Selasa, 12 Desember 2017

Kamar Bersalin

/1/
Kamar Bersalin menggelepar
Tertunduk Lekat dalam Doa
Adakah bersemi doa dalam Tangan-Nya
Cemas menyergap ingatanku
Pada kematian Ibu Melahirkan

Dentang Jam menderu tak tertinggal
Menyerang setiap menit
Membunuh setiap jam
Jantungku berdegup keras
Keras seperti petir di siang benderang

Ku genggam jemari Istri yang dingin
Peluh keringat menjalar sekujur tubuh
Tatapan mulai nanar
Berharap kesudahan yang meregang
Ia terus menatapku
Mencari-cari keyakinan dalam tatapanku
Menyakinkan kalau aku bukan pria jalang

/2/
Jeritan kecil makin melingking keras
Hanya sesekali
Bibir ku tak berhenti menyiram
Agar kalimat Dzikir terucap pada Lisannya
Syukur beribu syukur
Istri tak berhenti berdzikir
Di saat genting pualang
Menerpa maut
Proses melahirkan antara kehidupan kematian

Ayo Kamu Bisa
Lisanku gagap bila menjumpai istri menjerit hilang dzikrullah
Ku berusaha keras
Mengingatkan di sudut paling menengangkan
Astagfirullah, Allahu Akbar, La Ilaha ilallah
Ku sentakkan kalimat itu dalam tatatapan meyakinkan
Matanya nanar menghujam kearahku
Tangannya kuat mengenggam
Ujung besi pada pembaringan
Dingin menyelusup pada telapak tangan

Ahhhhhhhhh!
Istriku menjerit melengking
Lupa tak sadar
Rasa sakit menghujam titik krusial
Ku sematkan Allahu akbar pada lisannya
Ia merespon kuat
Dizkir makin meningkat
Menjalar di antara sendi-sendi keyakinan



Simpati bercampur kagum
Daya tahan tubuhnya masih kuat
Induksi rupanya membuat reaksi janin lebih kuat
Sekarang janin itu berontak kuat mengejang seperti badai
Inilah saat-saat yang krusial
Dalam kehidupanku dan pengalaman hidupku
Menjalar ke seluruh sendi-sendi

/3/
Bibir istriku terus mengalun asma-asma Allah
Sakit tak tertahankan menghilang sesaat
Bila timbul dan menerjang
Ia Menjerit melingking sesaat

Ahhhhhhhhhhh!
Hanya sesaat
Hany beberapa detik
Lalu disusul kembali dengan dizkrullah
Aku kagum
Salut
Simpati
Malu
Karena ternyata ia lebih tegar
Lebih kuat
Seperti baja
Laksana gemuruh ombak tsunami
Keyakinannya tak semu
Menjalar ke seluruh sendi-sendi

Waktu terus merambat
Siang sudah menapak ke waktu dzuhur
Tanda kelahiran janin masih menunggu
Waktu yang tepat
Pembukaan yang tepat

Darah segar kembali mengucur dari area farjinya
Suster mulai bergempita
Laksana perunggu di genggaman tangannya

/4/
4 orang suster
Membantu proses bersalin
Menjaga seperti pengawal
Langit tegang awan cemas
Bumi berkeringat
Matahari meleleh
Planet-planet mulai berkeringat
Hewan mulai diam
Diam
Diam
Dan diam
Seperti gerhana matahari

Tarik Nafas
Seperti Buang hajat
Nafas tak di leher
Seperti hendak BAB
Istriku mengerang
Mengambil sisa tenaga
Matanya nanar menatapku
Aku meyakinkan dirinya

Ayo Nita kamu bisa
Kamu bisa Nita
Seperti Buang Hajat
Tidak di leher
Tahan dan ejan
Tahan...
Tahan...
Tahan...
Ambi nafas
Tidak mengejan dulu
Luka sobeknya akan parah

Serangan itu datang lagi
Ayo tarik nafas
Kedua matanya lekat menatapku
Matanya berbicara
Mas...
Jangan tinggalkan aku
Aku mau ada kamu
Sampai kapanpun
Sampai maut menjemput
Sampai beruban rambut kita
Berdua...
Duduk di berada rumah
Menyaksikan anak cucu bercanda
Tangis tawa
Sedih
Senang
Selalu berada di antara rongga dada

/5/
Suster pun tersenyum
Pujian sesekali melaju
Kamu berbahagia Ibu
Suamimu tetap menjaga
Merawat
Memberi semangat
Menatap
Mengelus
Membelai
Ketika kamu tertidur sejenak
Kelelehan yang mendera tubuhmu yang letih

Ku tahan kuat-kuat
Agar linangan air mata
Tak turun menghujam deras
Aku tak ingin Istriku cemas
Cemas kenapa
Biaya rumah sakit Insya Allah ada

Rasa sakit menjalar kembali
Bagai penjara yang teramat kuat
Ia mengaduh sesaat
Sakit....
Ku tersadar
Ada pekerjaan besar nantinya
Terus memberi semangat
Kokoh
Kuat
Ayo kamu bisa...

