Jumat, 22 Maret 2019

Cinta Butuh Uji Nyali

BAB
Empat Puluh


Aku, Pak Saryo dan Bondan pergi mencari jejak kereta yang terus membelah terowongan dan menghilang dalam kegelapan. Aku setengah berlari menelusuri terowongan yang seperti ular berkelak-kelok. Aku menyimpulkan kalau terowongan ini adalah bekas persembunyian bagi tentara jepang. Juga ada beberapa gua kecil yang hanya cukup untuk dua orang. Gua kecil itu ada pembatas berupa jeruji. Inilah sisi lain dari kekejaman bangsa Jepang ke bumi pertiwi.

Di selingi dengan istirahat dan makan seadanya berupa jangkrik dan beberapa telur burung. Kami bertiga sudah berjalan dua hari dua malam. Cara berjalan kami mirip tentara kaveleri yang ingin mendahului musuh untuk kemudian menyergapnya. Terowongan yang kami lalui makin lama makin gelap. Aku memanfaatkan pemandangan tajamku yang ku latih sejak dari kecil untuk berjalan. Juga dari cahaya senter yang di bawa oleh Polisi Saryo. Kami bertiga tidak siap dengan perbekalan berupa makanan dan minuman. Jangkrik dan telur burung semakin susah di temukan. Kami makan memanfaatkan binatang yang ada. Sepanjang perjalanan menuju terowongan ini kami bertiga hanya minum dari air yang menetes dari atas terowongan. Kami terpaksa memakan bayi-bayi tikus yang masih merah. Senjata yang aku bawa hanya pentungan dari kayu keras. Sedangkan Pak Saryo dan Bondan membawa senjata laras pendek. Bondan yang dulunya mantan penjahat tak kesulitan untuk menggunakan senjata api tersebut.


Hari ketiga kami beristirahat. Perutku sudah mual memakan bayi-bayi tikus. Kami berhenti di terowongan yang bercabang tiga. Ada tumbuhan semak yang tumbuh diantara pohon-pohon merambat. Kami di suguhkan dengan pemandangan yang indah. Ada air terjun sedang yang menghujam ke bawah. Kami dapat melihat sinar matahari pagi yang sejuk. Air terjun itu menuju kebawah laksana lobang akibat meteor jatuh. Beristirahat dan berusaha mencari makanan yang agak layak. Kami menemukan telur-telur Ular. Semula aku menolak untuk memakannya. Tetapi rasa lapar membuatku berpikir ulang untuk menolak pemberikan Polisi Saryo. Kulihat Bondan tak kesulitan untuk memakan telur Ular itu, tanpa pikir panjang ku pecahkan cangkang telur Ular itu dan ku hisap isinya. Sebelum mengambil telur ular itu Pak Saryo dan Bondan memberondong Ular yang sedang menjaga telur-telurnya. Aku sempat merasa kasihan dengan Ular itu, tetapi rasa lapar membuat rasa kasihan seringkali terabaikan. Aku lega karena Polisi Saryo tak menawarkan daging ular itu kepadaku.

Kejadian selanjutnya adalah aku berlatih menggunakan senjata laras pendek. Ternyata tas yang menempel di punggung Polisi Saryo adalah ribuaan amunusi yang siap pakai. Ku lihat beberap benda yang mirip jambu biji itu menggantung di lingkaran pinggangnya ternyata adalah granat. Ku tahu dari Bondan. Cara melatih Polisi Saryo yang menggunakan media batu kecil yang berwarna putih sebagai targetnya, membuatku kesulitan. Dengan sabar Polisi Saryo mengajariku bagaimana mengkokang dan mengisi peluru. Lalu melatihku menembak dengan tepat sasaran. Batu kecil yang menempel pada terowongan bila tertembak akan menimbulkan efek cahaya bila tepat sasaran. Walau waktu remaja ku sering berburu dengan menggunakan panahan tetap saja masih kaku ketika memegang senjata laras pendek. Kedua jenis senjata itu memang berbeda satu sama lain.

