Kamis, 07 Maret 2019

Mengingtai Aksi Geng Fark

BAB
Tiga Puluh Delapan 


Kereta 084 melaju menembus hutan jauh dari mata penduduk. Kereta ini seperti siluman membelah terowongan panjang berkelok-kelok. Farah dan Arkon hanya memandang dengan gerak mata yang sulit di artikan bagi mata awam soal kumpul kebo. Farah adalah lulusan Aliyah. Tetapi rupanya pelajaran agama tak nampak di batang hidungnya yang mbangir. Untaian kalimat bijak ketika belajar dulu menguap seiring lunturnya moral akibat terjarahnya kepribadian yang kropos dimakan maksiat. Sedangkan Narman adalah lulusan SD yang pintar ngaji dan sholat. Mahluk apa yang merasuki kedua raga cucu adam itu hingga bak Ular Anaconda yang siap melilit para pelaku kebaikan dan menelannya bulat-bulat dalam tembolok berbau busuk.

“ Kita akan membawa ke bawah tanah. Tepat di bawah penjara Purbalingga. Seluruh penduduk Purbalingga memang goblok dan dungu tak tahu tempat yang menghasilkan banyak uang.” Perintah Farah

“ Lalu barang bawaan kita bagaimana.” Jawab Arkon 

“ Mayat-mayat berharga itu akan kita antarkan sesuai dengan arahan paman Marno.” Usul Farah. 

“ Mayat saja di jaga begini?.” Celetuk Arkon.

“ Dasar bodoh!, mayat itu bukan mayat sembarangan!. Kampung kita mungkin akan di jadikan Musium terbesar di dunia yang akan mendatangkan banyak uang. Pantas saja seorang Bondan saja tak bisa kau bunuh. Kau hanya becus membunuh seorang pelacur!.” Ketus Farah.


“ Glek.” Arkon menelan ludah.

“ Kita akan pindahkan mayat Bupati itu ketempat aman. Lalu kita bakar jenazahnya agar tidak bisa di temukan oleh keluarganya. Atau kalau kalian malas membakar, kasih saja sama anjing-anjing peliharaan paman Marno.”

“ OK Boss!.” Kompak beberapa pengawal inti bersama dengan Arkon. Arkon mendengus kesal dengan sikap Farah yang bagai penguasa alam jin.

Kereta meluncur membelah terowongan. Dua jam kemudian kereta tersebut sampai di ruang bawah tanah tepat di bawah penjara Purbalingga.

***
Dinding tembok bergetar kuat. Nara dan Anis saling berpandangan. Keduanya bangkit dan mulai berburu dengan penasaran. Benda besar apakah yang mampu membuat dinding bergetar kuat. Obor di tancapkan pada tempat semula. Sipir pendiam penasaran dengan suara itu. Nara dan Anis bertemu dengan Sipir pendiam itu tepat di bawah nyala obor tempat mereka beristirahat.

Rupanya sipir pendiam itu mendapat ancaman hendak di bunuh oleh sesama sipir atas perintah dari Polisi Marno. Pertama, karena sipir pendiam itu tak mau kompromi dalam praktik kotor dalam penjara. Kedua, ternyata salah seorang sipir yang telah “di baptis” menjadi anak buah Polisi Marno melihat sipir pendiam mengantarkan Nara ke tempat terlarang. Desas- desus pembunuhan terencana yang di lancarkan sipir khianat itu sampai juga di telinga sipir pendiam lewat kawan baiknya yang selalu menjadi mata-mata baginya.

“Nis kita percepat langkah agar tidak ketahuan, bagaimana Pak Sipir.” Nara memberi usul.

“ Baiklah, ide yang bagus. Tetapi sebelumnya kalian perlu pakai baju hitam. Di tempat yang gelap kalian bebas untuk bergerak.” Saran sipir pendiam. Sampai saat ini mereka tidak saling kenal nama. Hanya kepercayaan satu sama lain yang mereka pegang.

“ Terimakasih Pak sipir.” Nara menjawab.

Nara dan Anis memakai baju hitam membungkus baju yang ada. Rasa hangat membuat keduanya nyaman.

“ Ini lebih baik dari pada memakai baju tahanan. Betul kan Nis.” Nara meminta persetujuan.

“ Iya.” Anis mengangguk.