Serangan itu datang lagi
Ayo tarik nafas
Lupa lagi tak sadar
Ia menjerit
Ahhhhhhhhhhh!
Sesaat
Hanya sesaat
Ku ingatkan kembali
Agar lisan menyebut asma Allah
30 menit berlangsung
Istriku sudah mati gaya
Hanya berusaha mengambil nafas
Mengerang seperti hendak menerkam
Ia pun melanjutkan perjuangan
Aku mendampinginya
Tiap detik
Tiap menit
Tiap Nafas

Hekkkkmn!
Hekkkkmn!
Seperti hendak buang hajat
Ayo Nita kamu bisa
Kamu bisa Nita
Aku berlagak seperti seorang Motivator
Di depankulah sesungguhnya sang Maestro Motivator

/6/
Darah kembali mengucur
Sebuah kepala halus mulai imbul tenggelam
Hekkkk!
Hekkkk!
Hekkkk!
Istriku berjuang
Antara sudut kematian dan kehidupan
Pada detik yang menegangkan
Dua suster memegang kuat antara daearah kaki dan paha
Menekuk seperti siluman
Dua lagi
Mendorang seperti sumo
Tepat di perut
Tempat si janin bersemayam
Pada hitungan tiga
Tiba-tiba waktu seperti berhenti
Lalu lintas senyap
Matahari berhenti bersinar
Bulan kembali terbelah
Lahar gunung meletus
Meleleh menuju muara

/7/
Hekkkkk!
Istriku mengerang untuk kesekian kalinya
Dua suster mendorang perut
Melelehkan kecemasan
Tuhan sudah menetapakan skenario
Titipan Tuhan telah datang
Onggokan tubuh bayi
Meluncur seperti hujan
Di pundaknya berkalung tali pusar
Ohhh ini rupanya yang membuat sulit keluar
Suster mulia menerima janin dengan sempurna
Takdir telah tertulis
Aku jadi Ayah
Istriku resmi menjadi Ibu
Pukul 12:45

Bumi bertasbih
Langit tersenyum
Bintang bersahutan
Awan saling merengkuh
Hewan menatap sayang
Air tenang
Lega rasanya
Sungguh melengakan
Perjuangan belum berakhir

Ku peluk istri dengan bangga
Ia berhasil melampuai waktu-waktu sulit
Waktu-waktu yang butuh konsentrasi luar biasa
Bayi laki-laki keluar dari rahim
Menuju alam dunia yang fana
Dunia yang sementara
Sifatnya sementara
Melintas
Melewati dimensi waktu
Hanya sesaat

/8/
Bayiku...
Terdiam untuk sesaat
Beberapa detik
Hanya beberapa detik
Kemudian...
Terpekik...
Keras
Dalam
Semangat
Aku terharu
Bayiku menangis dalam tubuh yang lemah
Ia keluar sambil menggendong tali pusar
Di bahunya

Laksana komandan perang
Memanggul senjata
Memanggul pedang
Memanggul sniper
Memanggul panah
Memanggul tameng

Cairan lembut di sedot keluar dari hidung
Tangisan keras melengking lagi
Tangisan tanda semangat
Semangat yang tak kenal lelah
Semangat yang tak kenal waktu
Tali pusar di potong
Di potong tajam
Di jepit seperti penjepit jemuran
Keras tapi solid

Ku tak sabar
Untuk moment yang penting
Untuk menunjukkan pada dunia
Siapa aku
Aku sekarang
Resmi jadi Ayah
Bagi bayi laki-lakiku
Yang akan menjadi Raja
Raja yang Lembut seperti Abu Bakar
Tegas seperti Umar
Dermawan seperti Ustman
Berani seperti Ali

/9/
Aku tak sabar lagi
Waktunya telah tiba
Ku kumandangkan Adzan dan Iqomat
Di telinga kiri dan kanan
Aku terkesiap
Kini aku resmi jadi Ayah
Ada banyak hal yang harus ku lakukan
Di luar pintu bersalin
Orang-orang tercinta
Menunggu dengan cemas
Menunggu dengan harap
Menunggu dengan hati
Menunggu dengan pikiran

Aku tak kuasa
Ku buka pintu
Laksana Gladiator
Ketika membuka pintu
Menyusul Ibu dan anak
Yang tewas terbunuh
Aku berbeda
Aku bukan Gladiator
Aku manusia biasa
Punya rasa punya hati
Terbukalah pintu

/10/
Dihadapanku berdiri dengan takjub
Ada kakek tersenyum dengan indah
Tak kuasa ku menahan kegemberiaan
Ku peluk erat tubuh yang mulai renta
Ku rasakan debar jantunngnya

Air mataku mengambang di pelupuk mata
Kebahagiaan tergambar jelas di matanya
Ku lepas pelukan hangatnya
Jemari menari dalam keringat dingin
Aku tersnyum ke arahnya
Tersirat kegembiraan di wajahnya
Sang kakek tersenyum tertawa