Menjelang senja jari telunjukku terasa kebas dan mati rasa untuk sesaat. Sudah ratusan amunisi yang ku tembakkan ke arah batu putih sebagai sasaran. Setelah Sholat Maghrib berjamaah, kami meneruskan perjalanan. Aku menyarakan kepada Polisi Saryo agar memilih terowongan yang lebih dekat dengan cahaya. Awalnya Polisi Saryo agak keberatan. Maka aku dan Bondan menulusuri untuk survey terlebih dahulu. Di pengkolan pertama aku menjumpai sebuah rel kereta dari balik celah yang sempit. Segerara ku laporkan kepada Polisi Saryo. Setelah itu dengan sebuh granat celah itu dapat di hancurkan. Sebenarnya aku khawatir kalau terowongan yang kami lalui malah menjadi senjata yang mematikan akibat lontaran granat yang mengakibatkan runtuhan. Syukurlah tak terjadi runtuhan. Granat itu hanya menghancurkan sebagian kecil celah sempit. Dan menghasilkan celah yang hanya bisa di lalui oleh satu orang. Kami bertiga dengan susah payah melalui celah itu. Bebatuan yang di pecahkan dengan granat itu terlalu padat dan solid.

Dengan menggunakan senter Polisi Saryo, kami bertiga berjalan terburu-buru menyusuri jalan rel kereta. Kami berjalan tak berhenti sepanjang malam. Menjelang Fajar kami memasuki terowongan yang bercabang dua. Satu terowongan di ujung kegelapan ada seberkas cahaya dan satunya lagi gelap gulita. Pilihan pertama kami putuskan. Kami seperti masuk di dunia para Jin dan Gendurwo. Di kanan kiriku ada pohon-pohon besar dengan semak-semak tinggi. Jarak pandangaku tertutup oleh kabut tipis. Aku berjalan paling tengah, sementara Bondan dan Pak Saryo ada sisi kanan kiriku. Aku mempertajam pandangan. Setajam ketika berburu maling di desaku. Ku lihat tampak bayangan dari balik kabut tipis itu.

“Pak Saryo sepertinya kita kedatangan tamu.” Aku setengah berbisik pada Pak Saryo.

“ Berapa Orang.”

“ Kira-kira tiga orang.” Kami bertiga langsung bersembunyi di balik semak-semak untuk mencegat ketiga orang itu.

“ Aku menunggu dengan cemas, karena baru kali ini aku menyergap orang dengan senjata laras pendak dengan amunisi berwarna kuning tua.

Suasana masih di selimuti oleh kabut tipis. Menunggu mangsa terasa jantungku berdegup kencang.

“Angkat Tangan.” Polisi Saryo beteriak kencang. Aku sendiri hampir jantungan mendengarnya. Suaranya keras dan tegas. Tampak ketiga orang itu berhenti. Ternyata salah satunya adalah laki-laki dengan ketiga senapan yang terselempang diantara badan dan pundaknya. Dua lainnya adalah kelihatan perempuan dengan baju yang terlihat kusam.

Polisi Saryo langsung mendekati ketiga orang tersebut. Sementara aku dan Bondan mengikutinya dari belakang. Semakin dekat aku semakin cemas. Khawatir kalau penyergapan ini adalah sebuah jebakan dari kelompok Fark. Aku di kejutkan dengan suara teriakan.

“ Mas Marko!”.

“Suara itu kukenal. Sangat ku kenal. Siapakah itu?

Kabut tipis masih menyelimuti jalanan rel kereta api.

“Mas Marko, ini aku Mas.” Sekali lagi Nara berteriak. Matanya yang terbiasa bergadang malam membuatnya tajam dapat menembus dan mencium aroma laki-laki di hadapannya. Senter dari sipir pendiam kebetulan mengenai mukaku yang sekarang tegang, bingung, sekaligus bergetar hatinya.

Senter mengenai muka Pak Saryo dan Bondan. Sipir pendiam itu langsung mengenali siapa orang di depannya. “ Pak Saryo!.” Sipir pendiam itu gantian berteriak. Marko dan Pak Saryo saling berpandangan.

Senter diarahkan ke arah Sipir pendiam, Nara dan Anis. Dan kami bertiga mendekat lagi kearahnya. Aku gemetar. Di balik kabut tipis itu ada wajah yang hampir tak ku kenali. Wajah yang semakin kurus dengan wajah kuyu. Di hadapanku sekarang ada seorang yang membuatku begitu semangat hingga detik ini. Tentunya setelah Allah SWT.

“ Nara.!” Aku gemetar memanggilnya.

“ Mas Marko.” Nara memanggil sambil menitikkan air mata.

“ Hasan apa kabar?.” Panggil Pak Saryo. Sipir pendiam itu ternyata bernama Hasan. Hemm sesuai dengan kelakuannya.

“Baik Pak. Tetapi suasana penjara sedang kacau. Para tahanan melakukan perlawanan. Banyak yang terluka dan beberapa mungkin tewas.

