Kamis, 09 Januari 2025

Aku Puas!, Sangat Puas!

Saat sampai di tukang cukur dekat rumah. Sampingnya penjual nasi uduk, tempat kami jika kepepet tidak grecep untuk membuat sarapan, gantinya beberapa bungkus nasi uduk dan lontong sayur sebagai penggantinya. Karena menjelang masuk anak-anak sekolah, beberapa tempat cukur dipenuhi oleh anak-anak yang ingin merapihkan rambutnya. Dengan berbagai ragam mode. Tempat yang satu ini, adalah pilihan terakhir yang tidak ramai, seperti tempat cukur lain.

"Low Fade bang," kata seorang anak, ayahnya disamping bereaksi. Tetapi buru-buru untuk melihat situasi. Ia tersenyum dengan permintaan dari anaknya. Ia cukup lega.

"Yang dua jari dibawah (Pendek diatas telinga)" kata si abang.

"Ya," jawab anak itu.

Abangnya mempersilakan duduk dan menambah papan untuk menyesuaikan tinggi badannya. Menyelimuti kain khusus dari bawah leher sampai menutupi tubuh bagian bawah. Abangnya mengeluarkan alat cukur elektrik jenis Philips Clipper HC3426, jika tak salah. Dengan elemen dua ketajamanan yang bunyi khas mirip penyedot debu.

"Aku Puas!, Sungguh Puas...!" ucap seorang anak kepada ayahnya yang telah mengantarkan ke tukang pangkas rambut. Anak itu memilih sendiri jenis model yang ia ajukan kepada si tukang cukur rambut. Tukang cukur rambut menyanggupi model rambut yang si anak ajukan. Kongkalikong model rambut terjadi. Karena si anak mengetahui jenis rambutnya dan bagaimana menentukan jenis model yang tepat.

Tiga bulan sebelumnya. Mereka pergi ke tukang cukur di tempat yang berbeda, melakukan sebagaimana seharusnya dilakukan. Memangkas sedikit demi sedikit. Sampai model yang disepekati selesai dituntaskan.

Turun dari kursi cukur. Anak itu nyelonong di depan ayahnya tanpa menatap wajahnya. Terburu-buru keluar dari tempat cukur, sambil bercucuran air mata. Ayahnya membayar ongkos cukur dan menghampiri anaknya yang tiba-tiba menangis.

"Tukang cukur bodoh, aku bilang dia malah potong, ayah juga malah diem-diem aja!"

"Kamu boleh bilang lagi, kalau modelnya jelek!" kata Ayahnya. Membututi anaknya yang sungut-sungut. Lalu pulang naik motor, kepalanya beberapa kali menoleh kebelakang, memastikan anaknya baik-baik saja. Dan mulutnya mengatup menahan marah.

"Kenapa ayah yang bilang, aku kan malu yah!"

"Tidak perlu malu, kan jadi gini, kamu nggak suka hasil potongannya!"

"Dasar tukang cukung bodoh, nggak jelas!"

sampai rumah pun masih sama, anak itu urat lehernya masih kencang, dan terus saja mengeluarkan kata-kata tak suka pada tukang cukur, katanya tukang cukur baru belajar, aku ngomong begini malah nggak nurut, bilang anak itu.

Itu yang terjadi pada tiga bulan yang lalu.

Sekarang ini anak itu bolak balik bercermin. Menyeka potongan rambut, hasil usulan sendiri, tanpa ada unsur campur tangan ayahnya. Yang kemudian lahir senyuman mengembang tak henti setiap selesai bercermin.

Mengusulkan sesuatu lalu lahir ciptaan rasa yang membangun kedekatan dirinya dengan ayahnya. Sesuatu yang jarang dimiliki oleh ayahnya yang sebagian besar waktunya, diluar rumah.

Ayahnya yang di dapur, memasak nasi goreng, terasa lega pada telinganya yang sudah mulai berusia empat dekade. Melongok sejenak pada anaknya yang teriak dengan kencang."Aku puas!, sangat puas!

Selasa, 07 Januari 2025

Melayat

Seorang nenek meninggal sore hari. Somplang dan Ibunya melayat ke rumahnya sampai malam. Di sana terbujur kaku mayat yang sudah dislimuti kain batik (jarit) coklat motif bunga kenanga. Somplang menatap ke arah mayat yang terbungkus kain dan masih mengingat jelas bagaimana wajahnya ketika masih hidup. Jakunnya naik turun.