Waktu terus merambat
Seperti hendak berpikir
Manusia tak ubahnya anai-anai
Keluar dari sarang
Untuk sebuah pertarungan dunia
Gelap dan terang
Putih dan hitam
Terselip juga abu-abu

/11/
Ruang bersalin senyap
Ku tinggalkan istri dalam kesendirian
Bersama perawat yang mengobras luka sobekannya
Aku sendiri larut dalam keheningan
Otakku seperti salju yang dingin
Waktu seakan berhenti
Tapi tak berhenti menyesali nasib
Aku sendiri menyesali
Kenapa tak selembut Rasulullah
Ketika bergaul dengan istri
Ketika marah menyergap ruang otak yang mendidih
Tak seromantis para pujangga
Ketika baru menyiarkan puisi cintanya

Ahhh rasanya baru kemarin
Ku bersanding dalam pelaminan
Tak kenal maka tak sayang
Begitu pepatah berbicara
Kini aku resmi jadi ayah
Tak sekedar kata-kata
Tuk jadi suami yang baik
Bukan melalui pacaran
Hendaknya lewati pernikahan
Ku hirup nafas dalam-dalam
Segera ku kabari bertita bahagia ini

Bilik-bilik cinta makin bersemi
Ku tatap wajah istri yang makin aduhai
Senyumnya mengembang laksana kapas
Tangannya halus seperti tepung
Di samping tertidur pulas
Bayi mungil yang tampan rupawan

/12/
Bunda...
Ku sapa dengan lembut
Ia memagut amat flamboyan
Senyumnya menghujam sanubari
Ayah...ayah...
Terimakasih...

Dentang waktu berperang
Satu persatu
Hilir mudik
Seperti lebaran
Kerabat dekat
Saling mendekat dan menjauh
Menyapa dan melihat
Bayi kami yang mungil
Perjalan baru saja di mulai
Amanah besar menggelayut dalam bahuku
Sebuah kata-kata tegas meluncur
Awas...kau hidupi kami dengan uang haram
Bibir istriku bergetar menagih kepastian
Aku mengangguk seperti onta padang pasir
Tak berkutik di di tusuk kata-kata cerdas

Wajah-wajah gembira tertulis jelas dalam setiap mimik
Berjejer laksana meyambut tamu agung
Salahkah.....
Anakku memang tamu agung
Ia adalah titipan Tuhan yang indah
Saling berebut menggendong
Menghirup dalam-dalam aroma bayi
Khas dan tidak membosankan

/13/
Titipan Tuhan telah memberikan warna
Warna yang indah dalam setiap jengkal nafas
Penyeimbang dalam kehidupan
Warna semakin bergradasi layakanya lukisan alam
Malam malam yang ku lalui
Akan semakin berbeda
Pada tiap detik
Tiap menit
Tiap jam
Juga tiap nafas

Pada setiap ciptaan-Nya
Ada hikmah terkandung di dalamnya
Jeritan
Kelelahan
Darah
Rasa sakit
Bergadang
Mual-mual
Bagian dari semua keindahan
Rasa sakit
Jeritan yang tak tertahankan
Tergantikan dengan wangi aroma bayi
Sungguh kenikmatan tiada tara
Kehadirannya
Membuat apa yang di tatap
Seolah-olah keluar warna
Bunga-bunga kesturi semerbak menyeruak ke se isi alam
Senja sore menutup cahaya matahari
Tak terasa malam menutup langit disana
Terbaring lembut di peraduan
Bayi mungil nan rupawan
Inilah Titipan Tuhan tiada banding

Desah nafas membuat deburan cinta makin merona
Lukisan perasaan makin membuncah seperti pelangi

Kelelahan di tukar senyum bahagia
Rasa sakit di tukar pahala luar biasa
Kontraksi terbayar bayi mungil
Bersih dan tanpa noda
Cemas, khawatir, semua lunas terbayar
Tiada banding tiada harga
Titipan Tuhan mampu
Melulunlantakkan semua penderitaan
Hanya mendengar tangisan bayi
Lalu nikmat mana lagi yang harus di dustakan
Bila macam orang membuang bayi tak berperasaan
Logika macam mana orang itu
Bila orang tak mau menanggung resiko
Hanya mampu berbuat saja
Dengan alasan klise
Lalu berbuat amoral
Hasilnya Bayi di bungkus kardus mie di tarus di depan pintu orang kaya dermawan

Titipan Tuhan tak lagi di istimewakan
Hanya hiasan di kamar tidur
Aku tak mengerti
Keharuan memuncak di dada kami
Kegelisan di hati-hati yang tak mengakui Tuhan
Hingga membuang bayi tak berdosa
Tak bisa memberi nafkah sebagai alibi
Lalu bicaralah dari hati
Nikmat mana lagi yang harus di dustakan
Dan...
Nikmat mana lagi yang harus di dustakan

Puisi Essay hasil inspirasi dari menemani istri ketika melahirkan putra yang pertama. Rabu 5 Juni 2013

0 Comments:

Posting Komentar