Selama dalam penjara Nara suka memakai kerudung warna hitam. Baju tahanan warna biru dan celana longgar warna hitam. Sedangkah Anis lebih suka rambutnya tergerai bebas. Pihak penjara juga mewajibkan para tahanan untuk bersepatu hitam setiap keluar dan melakukan aktivitas di dalam penjara. Sipir Pendiam juga memakai baju hitam, membungkusnya dengan sweter abu-abunya. Dalam kegelapan ketiganya sulit untuk di lihat kecuali oleh mata-mata yang sudah terlatih. Ketiganya mulai berlari menyusuri lorong dan tiba di mulut lorong sebelum Geng Fark turun dari gerbong kereta yang bertenaga batu bara. Mereka berlomba dengan deru mesin kereta yang sedang berhenti.

“Suara keras itu tepat berada di bawah tanah tempat menyimpan para mayat itu. Jangan-jangan mereka ingin melakukan sesuatu yang buruk pada mayat-mayat itu.”

“Aku juga berpikir begitu Na, terutama mayat Bupati itu, aku begitu kasihan melihatnya.” Anis merespon.

“ Kita harus lebih cepat agar kehadiran kita tak di ketahui oleh mareka.” Perintah Sipir pendiam.

Ketiganya berlari seperti di kejar Anjing pemburu. Sampai di mulut terowongan mereka berhenti. Sipir pendiam mengawasi sekitar. Nara melihat kepulan asap yang keluar dari cerobong. Sementara Anis bersembunyi di balik punggung Nara. Keadaan sekitar masih gelap. Mesin kereta masih menderu. Inilah suara yang di kira oleh penduduk Purbalingga sebagai suara JIN IFRIT memimpin ribuan pasukan.

“ Benda apakah itu Pak Sipir.” Tanya Anis.

Nara geleng-geleng kepala.

“ Itu kereta bertenaga batu bara.” Jawab Pak Sipir.

“ Makanya baca buku sejarah. Jangan pacaran mulu!.” Nara sewot.

“ Aku baru tahu kalau kereta begitu menyeramkan.” Tambah Anis.

“ Sudah Nis lebih baik fokus pada misi kita, mengintai.” Sergah Nara.

“ Pak sipir disana ada bongkahan batu yang di kelilingi oleh pohon mirip Mangrove. Cahaya lampu tak sampai disana. Bagaimana Pak.” Usul Nara.

Sipir pendiam itu seperti menimbang sesuatu. Beberapa detik kemudian sipir itu mengangguk.

“ Baiklah. Kamu lebih tahu rupanya tentang tempat ini.”

Ketiganya lari ke arah tempat yang di tunjukan oleh Nara. Dalam kegelapan Nara masih ingat dengan jelas. Nara berjalan paling depan. Di belakangnya ada Anis dan Sipir pendiam. Di depan mereka keadaan gelap. Semakin menuju ke bongkahan batu berjarak 30 meter dan keadaan makin pekat. Dengan langkah hati-hati mereka sampai di bongkahan batu tanpa di ketahui oleh Geng Fark.

Kereta Purba itu berhenti sejauh 50 meter dari mulut terowongan. Satu persatu anggota Geng Fark turun bersamaan dengan Farah, Arkon, dan salah seorang oknum Polisi yang bila berbicara maka Nara dapat mengenali suaranya dengan baik. Polisi Marno turun dari gerbong kereta sambil berkacak pinggang melihat situasi sekitar. Senter mulai dinyalakan membentuk garis cahaya. Polisi Marno memberi intruksi untuk membuka kaca tebal 10 cm dengan tongkat obor yang mereka bawa. Tanpa kesulitan kaca penghalang setebal 10 cm terbuka. Suara gemuruh seketika terdengar di seluruh ruangan bawah tanah. Polisi Marno masuk diringi Farah dan Arkon. Cahaya senter membuat langkah mereka bertiga menjadi lebih mudah.

Polisi Marno mencari tombol otomatis yang terpasang tersamar di salah satu dinding. Tangannya mulai mengutak atik sesuatu. Seorang anak buah terus menyinari apa yang dilakukan oleh tangan Polisi Marno. Sesaat kemudian tangan Polisi Marno memencat tombol On dan mematikan tombol sensor. Sektika ruangan menjadi terang oleh cahaya dari lampu Neon yang mulai nyala satu persatu. Rupanya lampu dapat di nyalakan dari dalam ruangan, tanpa harus menepuk tangan dari luar kaca penghalang.

Suasana gelap di sekitar persembunyian Nara dan kedua patnernya menguntungkan mereka. Ketiganya dapat leluasa pindah dari titik satu ke titik lainnya tanpa di ketahui oleh mereka. Ketiganya mulai pindah menuju depan mulut terowongan. Ketiganya tiarap seperti buaya berjemur siang bolong.