Ibunya bercakap dengan putri almarhumah. Usianya sebaya dengan ibunya. Somplang duduk di atas amben tak jauh dari jenazah itu. Rasa takut itu masih menjalari tubuh somplang. Ia meneguk ludahnya sendiri beberapa kali.

Hujan turun deras. Suasanya menjadi adem. Somplang duduk termangu dan masih mendengar jelas percakapan mereka. Sampai larut malam obrolan itu masih saja berlanjut.

Ibu mendekati Somplang dan duduk di sampingnya.

“Tidurlah, kita pulang setelah hujan reda,” bujuk ibunya.

Somplang tidur bersama ibunya. Nyenyak sekali. Pukul dua pagi ia terbangun. Jantungnya seperti copot ketika wajah ibunya berubah menjadi wajah mayat sang nenek. Matanya yang menakutkan itu tak berkedip memelototi wajah somplang. Somplang berkedip berharap hanya mimpi. Ketika membuka matanya ia masih di pelototi.

Ia memaksa utuntuk tidur dan bangun keesokan pagi. Mencari ibunya yang tak ada disampingnya. Ia duduk bengong sendiri. Ketika menengok ke arah jenazah yang masih terbaring, jantungnya berdebar kencang. Jenazah masih ada di tempat, dan masih tertutup wajahnya. Lalu ia tidur dengan siapa. Somplang mendengar ada suara berdehem. Dan itu suara yang ia kenal betul. Suara yang empunya sudah meninggal. Ia kabur lari membuka pintu dan bertubrukan dengan ibunya yang sedang membawa sarapan.

HADIAH

Badrun sudah sampai di rumah terlebih dahulu dibanding ayahnya. Duduk di kursi, siap untuk makan siang. Di atas meja makan sudah lengkap nasi dan lauk pauknya. Ada ikan balado merah dan tumis buncis, juga bala-bala. Ia menelan ludahnya sejenak. Lalu tangan kanannya mengambil piring, tak ketinggalan satu setengah centong nasi.

Suapan pertama ayahnya datang. Ia melihat dengan ujung matanya. Seperti kebiasannya, ayahnya meletakkan peci di gantungan, mencantolkan baju kokonya, dan melepaskan sarung berganti celana santai.

Ayahnya ikut gabung di meja makan. Mulai menyendok nasi dan menata lauk pauk secara acak di atas piring yang pinggirnya bergambar rumah dinasti Ming.

“Drun kau buru-buru sekali pulang, tak doa dulu?”

“Laper yah.”

“Sama?”

“Apalagi banyak yang tidur Yah, ketika ustaz ceramah. Emang boleh tidur Yah saat sholat jumat.”

“Aturannya tidak boleh, jika mereka tahu hadiahnya, mereka tak mungkin tidur saat khotib berkhutbah.”

“Emang hadiahnya apa Yah?

Sebelum ayahnya menjawab. Ibunya bergabung di meja makan. Ayahnya berhenti sejenak. Ia mengambilkan piring dan sendok di dekatnya lalu diberikan kepada istrinya.

“Terimakasih Yah?” ucap Bunda.

Ia mengangguk dan tersenyum tipis.

“Apa hadiahnya Yah,” desak Badrun.

“Mereka yang datang lebih awal sebelum khotib berbicara, sempat sholat sunnah dua rokaat, lalu berusaha melek mendengarkan seksama saat khutbah berlangung, meski banyak berdehem setiap satu menit, dapat hadiah bisa berenang di atas kolam berkaporit. Jernih tapi bisa memerahkan matamu. Yang datang pertengahan, sesekali berceloteh dan melototi anak-anak kecil yang berisik, peroleh hadiah bebas berenang di setu yang airnya berat kerena jarang mengalir. Apalagi yang datang terlambat, duduk dan ngobrol ngalor ngidul, mereka mendaptkan hadiah makan kerupuk kulit berkilo-kilo.”

“Itu kan yang datang Yah, yang tidur bagaimana?” cecar Badrun.

“Kalau tidurnya hanya merem melek masih sempat mengaktifkan telinganya. Itu mereka dapat hadiah telur onta. Tidurnya angguk-angguk dan air liur mulai keluar dari celah bibir, ceramah dari ustaz hanya ditangkap sayup-sayup, mereka dapat hadiah telur Angsa. Bagi orang-orang yang ketika khutbah duduk bersender di tiang masjid, lalu ketiduran dan masih bisa sigap ketika iqomat dikumandangkan. Mereka dapat hadiah telur bebek bakar khas Tegal. Masih untung mereka.”