“ Aku juga kehilangan dua pengawalku.” Sambut Pak Saryo.

Nara yang sedang menatap wajah Marko bahagia langsung teringat dengan kejadian pernikahan yang sempat tertunda. Aku masih segan memeluknya. Begitu juga dengan Nara. Aku teringat nasihat guru ngajiku. “ Pelukan kepada seorang wanita adalah bila sudah dalam naungan pernikahan, kecuali darurat.” Aku hanya saling tersenyum seperti pertemuan dahulu. Empat tahun kami berpisah dengan Nara akibat ulah Farah dan Arkon yang sekarang menjadi sangat berbeda. Kami saling menyapa satu sama lain termasuk Pak Saryo kepada Nara.

“ Pak Saryo, di ruang rahasia tepat di bawah penjara Purbalingga kami menemukan banyak mayat purbakala zaman Belanda dan Jepang. Lalu ada mayat seorang Bupati, para tokoh, lurah, juga yang paling baru kami melihat dua orang Polisi yang bersergam. Dan satu lagi Polisi Marno menjadi dalang di balik ini semua.” Nara bercerita.
“ Brengsek!. Polisi Saryo sangat kesal.

“ Mereka bersenjata.”

“ Ya mereka membawa senjata persis yang di bawa oleh sipir pendiam.” Jawab Nara.

“ Brengsek. Pasti Marno yang mengajari semuanya termasuk cara membuat senjata rakitan.”

“ Tadi kamu bilang ada mayat Purbakala.”

“ Ya pak, di ruang rahasia itu banyak mayat purbakala yang telah membeku. Apa bapak tidak tahu.”

“ Bukan tidak tahu Na, tetapi ku kira cerita itu hanyalah mitos belaka. Tetapi sekarang aku baru sadar kalau tempat itu benar-benar ada.

“ Apakah tempat rahasia itu ada jalur rel kereta api.”

“ Ya Pak, bahkan mereka sudah lebih dari tiga hari mengangkut mayat-mayat bersejarah itu, termasuk benda purbakala. Mereka memindahkan mayat-mayat itu ke dalam kereta setelah melakukan hal aneh yang tidak ku ketahui.”

“ Seperti apa.” Pak Saryo makin antusias mendengarkan cerita Nara. Kami mendengarkan dengan ngeri. Kabut terus turun makin banyak.

“ Mereka mengoleskan sesutu ke mayat itu dan melakukan hal aneh yang tak kumengerti.”

“ Gawat...! ini bisa jadi bencana. Kota kita ini akan mengalami sesuatu yang mengerikan bila mayat bersejarah itu berpindah ke tangan yang tidak bertanggung jawab. Atau yang kedua kota ini akan berubah menjadi pusat dunia karena telah menjadi saksi bisu telah menyimpan banyak mayat purbakala.

“ Bisa kau sebutkan berapa jumlahnya.”

“ Tidak tahu persis, tetapi jumlahnya lebih dari 1000.”

“Kamu sudah melakukan sesuatu yang istimewa, dan aku yakin kamu bisa terbebes dari penjara karena telah menjadi saksi besar dalam sebuah peradaban.”

“ Berapa dalam ruangan rahasia itu dari atas penjara.”

“ Kira-kira 200 meter lebih Pak, tertulis pada anak tangga terakhir.”

“ Ini memang hampir mustahil tetapi begitulah cerita yang akurat yang ku peroleh ketika diskusi dengan para petinggi kepolisian dan para Arkeleogi. Jawab Polisi Saryo.

Mata Nara tak bisa melihat wajah Bondan. Karena kabut mulai menebal. Anis semakin bingung dengan apa yang terjadi, tetapi dia hanya bisa diam mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Sementara sipir pendiam terus mengawasi sekitar.

“ Mereka bersama seorang perempuan dan laki-laki yang berpakaian paling aneh.”

“ Sepertinya iya Pak, di samping Pak Marno.”

Pak Saryo berpikir keras karena situasinya benar-benar kacau. Alat komunikasinya sudah di rampas oleh kelompok Farah dan Arkon. Sekarang dirinya berada di tempat yang sangat jauh dari markas.

“ Pak apakah kita tidak langsung kesana saja, melihat langsung. Siapa tahau kita melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mayat-mayat bersejarah itu. kita minta bantuan saja sama Polisi di Purbalingga.” Pertanyaanku memecah keheningan.

Pak Saryo diam.

