Jumat, 08 Maret 2019

Pertolongan

BAB 
Tiga Puluh Sembilan 



Ketika beristirahat Nara dan Anis di kejutkan oleh Sipir tak bermoral. Suasana menjadi tegang. Sipir pendiam sedang mencari hewan yang bisa di makan tanpa susah untuk memasaknya terlebih dahulu. Pelarian mereka bertiga dapat diendus oleh dua orang Sipir penjara yang berhidung belang.

“Dasar manusia tak bermoral!.” Nara mengumpat dan memukul para sipir penjara yang hendak menciumnya. Entah bagaimana caranya kedua sipir itu menemukan Nara dan Anis di tengah lorong.

Sementara Anis sudah tak sadarkan diri akibat di pukul tengkuknya oleh salah seorang sipir. Tangan kanannya sudah mulai memegang tangan Anis dengan Nafsu. Peristiwa yang mengerikan akan terjadi sebentar lagi. Nara berteriak dalam hati meminta pertolonga dari Allah SWT.

Nara sudah dalam jangkauan sipir itu. Tangannya hendak menjamah tubuh Nara yang tengah terdesak dan nafas tersengal-sengal. Karena kelelahan berkelahi dengan sipir. Beberapa kali Nara mendapatkan tamparan di kedua pipinya. Rasa sakit tak ia pedulikan asal kehormatan dirinya bisa terjaga. Dalam keadaan terdesak Nara melesatkan sebuah pukulan keras ke perutnya ketika bibir najis sipir itu hendak mencium pipinya. Sipir itu mengaduh dengan keras. Sipir itu mengamuk. Keadaan Anis sudah sedemikian genting. Ia sudah tersudut dalam keadaan yang memilukan. Tangan najis sipir itu mulai menggrayangi tubuh Anis. Nara makin marah, tetapi ia juga harus menghadapi sipir najis itu.


Dalam detik yang menegangkan itu. Sebuah letusan senapan menyambar kaki Sipir yang hendak melakukan hal keji pada Anis. Sipir itu langsung roboh ke bawah. Sementara sipir yang lain seketika mengangkat kedua tangan. Nara dapat bernafas lega.

“ Sejak kapan kau menjadi pahlawan begini. Hai Sipir gagap.” Sipir yang mengangkat tangan itu menghardik sipir itu dengan sebutan gagap karena jarang berbicara.

“ Sejak dari dulu hanya saja baru kali ini aku dapat kesempatan.” Gertak sipir pendiam itu.

“ Hahaaa!.” Sipir itu menertawakan. Sementara Nara berusaha membangungkan Anis yang pingsang. Sebelumnya tak tanggung-tanggung Nara melayangkan sebuah tendangan ke arah perut sipir. Kini ia sedang mengerang menahan sakit akibar timah panas yang mengenai kakinya.

“ Jangan macam-macam.” Ancam sipir pendiam.

Sipir pendiam itu mengambil senjata yang ada pada mereka berdua. Kedua Sipir itu tak mengira kalau sipir pendiam bisa berbuat nekad. Setelah mengambil senjata itu. Nara dan Anis berjalan menyisiri lorong. Anis berjalan tertatih-tatih karena belum sadar betul dari pingsannya.

Tanpa ekspresi sipir pendiam itu mengunci ruangan sel kecil bekas penjara yang bekas tentara Jepang. Sipir pendiam mengunci dengan gembok yang sulit di pecahkan oleh peluru. Gembok itu hanya bisa di pecahkan dengan 3 buah granat. Rupanya sipir mengganti gembok itu agar kedua sipir itu tak bisa lari kemana-mana. Terdengar makian dan umpatan dari sipir yang berdiri sambil mengutuk perbuatan sipir pendiam itu.

Kesadaran Anis makin meningkat, ia bisa berdiri dan berjalan. Di pandu oleh sipir pendiam itu perjalanan akan menuju ke sebuah Pulau yang lebih aman jauh dari jangkauan sipir tak bermoral. Sipir pendiam menyadari bahawa tindakannya akan mendapatkan resiko berat. Hati dan pikirannya sudah bulat. Sipir pendiam bertekad akan melakukan aksinya meski ia di pecat dari kesatuannya. Misinya besar, karena ia seorang yatim piatu maka dia siap mempertaruhkan nyawanya demi kebenaran yang akan menerangi kota kecil Purbalingga.

Tiga jam Nara dan Anis berkosentrasi melewati terowongan yang berkelok-kelok seperti jalanan tikus got yang panjang tak berujung. Sipir pendiam berjalan paling depan seperti komandan perang Afganistan. Sipir itu tak lagi berseragam, ia memakai sweater abu-abu dan celana jean coklat. Kostumnya terlihat keren di mata Anis. Nara memperhatikan Anis tak heran. Ia memang agak playgirl di bandingkan dengan gadis-gadis lainnya.

“Psst, Nis lihat jalannya.”

“ Sipir itu ganteng juga ya.”

“ Polisi Marno juga buat kau terpana. Suatu saat kau akan terkena batunya.”

“ Tenang saja, mungkin ini yang terakhir.”

“ Dasar kau.”

“ Kita Istirahat dulu di sini sampai besok pagi.” Perintah sipir pendiam.

“ Kita mau kemana.” Nara bertanya sambil duduk menyandarkan tubuhnya pada dinding lembab.

