Ada baiknya dalam keseharian sebagai seorang pendidik akrab betul dengan buku-buku psikologi. Entah itu ditulis oleh orang Indonesia atau orang asing. Semua itu bisa menjadi panduan untuk menertibkan logika pikir para guru juga bisa menuntut prilaku pada pola asuh yang diharapkan bersama. Mari coba simak bersama-sama.
Langkah-Langkah Penyuluhan Sesi curhat berbeda dengan konseling. Curhat bisa ngalor ngidul bahkan ada unsur ngibul jika kepepet, kata si anu, anuan, bahkan pada kondisi tertentu menjadi ajang taruhan karena curhatnya sudah memasuki era non personal. Adu jotos mungkin yang dialasi oleh curhat berbau ngibul, isinya fitnah. Sudah selazimnya bahwa fitnah kadang lebih keji dari pembunuhan itu sendiri. Konseling, ia membutuhkan seperangkat aturan yang kedua belah pihak sudah sepakat. Ilmu pengetahuan menyebutnya sebagai metode, yang diarahkan pada si klien atau konseli mendapatkan satu kesimpulan bagaimana ia akan memperlakukan kehidupan nantinya.
Cara mereka berkomunikasipun beralas pada kesepakatan untuk mencari jalan keluar bukan memperumit masalah seperti yang terjadi sesi curhat, jika kebablasan. Muncul kemudian ghibah tak berujung jika curhat dibungkus oleh konseling. Yang dilakukan kemudian antara konselor sebagai wadah dan klien sebagai pemilik masalah sama-sama berperan pada tempatnya masing-masing.
Si klien (konseli) memiliki keberanian untuk mengungkapkan permasalahannya yang rumit kepada konselor tanpa kecurigaan berlebih. Sehingga nantinya rintangan dapat teratasi, muncul pondasi yang kuat, dan kondisi psikis lebih tertata.
Dalam curhat minim sekali prosedur yang disepakati, bisa jadi ada loncatan tema yang berganti-ganti, misalnya sedang membahas si A yang sedang tanya tentang penyakit Panu pada temannya, coba saja berendam saja di kolam kutub utara. Sembuh nggak, tanya temannya. Nggak, mati iya, jawabnya. Hal-hal seperti tak bisa dielakan ketika curhat, jauh dari prosedur. Jika mampir dalam dunia psikolog, maka obrolannya dikenal dengan konseling yang tertata dan terukur sesuai tingkat kasusnya.
Mereka, para ahli dunia jiwa menyebutnya sebagai prosedur konseling. Meski sering terjadi dalam konseling kedua belah pihak sama sekali tak saling kenal. Kebajikan seorang konselor yang dimiliki membuat sekat-sekat emosi bisa hilang dalam hitungan menit pertemuan pertama, bahkan pada titik ekstrim sekat itu telah hilang saat mereka membuat janji, si konselor sudah memenangkan hatinya meski si klien belum mengutarakan kondisi jiwanya. Dalam prosedur, yang lebih enak disebut sebagai jalan atau langkah, di kepala terbayang apa yang dilakukan setelahnya dari kata; langkah, Jalan. Dari pada memakai istilah prosedur, kadang keterlambatan untuk memperlakukan kata tersebut, sebab ‘kerumitan’ nya, katakanlah seperti itu. Sedangkan konseling lebih akrab ditelinga sebagai penyuluhan, peran yang melekat pada dirinya ketika sedang konseling, lebih dekat dengan kata pembimbing daripada konselor. Ini memungkinkan terjadinya pembacaan dekatnya nantinya, jika teman-teman membaca buku bertema psikologi yang sering bertemu dengan banyaknya istilah psikologi. Sebagai pembaca buku psikolog sering tersandung kata-kata psikologi yang bertebaran di banyak psikologi. Langkah strategis kemudian, tak perlu menagih pada mereka (penulisnya) karena pembaca dan penulis punya jarak tertentu. Tugas pembaca adalah berpikir dan mencari istilah yang ‘menyebalkan’ dengan cara kalian masing-masing.
Mari kembali kepada bagaimana langkah penyuluhan itu dapat didekati dengan cara yang lebih sederhana, meski kadang ujungnya menemukan kendala dalam menerjemahkan apa maksud dari penulis tersebut. Tetapi itu wilayah lain.
