
Mengalami pembacaan sekelumit di atas, perasaan ini tak begitu merana (sakit). Perayaan membaca saya sebelum ‘kenal’ dengan mereka, menjadi semacam penawar atas karya yang pernah saya baca. Sekaligus mulai mencicil satu persatu karya-karya yang pernah mereka sebutkan dalam berbagai diskusi sastra dan kepenulisan.
Saya sendiri terbebas dari rasa sakit—seperti yang dituturkan (dialami) oleh penulis kambing dan hujan, Mahfud Ikhwan. Menurutnya sejak bangku kuliah pertama sudah mendekati—menikmati karya-karya Kuntowijoyo dan buku-buku sastra lainnya. Pikiran dan perasaan begitu ‘hampa’ ketika bertemu buku-buku di luar bacaannya dan itu membuatnya terasa menyakitkan, begitu kira-kira seperti yang ucapkan dalam sebuah siniar.
Sejak mengenal mereka, saya susun ulang amunisi dalam menulis. Itu terasa menyulitkan. Berpindah alam. Kalau bicara hasil, karya yang saya tulis masih jauh dari mereka, tiga kali mengikuti sayembara menulis DKJ masih jauh dari Harapan, apalagi Juara. Saya sedang tidak memaksudkan DKJ sebagai tonggak satu-satunya penentu mutu sastra. Setidaknya mereka punya kapasitas untuk menilai karya sastra, yang ‘enak’ dibaca. Mutu karya yang sedang saya susun masuk kategori menyedihkan, mungkin tidak buruk. Satu kali cerpen anak yang saya tulis dan ikutkan pada lomba menulis mendapati peringkat tiga, dari 200an naskah. Kabar ini menjadi semacam pelipur lara. Selanjutnya saya tak lagi mendapati juara dalam rentang waktu lama. Masing-masing juri punya selera yang berbeda, sedangkan karya bagus tidak mengenal selera, mungkin soal interpretasi. Semacam ini tidak perlu diperdebatkan dengan serius.
Dari lomba dan membaca karya secara konsisten, dan mulai berpikir bagaimana sebuah cerita akan dipresentasikan dengan cara seperti apa. Untuk selanjutnya saya mulai terbebas terlepas dari kutukan As Laksana—jangan-jangan saya bukan sedang meniti sebagai penulis tetapi sebagi pengetik. Meski tetap saja merangkak dan hasilnya masih saja jumpalitan. Inilah percobaan bentuk yang saya perjuangkan, meski saya tidak tahu karya mana yang masuk eksperimental. Tugas saya membaca karya bagus sebagai cara mencari informasi yang cukup, dan terus menulis (tidak mengetik), sebagai sarana untuk memperbaharui cara menulis—terus begitu sampai entah kapan. Saya tidak bisa menjamin, karena ini adalah kerja kreatif.
Jika hasil menulis, entah itu novel dan jenis tulis lain masih saja jungkir balik sambil terus mengikuti mereka. Nantinya novel dan lainnya tak juga nangkring sebagai juara—harapan. Maka perayaan lain masih bisa saya lakukan yaitu pembacaan atas karya pemenang novel DKJ yang diterbitkan dan yang karya-karya bagus lainnya. Semua tindakan itu sangat menggembirakan sebagai puncak ritual menikmati sebuah teks hasil pemenang dan karya puncak lainnya. Ini menjadi semacam penanda sebagai pembaca yang mencari buku-buku bagus diantara lebatnya hutan buku.
Pada situasi semacam ini, ditengah-tengah rumitnya menyelesaikan sebuah naskah, saya ingin mengunyah Kereta Semar Lembu, sebagai novel pemenang dan saya ingin membacanya. Ini yang bisa saya lakukan, di tengah buramnya pengetahuanku tentang karya bagus. Dari sini saya bisa menjelajah buku-buku lain yang sepadan. Tanpa mengurangi rasa hormat, membaca buku-buku bagus, adalah berawal dari begitu rendah hati para panitia lomba DKJ 2012 yang mengirimkan undangan lewat Pos kerumah mertua saya (sekali lagi), padahal karya yang saya kirimkan, saya duga tidak masuk seleksi, pun mereka masih berbesar hati. Cara mereka mengapresiasi menimbulkan api tekad yang pelan-pelan tumbuh untuk mencintai dunia rekaan, di luar profesiku sebagai guru. Dari sini pengetahuan tentang membaca, menulis, karya rekomendasi, mulai tekun, saya anggap ini sebagai tonggak sejarah menyelami dunia sastra sekaligus insiden terbaik dalam menekuni dan memasuki ‘dunia’ lain. Cekap Semanten.
0 Comments:
Posting Komentar