Sudah hampir setengah jam mereka mengawasi aktivitas para geng Fark yang mencurigakan. Ketiganya makin tegang ketika anak buah Farah dan Arkon di bawah komando tinggi Polisi Marno mulai memindahkan mayat-mayat bersejarah itu ke gerbong kereta. Jarak dari mulut terowongan ke ruangan penyimpang mayat 20 meter. Jarak yang sama ke sebuah gundukan batu yang di kelilingi oleh pohon mirip Mangrove. Polisi Marno keluar dan memberhentikan kaca penghalang agar tetap terbuka. Tujuannya agar memudahkan memindahkan mayat-mayat tersebut ke atas gerbong kereta.

“ Ayo cepat!. Mayat itu harus segera di kirim. Apa kalian sudah bosan hidup hah!. Teriak Polisi Marno”. Suara Polisi Marno memberikan komando kepada para bawahannya untuk bekerja secara cepat. Tampaknya mereka menjemput Polisi tak bermoral itu dalam satu sudut jalan rahasia. Jantung Nara seperti berhenti. Suara jalang itu sangat di kenalnya bahkan dalam mimpinya. Anak buah Farah mulai memindahkan mayat-mayat bersejarah itu keatas gerbong kereta. Gerak lambat akan membuat kerugian yang amat besar.

Di dalam kereta, terdapat sebuah pendingin ruangan yang terdiri dari balok-balok es yang akan mengawetkan jasad mayat itu sampai ke tempat tujuan. Balok-balok es itu terususun rapi di sebuah kotak besar dan panjang. Tutupnya terbuat dari baja yang berat. Butuh 10 orang untuk membuka dan menutupnya. Meraka akan mengangkat sebanyak 100 mayat yang akan dikirim ke pengepul dengan harga jual selangit. Pengepul itu bekerja sama dengan salah seorang pejabat penting di salah satu Museum Luar Negeri.

Deru mesin kereta tak terdengar, sengaja di matikan. Nara yang masih tegang sewaktu memeriksa mayat-mayat bersejarah itu tak mengetahui ada rel kereta dekat dengan ruangan berkaca itu. Teriakan Polisi Marno membuat Nara tegang.

“ Nis rupanya Polisi bejat itu ada di balik ini semua. Polisi yang berusaha menjamah tubuhku”

“ Tapi apa mungkin Polisi berpangkat rendah itu ada di balik tragedi menyeramkan di kota ini.”

Nara diam mencoba memahami apa yang sedang terjadi di kota kecil ini.

“ Dari mana kamu tahu kalau Polisi itu.”

“ Aku sangat kenal suaranya Nis.”

“ Kita hanya melihat bayangan saja, tak mungkin seorang Polisi menjadi pelindung dari semua kejahatan.”

“ Baiklah kalau tidak percaya, kita tunggu saja nanti.”

“ Apa yang di katakan oleh sahabatmu itu benar. Yang beteriak tadi adalah Polisi Marno. Teriakannya seperti seorang pembunuh.” Sipir pendiam memberikan tanggapan.

Nara tak mengetahui siapa perempuan yang sedang di lihatnya. Ia hanya mencari tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mayat-mayat bersejarah mulai di masukan kedalam gerbong kereta.

“ Nis sekarang kamu perhatikan betul wajah Polisi bejat itu, supaya kamu dapat menjadi saksi yang bersejarah ini.”

“ Wajahnya agak tersamar oleh cahaya, tetapi lebih tepat di katakan sangar.”

“ Jangan kau tertipu dengan wajahnya. Kau harus lebih berhati-hati dengan Polisi itu.”

Anis seperti terhipnotis dengan wajah Polisi Marno.

Keduanya berbicara sambil berbisik.

“Nis,” tangan kanan Nara menyentuh pundak Anis.

“ Ya Na, aku akan berhati-hati.”

Polisi Marno berjalan paling belakang mengikuti para anak buah yang tengah memindahkan para mayat yang paling bersejarah. Dan juga ada mayat tokoh-tokoh kampung yang punya kharisma di tengah-tengah masyarakat. Mata Nara seakan ingin menusuk retina dengan pancarannnya. Betapa ia teringat dengan ulah anak buahnya yang ingin menjamah kehormatannya. Nara heran kenapa Polisi Marno ada di tempat seperti ini. Lalu benda yang pernah Nara lihat dalam buku sejarah kini benar-benar nampak nyata dalam pandangannya. Sebuah kereta yang masih mengepulkan asapnya.