Langkah penyuluhan bisa berjalan maksimal, manakala antara si konselor (pembimbing nasihat) dan penerima nasihat bisa saling terbuka satu sama lain. Langkah-langkah penyuluhan dapat mencapai hasil yang yang maksimal, apabila hal-hal yang telah dirumuskan betul-betul dilaksanakan secara sungguh.
a. Adanya komunikasi yang ajaib, isi kalimat-kalimatnya membangun persepsi diri tentang kehidupan yang sedang dihadapinya. Si konseli makin terbuka dengan permasalahan yang sedang di hadapi, sementara si konseler memberikan respon yang tidak bertele-tele, langsung pada intinya. Hal ini akan berpengaruh pada keadaan fisik, jika ia pemabuk, maka ia mulai menyadari bahwa fisik yang ia miliki tidak serta merta diperlakukan begitu saja tanpa pernah merawat; dengan cara menjaga kesehatannya. Pada tahap penting lainnya, struktur psikologi konseli semakin meningkat seiring dengan berjalannya konseling. Bahwa mentality adalah membutuhkan perawatan agar ia tetap waras untuk menghadapi berbagai tumpukan masalah. Dalam ranah yang lain, kenapa disebut sebagai komunikasi ajaib, karena konselor menjadi orang pertama yang harus menggunakan perangkat pendengarannya, agar konseli merasakan betul bahwa ia mendatangi orang yang tepat dan benar. Bukan malah bertambah masalah, yang ujung-ujungnya tidak mendapatkan solusi atas permasalahan yang sedang menerpa kehidupannya.
b. Konselor memerlukan penilaian terhadap hasil diskusi selama dalam proses penyuluhan, ia sebagai pendamping memerlukan mata lain sebagai matanya sendiri. Menggali informasi yang cukup terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh konseli adalah bentuk profesionalnya sebagai seorang konselor. Apakah dengan melakukan perubahan kalimat, struktur bahasa, dan pendekatan dapat membuat konseli bisa mengungkapkan permasalahannya dengan cara wajar, tidak ditutupi, atau malah semakin tertekan. Melakukan refleksi, apakah muncul kesadaran untuk menerima masalah sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa terelakkan. Kepiawaian dalam membatasi masalah setelah konseli mengungkapkan semua permasalahannya agar nantinya bisa dipilah dan dipilih mana yang perlu menjadi prioritas utama.
c. Adanya tujuan yang ingin di capai. Penulis lebih menyukai jika keduanya bisa berjalan beriringan ketika mereka sudah bertemu dalam satu meja diskusi. Kadang kala konselor menjadi penggerak utama manakala masalah begitu banyak dihadapi oleh konseli, hingga konseli perlu menetapkan uji kelayakan masalah (skala prioritas). Atau cara yang lain, konseli mengajukan sebuah permasalahan yang paling pelik lalu meminta masukan arahan dari konselor sebagai bagian dari pekerjaannya. Tujuan mesti rinci agar nantinya bisa menyelesaikan masalah tanpa ada masalah lagi, mirip pegadaian.
d. Setelah penetapan tujuan tercapai, konselor perlu melaksanakan kegiatan lain yaitu skema konseling, salah satunya memberikan contoh penyembuhan diri dari kehidupan sehari-hari. Misalnya konselor memastikan bagaimana tahap-tahap berhenti dari merokok (in vivo). Skema konseling yang dilakukan di dalam ruang diskusi untuk mencari dan menemukan masalah serta jalan keluar dalam tradisi konseling bisa disebut sebagai metode in vitro.
e. Kearifan seorang konselor dapat dilihat dari kemampuannya menakar situasi, apakah konselingnya bisa dilanjutkan atau sebaiknya diputuskan untuk berhenti melihat beragam kondisi. Setelah rangkaian pendekatan personal, penilain individu, tercapainya tujuan tertentu, strategi konseling bisa diterapkan, dan konseli terlihat adanya perubahan ke arah positif, maka konselor memerlukan serangkain uji coba kepada konseli apakah ia menjalani kehidupannya dengan mental pejuang (tidak mudah menyerah). Jika kecenderungannya berjalan di tempat, konseli makin tidak keluar dari sergapan masalah, pilihannya tetap dilakukan konseling dengan jangka waktu tertentu, dengan pendekatan lain. Dalam tradisi konseling tidak ada konsep tunggal untuk mendakati psikologi seseorang dan mengabaikan metode lainnya. Hal itu terlalu naif dan mengunci diri dari sudut pandang lain.
f. Terakhir tahap Terminasi, penghentian konseling bisa dilakukan secara bertahap setelah melihat perubahan positif dari konseli. Dalam terminasi ini, salah satu aktivitas yang bisa diterapkan adalah tranfer learning, pengubah suasana belajar dari wilayah meja diskusi pada kehidupan sehari-hari. Konseli bisa menerapkan apa yang didapat selama proses konseling atau kembali pada kebiasaan semula.
Esai Psikologi Dengan Metode Pembacaan Dekat
Sumber Teknik-Teknik....(menyusul melengkapi)
0 Comments:
Posting Komentar