“Ada yang sampai ngorok Yah,” ungkap Badrun.

“Mereka-mereka yang datang sholat jumat belakangan, duduk mencari tiang, tiga menit kemudian mereka tidur ngorok setelah khotib membacakan wasiatnya. Mereka mungkin paling ngenes soal hadiah yang mereka dapatkan. Mereka dapat hadiah telor-telor cicak yang putih dan kuningnya tak bisa diceplok.” Ucap Ayah. Bunda di sampingnya hanya senyum-senyum saja.

“Dikasih tulisan saja yah, “DILARANG TIDUR SAAT KHOTIB BERKHOTBAH DAPAT HADIAH TELOR CICAK DOANG!” kata Badrun semangat. “Lalu di pasang ketika hari jumat, pasti nggak ada yang tidur Yah,” tambah Badrun.

“Anak pintar,” puji bundanya.

Ayahnya berhenti mengunyah. Meneguk air putih, dua tegukan. “Boleh juga tuh,” kata Ayah sambil mengacungkan Jempol yang gede.

“Soalnya aku lihat Ayah tadi pas jumatan tidur nyender di tiang. Mana ngorok lagi. Terus dibangunin sama orang samping, padahal imam sudah takbir. Baru Ayah berdiri dan Takbir dech. Kata Pak ustaz, harusnya wudu dulu, jangan main takbir aja yah?” ucap Badrun cuek.

CALON SARJANA TINGGAL TUNGGU WISUDA

Mereka janji akan bertemu di taman setelah sepekan yang lalu keduanya berkenalan. Satunya mengenalkan diri sebagai mahasiswi kedokteran di sebuah kampus ternama. Sedangkan pemuda itu mendeklarasikan sebagai mahasiswa psikologi. Satu sama lain saling mengagumi, cara klasik untuk mengukur hukum pertemuan dengan perkenalan.

Keduanya saling bertemu untuk kedua kalinya. Saling mengobrol ngalor ngidul tak ada dendam yang menjebak rasa rindu. Mungkin belum, keduanya tampak menjajaki untuk kesekian kalinya.

Mereka saling menatap mengukur kasih. Kicau burung seperti nyanyian india sebagai lagu pengiring rasa padu itu. Tukang taman yang berada jalur aman untuk mengawasi sambil menyabit seperti pengawal kerajaan yang rajin tutup mulut.

“Apa perlu mengikat pertemuan pada arah yang serius?” tanya pemuda itu sambil terus menyembunyikan tangan kanannya di balik jaket kulit coklat prodak Cianjur.

“Maksud abang?” Tanya gadis itu, tangan kanannya berkali-kali membetulkan poni yang berantakan.

“Janur kuning lengkap dengan undangan?” ungkap sang pemuda.

“Ah..., jangan buru-buru. Penjajakan saja dulu?” tangkas gadis itu.

Jawaban gadis itu oleh pemuda seperti penolakan halus. Ia berdiri spontan. Membetulkan rambutnya. Lalu memakai topi yang membuat gadis itu terkejut.

“Kau supir ya?” cecar gadis itu.

“Ngawur, aku ini calon sarjana tinggal tunggu wisuda,” elak sang pemuda.

“Bohong!, kau pikir aku bodoh, itu topi khas sopir!” desak sang gadis.

“Maaf...” polos sang pemuda. Ia menurunkan topi dan duduk lemas di kursi taman.

Gadis pujaan sang pemuda pergi sambil membawa hadiah dari sang pemuda. Tiba-tiba ia berhenti. Dan balik kanan berjalan menuju pemuda yang pucat pasi duduk melepas topi dan menggoyangkan sebagai kipas.

Pemuda mendongak melihat wajah pujaan hatinya kembali. Ia tersenyum dan berdiri menyambutnya.

“Maaf, aku juga bukan calon sarjana tinggal tunggu wisuda.”

“Siapa kamu.”

“Babu orang kaya yang sibuk bekerja, permisi.”

Hening. Taman sunyi. Kicau burung berhenti. Dan tukan taman itu tiba-tiba menghilang. Keduanya balik kanan. Tanpa pernah menoleh ke belakang.