Dua pengawal polisi yang selalu menjaga Marko di tempat persembuyiannya juga telah menjadi korban kebengisan kelompok Fark. Pintu besar itu mulai tertutup kembali. Polisi Marno mengawasi sekitar ketika ingin masuk kedalam. Aktivitas memindahkan mayat terus di lakukan. Butuh beberapa hari untuk memindahkan seluruh mayat keatas gerbong kereta.

Nara dan Anis berpandangan seperu Lemur yang hendak mencari makan di malam hari.

“ Na, apa yang harus kita lakukan.”

Nara diam sejenak berpikir keras, lalu menengok ke arah sipir pendiam.

“ Kita tak mungkin kembali ke penjara, pasti seluruh sipir sudah mencari-cari kita. Sebaiknya kita kembali ke terowongan dan menulusurinya sampai menemukan jalan keluar menuju Pulau Nusa Kambangan.” Usul Sipir pendiam.

“ Lalu?.”

“ Aku akan ceritakan semua kepada Pak Saryo soal keberadaan mayat-mayat bersejarah itu, juga keterlibatan Polisi Marno di balik ruangan rahasia itu.” jawab Sipir pendiam

“ Siapa Pak Saryo.” Anis pensaran.

“ Dia adalah salah seorang Polisi yang masih punya nurani diantara oknum Polisi yang tak bermoral. Dan untuk saat ini kita tidak bisa melakukan apa-apa selain mengawasi mereka. Sebaikanya kita masuk lagi ke dalam terowongan dan mulai berjalan cepat.” Perintah Sipir pendiam.

“ Baiklah.”

“ Apa kalian berdua pernah masuk ke dalam ruangan itu.”

“ Ya aku dan Anis pernah masuk ke dalam ruangan tersebut.”

“ Ada berapa banyak jumlah mayat yang di awetkan itu.”

“ Kira-kira ada seribuan mayat.”

“ Mungkin saat ini mereka akan membawa bertahap. Dan kuharap mereka menemui kesulitan ketika memindahkan mayat-mayat itu hingga butuh beberapa hari untuk merampungkannya.” Jawab Sipir pendiam.

“ Ku harap juga begitu.” Nara menjawab singkat.

Ketiganya mulai menelusuri terowongan. Rasa lapar yang melilit ususnya untuk sementara tak segara di penuhi. Dalam perjalanan Anis mulai berceita kepada Nara.

“ Kamu tahu Na, aku masih trauma dengan orang yang berseragam.”

“ Ya, aku tahu itu, tetapi setidaknya kamu mencoba melupakan masa lalu yang sudah tinggal sejarah.”

Anis langsung berubah air mukanya. Dia tampak tak senang mendengar nasihat Nara itu. Nara langsung tanggap.

“ Maaf Nis, aku tak bermaksud seperti itu, aku hanya menyuruhmu untuk bersikap OPTIMIS dan tegar menghadapi kenyataan hidup yang terlalu pahit.”

“ Aku tahu Na, tetapi kematian paman ku yang baik akibat Petrus itu telah membuat trauma. Apalagi Petrus itu mengencingi mayat pamanku yang telah kaku. Aku melihatnya dari balik persembunyian dengan bibir gemetar dan terkencing-kencing.”

Nara menepuk kedua bahu sahabatnya itu, mencoba melepaskan segudang masalah yang menggelayut di kedua bahunya. Secara ekonomi Anis memang terpenuhi tetapi ia butuh teman untuk berbagi. Percerian kedua orang tuanya membuatnya semakin terpuruk secara moral dan fisik. Sempat Nara memergoki Anis tengah menenggak minuman keras. Tetapi ketulusan Nara mampu menghilangkan sifat buruknya sedikit demi sedikit.

Nara, Anis, dan sipir pendiam berjuang keras untuk kembali menelusuri terowongan. Di terowongan yang bercabang ketiganya beristirahat. Sipir pendiam membagikan ubi jalar dingin yang di curinya dari dapur sebelum melarikan diri. Nara dan Anis menerima dengan antusias dan memakannya dengan sedikit rakus. Sipir pendiam itu menatap kedua perempuan di depannya dengan tatapan geli.


Penulis : San Marta
Ditulis : 2013
Tujuan : Merekam jejak tulisan agar pembaca tahu progres sebuah tulisan dari waktu ke waktu
Tempat : Deplu Tengah- Bintaro-Jaksel

0 Comments:

Posting Komentar