Sabtu, 02 Maret 2019

Penjara

BAB 
Dua Puluh Delapan 


Pak Lurah tak bisa berbuat banyak karena akses kepenjara Purbalingga amatlah sulit. Sepertinya pejabat di daerahku tak bisa untuk di andalkan. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri, dalihnya bermacam-macam. Hukum telah di beli dengan uang. Siapa yang punya duit banyak maka kekuasaan ada dalam genggamannya.

Pagi ini dengan susah payah. Aku, Ibu, kedua adikku, serta Ibu Baroroh melobi sipir penjara agar mau mempertemukanku dengan Nara. Keberadaanku di Lembaga Pemasyarakatan ini sama sekali tak melibatkan aparatur pemerintahan. Ibuku membawa makanan dalam balutan kain batik warna hitam, sepintas terlihat mirip perbekalan para pendekar yang hendak melalang buana menembus dunia fana. Lewat bantuan Polisi Saryo kami sedikit di permudah bertemu dengan Nara. Selanjutnya biar kami menunggu kedatangan Nara. Birokrasi semacam ini sudah menjadi hal lama yang sulit di hilangkan.

Kulihat Ibu Baroroh sudah beberapa kali bolak-balik ke WC untuk buang air besar. Depresi yang terus menerus melanda pikirannya membuat Ibu Baroroh sering terkena penyakit diare dan demam tinggi. Kasihan Ibu Baroroh dalam kehidupannya yang sendiri tanpa suami Ia harus menanggung beban cobaan sendirian. Ku lihat dari wajahnya ada ketegaran yang terpancar dari wajahnya.


Hampir satu jam kami menunggu. Nara akhirnya keluar dari sebuah ruangan dengan kawalan Sipir penjara. Nara muncul dari balik pintu dengan wajah lebih tegar dan tubuh lebih kurus. Nara berada di sebuah ruangan yang di batasi oleh kawat yang tersusun segi enam mirip kandang burung Beo. Nara duduk di sebuah kursi kayu yang mirip kursi hukuman mati. Ia menghadap kami dengan senyuman seperti biasa. Rambutnya kini tertupi oleh sebuah kerudung sedang warna hitam. Kaos biru lengan panjang menutupi tubuhnya yang kurus dibalut dengan celana olahraga yang khusus di pakai pada saat menerima kunjungan.

Aku tak bisa lagi memandang rambutnya yang indah itu. Ada aura yang terpancar dari balik kerudungnya itu. Kini rasa cinta itu makin besar dan kesabaranku lebih besar untuk menuggunya sampai bebas dari penjara. Kecantikan hati kini terpancar dari tatapan wajah dan tingkah lakunya. Tetapi kecemasanku bertambah besar manakala mengingat Polisi Marno yang tidak waras ingin berbuat tidak senonoh dengan Nara. Mungkin saja itu terjadi. 

Kami duduk berhadap-hadapan dengan sekat jeruji tersusun. Kami mengobrol seperti orang hendak beli tiket untuk mudik ke kampung. Tak berapa lama Ibuku dan Ibu Baroroh sudah meneteskan ari mata, keduanya tak sanggup melihat orang yang di sayangnya di penjara dalam waktu yang tak menentu.

Waktu terus berjalan tanpa kenal lelah, petemuan ini di batasi oleh ruang dan waktu. Kami hanya di beri tenggang waktu sebanyak 15 menit saja. Mirip kultum pada sebuah pengajian malam jumat. Kini giliranku untuk berbicara dengan Nara. Inilah untuk pertama kalinya aku berbicara sambil menatap wajah Nara sedekat ini. Aku tak berani untuk menyentuh tangannya karena kami masih di batasi oleh norma-norma agama. Tidak ada peluk cium dan sederet adegan sewajarnya dalam pertemuan merindukan ini. Aku menahan diri agar tak memegang tangannya, walau hati sangat ingin. Mungkin juga dengan Nara yang punya pikiran sama. Atau malah dia lebih baik dalam hal menahan diri.

“ Nara apa kabar.” Aku bertanya standar untuk mengawali pertemuan yang bersejarah.

“Baik, Mas sendiri gimana.” Nara balik bertanya.

“ Alhamdulillah baik, seperti yang kau lihat sendiri.” aku menjawab sambil menatap wajah Nara. Sesaat kami malah terpaku seperti patung.

“ Apa yang kau rasakan di sini.” Aku membuka dialog, karena sipir dari balik pintu tetap mengawasi tajam tanpa berkedip melalui kaca tembus pandang yang menempel pada pintu itu.

Air mata Nara langsung meleleh turun dari kelopak matanya yang makin cekung karena kurang tidur. Kantung matanya begitu tebal dan terlihat hitam. Aku jadi merasa bersalah, mungkin pertanyaanku kuran tepat.