“ Nusa Kambangan. Terowongan ini yang paling aman. Jembatan penghubung itu mungkin sudah di penuhi dengan jebakan mematikan.” Sipir pendiam itu menjawab sambil mengalungkan kedua senjata laras panjang yang di rebutnya dari kedua sipir bermental korup dan miskin moral.

“ Berapa hari kita sampai di Pulau Nusa kambangan.” Anis bertanya sambil memandang wajah sipir pendiam itu dengan senyuman khasnya.
“ Tergantung.”

“ Lho kok tergantung, gantungan baju kali.”

“ Husss!.” Nara kesal.

“ Bisa satu hari, dua hari, bahkan bisa satu minggu. Tergantung seberapa cepat kita berjalan ke pulau itu. terowongan ini adalah bekas persembunyian tentara Jepang jadi kita tidak tahu apakah sepanjang jalan aman atau tidak.”

“ Maksudnya.”

“ Bisa jadi ada begitu banyak ranjau darat yang masih aktif tertanam. Saya baca di buku sejarah kalau para prajurit pertiwi Indonesia pernah membuat tentara Jepang lari terbirit-birit.”

“ Aku belum pernah melihat bagaimana bentuknya granat?.” Tanya Anis manja.

“ Ahh sulit menjelaskan. Tapi yang penting kalau kamu nginjek sesuatu kamu harus hati-hati.”

“ Ehmm.” Nara melerai pembicaraan itu, dan melotot ke arah Anis. Nada sorotnya mungkin mengatakan: Janga macam-macam sama sipir itu, dia orang baik.”

“ Aku akan berburu ikan di sekitar sini, kamu dengar gemuruh aliran air di samping. Siapa tahu ada ikannya. Kalau tidak ada, siap-siap kita makan tikus atau ular hidup-hidup. Kalau kalian merasa jijik kalian harus siap-siap makan kecoa yang gampang di temuin.” Sipir pendiam itu, kalau sedang menasihati panjang kali lebar.

Nara dan Anis mengangguk seperti anak TK. Antara setuju dan tidak. Karena dua hari ini perut mereka baru terisi ubi jalar hasil pemberian Sipir pendiam. Hanya air yang mereka minum dari celah-celan dinding terowongan yang mengalir.

“ Kalian berdua harus makan, aku tadi sempat menemukan beberapa ekor jangkrik. Jangkrik ini banyak mengandung protein. Perjalanan kita masih panjang. Jangkrik-jangkrik ini setidaknya dapat membuat tubuh kalian punya tenaga. Aku tak tega memberi kalian kecoa.” Setelah itu sipir pendiam langsung melangkah untuk berburu ikan.

“ Aku ikut siapa tahu bisa membantu.” Usul Nara.

“ Sebaiknya kamu tinggal disini. Teman kamu belum pulih benar dari pingsannya.” Jawab Sipir pendiam.

Mendengar ucapan Sipir pendiam kepada Anis. Anis langsung pasang muka memelas dan mohon untuk di perhatikan. Nara langsung mencubit. Keduanya menatap jangkrik-jangkrik itu dengan seksama. Anis melihatnya dengan malas, tetapi Nara sudah mengunyah dan menelannya cepat-cepat.

“ Na, apa kamu percaya dengannya. Wajahnya memang lumayan, tetapi dia bisa menjadi penjahat yang paling mematikan.” Ungkap Anis.

“ Kita berdoa saja, semoga saja sipir pendiam dan misterius itu ada di pihak kebenaran. Untuk apa dia menolong kalau hatinya tidak ada rasa keadilan. Kita hanya berhak menilai dari perbuatannya, bukan dari penampilan. Fisik kadang-kadang menipu. Salah satunya kamu pernah jadi bulan-bulanan anak Bupati itu, gara-gara kamu mudah terbujuk karena paras yang tampan. Kita lihat saja nanti.” Nara panjang kali lebar menasihati Anis yang bibirnya mulai manyun lima senti.

“ Iya Bu Ustadzah.”

“ Hemm, mulai lagi deh.”

“ Ayo Nis kamu harus makan jangkrik ini!.”

Anis diam. Dengan terpaksa ia pun menuruti apa yang di lakukan Nara.

Sejenak suasana mencekam sirna. Dua sahabat itu mulai terbiasa dengan kekalutan yang sedang mereka alami. Keduanya menyadarkan tubuhnya pada dinding terowongan itu sambil menunggu pahlawan pendiam itu kembali dengan hasil buruannya. Mata mereka menerawang jauh menembus jauh ke dinding-dinding terowongan. Mungkin mengingat masa-masa kecil yang ceria dan lucu.

Sejenak Anis tertidur. Nara melihatnya prihatin. Betapa tidak, Anis berada dalam tekanan mental sejak kedua orang tuanya yang selingkuh satu sama lain. Dia seperti adik kandung bagi Nara. Nara sendiri secara ekonomi tak seberuntung Anis, tetapi hidupnya penuh kehangatan bersama Ibunya. Walau kedua kakaknya jarang pulang dari rantau orang. Tetes air menyentuh genangan air dapat terdengar oleh telinga Nara. Suara tetes air itu dapat menjadi hiburan di tengah pelarian dari penjara.

0 Comments:

Posting Komentar