Jumat, 05 April 2019

Sang Penjaga

BAB
Empat Puluh Lima


Sejak ayam jantan berkokok, aku dan Nara sudah bangun pagi buta. Menggelar sajadah untuk sujud panjang-panjang. Agar awal pagi bisa di lalui dengan lancar. Mungkin para anak buah penjaga kastil yang pernah melihat Alm. Anis berkomunikasi dengan Nara bisa menyebabkan Nara celaka. Atau setidaknya ada gejala kearah sana, begitulah kesimpulan awal yang berani ku terka-terka.

Selesai Sholat Shubuh, aku biasa mengantarkan Nara berdagang dengan sepeda Onta. Keluar dari gang rumah, orang-orang yang dikirim oleh Polisi Saryo sudah tiba di desa Kaligondang. Aku tahu ketika Nara membisikkan ke telingaku tentang orang-orang misterius itu. Nara hafal betul satu-persatu penduduk Desa Kaligondang. Kalaupun tak hafal nama, dia akan mengenali wajahnya.

Sepanjang perjalanan menuju kepasar. Dua orang bersepeda mengikuti kami berdua. Sepedanya terlalu bagus untuk ukuran seorang petani. Aku dan Nara memutuskan untuk bicara dengan mereka. Rupanya Polisi Saryo benar-benar melakukan apa yang di ucapkan.


Tiba di pasar, keduanya juga mengikuti kami berdua dalam jarak yang cukup dekat. Orang-orang di pasar mengira kalau mereka adalah calon pembeli yang baru saja pulang dari luar kota. Kedua kaki para penjaga itu terlalu putih bagi seorang laki-laki, atau mungkin mereka memang keturunan kulit putih.

Aktivitas berdagang selama di pasar normal saja tidak ada kejadian yang menegangkan. Aku yang biasanya meninggalkan Nara berdagang untuk membeli bahan-bahan makanan barang sejam atau dua jam lama, hari ini aku tak tega meninggalkan. Apalagi ada dua orang asing yang dikirim oleh Polisi Saryo sebagai penjaga. Tetapi tetap saja aku masih khawatir. Penculikan yang ku alami, dan penangkapan Nara menjelang pernikahan dulu masih menjadi bahan pertimbangan untuk meninggalkan Nara sendirian.

Rezeki berpihak pada Nara. Daganganya ludes terjual semua. Nara sampai minta maaf pada salah seorang pelanggannya kerana tak kebagian. Alhamdulillah Puji Syukur. Rezeki itu kata para ahli hikmah tidak akan tertukar sudah alamatnya sendiri-sendiri. Bentangan rezeki yang di berikan Allah kepada kami berdua hari ini terasa melegakan. Aku membantu Nara untuk berkemas-kemas pulang. Suasana pasar masih ramai. Para pedagang ada yang menggelar dagangannya di kios masing-masing yang sederhana. Aku dan Nara beserta pedagang memilih berdagang di bawah Pohon Chery yang sejuk. Kalau di Kios harus mengeluarkan biaya rutin tiap bulan. Ada ratusan pohon Chery di pasar Purbalingga hingga para pedagang nantinya bisa bernaung di bawahnya ketika matahari meninggi. Aku sangsi apakah Pohon Chery masih bertengger untuk 10 tahun mendatang.

Nara menyapa beberapa pedagang menjelang pulang. Aku tak begitu kenal dengan mereka satu persatu-satu. Kebiasaan yang sulit untuk Nara tinggalkan. Bagi kami berdua bertegur sapa sesama pedagang adalah prinsip kepribadian. Aku mengimbangi Nara. Nara memang bersaing dengan mereka, tetapi nilai luhur yang diajarkan oleh guru ngaji di kampung agar berprilaku sopan dan santun kepada siapapun sudah meresap dalam prinsip hidupnya. Entah kenapa beberapa bulan yang lalu aku dan Nara melihat seorang pedagang laki-laki tega menghajar pedagang perempuan gara-gara tak menyahut panggilannya. Sebuah pemandangan yang miris di tengah pasar tradisioanal yang seharusnya minim dari kekerasan.

Aku memberikan selembar uang 100 yang bergambar Badak kepada juru parkir yang telah menjaga ratusan sepeda. Nara tampak senang dengan dagangan hari ini. Dia sudah ada di boncengan. Juru parkir yang ku berikan uang itu juga tampak berbinar. Biasanya hanya mendapat pecahan uang 50 rupiah atau 25 rupiah. Aku mengayuh sepeda sambil manuver menghindari para pembeli. Dua orang penjaga dengan sigap membuntuti kami berdua. Antara rasa takut dan senang. Apakah karena nyawa kami berdua begitu penting sehingga dua pengawal itu rela mengayuh sepeda bertenaga fisik. Atau keduanya begitu menjunjung tinggi setiap tugas yang di berikan.

Tembok besar tinggi menjulang yang menaungi penjara itu tetap menjadi misteri bagi siapapun yang lewat di depannya. Mitos tentang Kastil di dalam penjara sudah mulai di bicarakan oleh seluruh penduduk Pubalingga. Candi Borobudur untuk sejenak terlupakan ketika berita Kastil merayap ketelinga para penduduk Purbalingga. Sepeda terus meluncur, tangan hangat Nara memeluk pinggangku. Genggamannya begitu erat. Seakan sesuatu yang buruk akan menimpaku. Pastinya dia tidak akan rela suaminya tercinta mengalami hal-hal yang menyakitkan. Kecuali di hatinya ada potensi selingkuh. Kalaupun ada cemburu di hati Nara, akan di sikapi secara dewasa. Tidak kemudian membabi buta melampiaskan cemburunya dengan membakar suaminya ketika tidur, lalu maaf- memotong kemaluan suaminya sendiri, lalu si istri gado deterjen Daia. Itulah berita yang ku lihat di koran yang di pampang di pojok alun-alun.

Aku seringkali ciut membaca berita kriminal di koran. Beberapa manusia tidak lagi berpikir waras bila nafsu menjelajar sampai ke ubun-ubun maka pembunuhan, pemerkosaan, mutilasi, makan daging mayat, dan sederet perbuatan tak bermoral hinggap di wajah yang kusut Imannya. Aku melamun, sebauh cubitan hinggap di pinggangku, karena aku hampir saja melindas kucing yang sedang tidur-tiduran.

Dua orang penjaga itu terus mengikuti dalam jarak 10 meter di belakangku. Setiap ku melintas di depan penjara Purbalingga dengan tembok besar mirip tembok raksasa di China. Hatiku berdebar-debar, apakah karena aku dan Nara menyimpan sesuatu yang bisa meruntuhkan “kenikmatan” di Kastil yang tidak banyak yang tahu. Ku lihat beberapa pengendara sepeda tengah membawa muatan padi kering dari sawah-sawah meraka. Tukang becak sedang sabar menjemput rezeki sambil membaca koran. Warung pinggir jalan hanya 3 atau 4 saja yang buka, maklum mereka harus berbagi pekerjaan dengan cara bertani.

0 Comments:

Posting Komentar