“ Maafkan kalau pertanyannku telah menyakitimu.”

Nara menggeleng.

“ Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuat pernikahan kita gagal dan tertunda seperti ini.”

“ Kita tidak boleh menyerah dengan mimpi kita ini. Semoga kelak ada jalan untuk melangsungkan pernikahan ini.” Aku menjawab dengan perasaan tak menentu.

“ Nara, apa yang kau rasakan di sisi. Apa ada yang menyakitimu.”

“ Aku selalu merasa di awasi sama Polisi Marno yang terus mencari kesempatan untuk bisa menjamah tubuhku ini. Aku selalu mengajak salah seorang teman bila kegiatan menyemai bibit di sawah.”

Mendengar hal tersebut darahku menjadi mendidih. Ingin segera ku pancung lehernya hingga putus jatuh ke tanah. Tidak masalah kalau aku akan ikut mendekam di balik jeruji penjara yang keras dan tanpa ampun. Nara menceritakan seluruh aktivitas di penjara dengan singkat. Mulai dari bangun pagi hingga menjelang malam. Tentunya tatapan sipir itu tidak bergeming sedikitpun. Sipir itu mungkin khawatir kalau aku memberikan benda yang akan meloloskan diri dari penjara.

“Waktunya sudah habis.!” Teriak sipir itu tanpa senyuman. Kumis tebal melintang di atas bibirnya yang menghitam akibat panas dari rokok bertahun-tahun.

Ibuku memberikan sebuah bungkusan makanan kepada sipir itu agar di serahkan kepada Nara. Tetapi aku tak yakin kalau Ia benar-benar akan memberikan dalam keadaan utuh. Mungkin setelah sampai di tangan Nara hanya separuhnya saja. Sipir mengambil sebagian dengan dalih sebagai “uang” keamanan.

Aku menatap Nara sampai hilang di balik pintu. Kami beranjak dari tempat tersebut dengan perasaan tidak menentu. Aku yakin bagi Ibu Baroroh hatinya sangat terpukul melihat anaknya yang semakin kurus dan kurang gizi. Sebelum menutup pintu Nara menatapku sejenak seakan mengatakan. “ Mas doakan aku untuk bisa bertahan di tempat seperti ini, kalau bisa bantu aku keluar dari penjara yang menyiksa ini.” Nara kemudian memberikan senyuman yang sama seperti ketika aku baru mengenalnya, ketika sama-sama menyeruput teh tubruk hangat ketika acara lamaran. Lalu menatap sekilas Ibuku dan Ibu Baroroh setelah itu tangan kurusnya menutup pintu bisu di bawah kawalan seorang sipir berbadan besar lagi berkumis tebal.

Kami melangkah letih keluar dari gerbang penjara menuju ke perempatan jalan yang diapit oleh pohon-pohon besar. Dari pohon itu sering keluar benda-benda unik yang dapat menari-nari ketika hendak jatuh mencium tanah. Benda kceil berwarna coklat itu katanya dapat mengobati turun panas. Aku pernah mencobanya rasanya pahit dan getir di lidah.

Setelah 1 tahun berlalu mobil Pick Up sering berputar-putar mencari penumpang untuk di antarkan ketempat tujuan. Pick Up itu mirip oplet yang di gunakan Mandra untuk narik dalam film Si Doel Anak Sekolah yang melegenda itu. Jalanan Kota kecil Purbalingga menjadi lebih berwarna ketika mobil Pick Up menderu seperti deru mesin perang membelah jalanan Kota Purbalingga.

Ku ingat tadi, tatapan mata Nara seperti menghadapi tiang gantungan yang sudah siap menanti beberapa jam lagi. Sementara kepalaku sudah mulai berdenyut keras setiap kali memikirkan dan membayangkan nasib Nara yang menderita setiap malam tanpa bisa berbuat apa-apa.

Sebauh mobil Pick Up berhenti tepat di hadapan kami yang sedang terpaku dengan pikiran masing-masing. Kami bergantian naik Mobil tersebut tanpa berusaha untuk mendahului seperti saat mudik lebaran. aku sendiri menatap dinding penjara yang panjang berkelok-kelok. Sebelum kaki ini melangkah masuk kedalam mobil tersebut, ku tatap sejenak sebuah menara tinggi yang tengah di jaga oleh seorang sipir berseragam. Sebuah senapan laras panjang tampak di pegang sambil mulutnya menghisap rokok togog hingga kelihatan mirip Popeye. Andai saja aku seorang Sniper ingin ku tembak kepalanya ketika turun hujan lebat di sertai petir. Pikiran konyol mulai merasukiku, segera ku ucapkan Istighfar.

0 Comments:

Posting Komentar