“ Lorong-lorong utama pasti sudah di jaga oleh sipir-sipir penghianat itu.”

“ Pak aku pernah menemukan sebuah lorong panjang, lalu aku berbelok ke kanan. Lalu aku bertemu dengan akar-akar besar, dan di samping akar-akar itu ada tangga dari besi. Ternyata setelah itu aku betemu dengan benda mirip tameng, ku dorong saja, ternyata aku tepat di bawah pohon beringin Alun-Alun Purbalinnga. Waktu itu aku sedang mengggali buat saluran air, ketika aku sedang bekerja membangun sekolahan persis di depan Alun-alun.” Aku menceritakan kisah itu pada Pak Saryo.

“ Luar biasa, itu lorong yang di buat untuk bersembunyi dari tentara Belanda. Lalu terowongan ke kiri itu.” “ Aku tidak tahu, lorongnya terlalu pekat dan gelap.”

“ Baiklah kita menuju ke ruangan rahasia itu, tetapi usahakan jangan melakukan perlawanan karena kita kalah jumlah. Dan berharap kita dapat menemukan lorong yang di maksud oleh Marko.

Kabut tipis mulai memudar. Wajah Bondan makin terlihat jelas oleh Nara. Ia pun penasaran dan ingin mengetahui siapa laki-laki di depanya itu sebelum mereka berjalan.

“ Siapa itu pak.” Tanya Nara.

Aku dan Polisi Saryo saling menatap. Sejenak kemudian...

“ Dia adalah Bondan, orang yang membeli daganganmu dengan Uang Palsu. Kamu ingat.” Polisi Saryo tak bertele-tele dan menutupi.

Ingatan Nara langsung terbang ke masa empat tahun yang lalu ketika di tangkap paksa. Nara ingat ketika ada seorang berjaket hitam membeli dagangannya dan kemudian dua orang Polisi menangkapnya.

“ Brengsek!.” Nara maju ke depan. Ingin rasanya Nara memukul mulutnya dengan tangan kanannya.

“ Sabar Na, dia sudah insaf dan bertekad membantu kita.” Aku terpaksa memegang tangannya.

“ Alahhh itu cuman sandiwara saja.” Pungkas Nara.

“ Benar Mba Nara, aku sudah tobat dan ingin membantu kalian menjadi saksi atas kejahatan Polisi Marno dan anak buahnya. Sekarang aku minta maaf.” Bondan menyela.

“ Mudah sekali kau minta maaf hah! Setelah kau memfitnahku!, sekarang buktikan tobatmu itu, baru aku mengabulkan permohonan maafmu itu!.” Nara muntab dengan kesal. Aku dan Polisi Saryo tak bisa menyalahkan Nara. Hasan dan Anis tak mengetahui betul permasalahannya terdiam untuk sejenak. Ketegangan mereda setelah ku pastikan benar kepada Nara kalau Bondan benar-benar sudah tobat dari perbuatan jahatnya.

Kami pun menuju kesana. Aku menatap wajah Nara dan mendekatinya. Sementara mereka berjalan. “ Na habis peristiwa ini, mudah-mudahan apa yang kita impikan dapat terwujud. Yaitu sebuah pernikahan sederhana dan di hadiri oleh orang-orang yang kita cintai.” Aku berkata sambil meneteskan air mata, pernikahan yang tinggal semingu lagi akhirnya tertunda sampai 4 tahun. Nara mengangguk sejuk seperti 4 tahun yang lalu, sorot matanya bagai bidadari yang tak berhianat. Panggilan dari Pak Saryo mengagetkanku dan Nara tersenyum. Kami mengikuti mereka dari belakang. Dan kami bertemu kembali dengan terowongan yang berkelok-kelok seperti ular naga.

“ Na, kau sudah tahu nama sipir yang mengawalmu sampai ke tempat ini.” Tanya Polisi Saryo.

“ Belum tahu Pak.” Nara tersenyum.

“ Hasan namanya. Dia memang pendiam tetapi punya hati yang suci.”

“ Oh...”

Hasan sang sipir pendiam berjalan paling belakang. Nara, Anis dan Polisi Saryo berjalan paling belakang. Sementara Aku dan Bondan berjalan di tengah-tengah mereka. Kabut turun makin banyak. Wajahku dingin karena terpaan kabut. Tetapi hatiku hangat karena ku rasakan cinta makin indah antara Aku dan Nara. Cinta butuh uji nyali apakah bertahan ataukah hanya pepesan kosong.

0 Comments:

Posting Komentar