Rabu, 27 Maret 2019

Pertempuran

BAB 
Empat Puluh Satu 


Kami sedang menunggu Polisi Saryo untuk meminta bantuan. Kami berhasil menemukan terowongan yang menuju ke Alun-alun Purbalingga. Kami bersusah payah memasuki lorong lorong tersebut selama 2 jam. Kami tidak lagi memusingkan makanan apa yang kami makan. Masalah yang akan di hadapi jauh lebih berat dari pada urusan perut.

Tak lama kemudian Polisi Saryo sudah datang dengan bala bantuan lengkap dengan senjatanya. Aku sendiri ngeri melihat senjata-senjata itu, mereka semuanya menggunakan Topeng. Pasukan elit itu berjumlah 10 orang. Mereka adalah prajurit tempur yang sudah terlatih bertahun-tahun di medan sulit sekalipun. Aku tak berani menatapnya lama-lama. Rasanya baru kali ini aku berhadapan dengan prajurit yang gagah berani.

Aku di kagetkan dengan suara senjata yang di kokang cepat dan serempak. Pak Saryo mendekati kami. “Kita berangkat sekarang, dan siapkan mental kalian.” Kulihat wajah Nara yang tegang tapi tidak sepucat wajah Anis. Kalau Bondan sudah keren memegang senjata. Kalau aku sedikit gemetaran. Kami langsung menuju ketempat rahasia seperti yang di ceritakan oleh Nara.

Dua hari kemudian.


Kami sudah sampai di mulut terowongan dan berjalan menuju ke titik persembunyian. Cahaya lampu tak sampai di tempat kami bersembunyi. Keadaaan di sekitar kami gelap. Kondisi ini sangat menguntungkan. Sekarang jantungku benar-benar terpacu kencang. Nara dan Anis bersembunyi di balik batu besar yang di kelilingi semak. Bondan dan Hasan sudah bergabung dengan pasukan bertopeng itu. Aku berjalan di belakang Polisi Saryo. Ku lihat geng Farak berserta anak buahnya masih sibuk memindahkan mayat-mayat purbakala itu ke dalam kereta bertenaga batu bara. Sebelum memasukan kedalam gerbong kereta, mayat-mayat itu di periksa sekilas oleh Polisi Marno.

Aku semakin gemetar memegang senjata yang semakin berkeringat. Aku terbiasa memegang cangkul dan alat partanian atau perkuliaan. Kode-kode isyarat aku saksikan tanpa aku ketahui. Para pasukan bertopeng sudah dalam posisi yang aman dari peluru. Aku semakin tegang, dahiku sudah keluar keringat. Beberapa detik kemudian.

Pasukan elit bertopeng memuntahkan amunisi kearah Geng Fark. Aku tegang sambil mengikuti Polisi Saryo merangkak ketempat yang aman. Ku lihat Geng Fark kocar-kacir mencari tempat perembunyian. Mereka terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Kami bersembunyi di tempat yang gelap. Sergapan kami membuahkan pertempuran yang menguntungkan kami. Sebagian dari mereka tersungkur ke tanah, sebagian lainnya melakukan perlawanan dengan sembunyi di balik bongkahan batu besar.

“ Dor-dor-dor-dor-dor.” Pistol yang di pegang Polisi Saryo memuntahkan pelurunya berkali-kali. Di susul letusan senapan lain. Peluru yang di muntahkan Polisi Saryo sudah tak terhitung. Sementara aku hanya merunduk berlindung dari tembakan geng Fark.

“ Aku sesekali menembak tapi tak mengenai apa-apa. Tetapi Pak Saryo cukup senang dengan apa yang ku lakukan. Tiba-tiba Polisi Saryo tersungkur jatuh. Aku bukan main panik. Dia terkena tembakan tepat di pahanya. Seorang laki-laki tertawa di tengah pertempuran. Ku lihat seorang yang ku kenal, Narman. Narman yang dulunya temanku kini berbalik arah menjadi musuhku. Ia tengah mengokang senjata. Dia begitu puas dengan menembak Polisi Saryo hingga tersungkur. Narman alias Arkon mendekat kearahku. Rupanya Narman sejak penyerbuan tadi sudah bersembunyi dan membidik sasaran yang di inginkan. Narman menempatkan senter pada senjata laras panjang hingga bisa melihat gerakanku dan Polisi Saryo.

Aku menembak kearahnya. Tetapi meleset berkali-kali. Tembakan ke sepuluh berhasil menyungkurkan Arkon. Dia terlihat mengerang kesakitan. Darah mengucur dari pahanya. Anak buah Farah dan Arkon banyak yang bergulingan tewas. Pasukan bertopeng itu mampu menaklukkan mereka dengan sembunyi di tempat gelap. Polisi bejat Marno menyerahkan dan mengangkat kedua tangannya. Lampu neon panjang tiba-tiba menyala di atas kami sehingga kami terlihat ketika beridiri. Sekarang seluruh ruangan terang benderang. Kereta pengangkut mayat terlihat lebih hitam dari yang ku lihat di buku sejarah. Kami tak lagi bersembunyi karena mereka sudah menyerah. Sergapan pasukan elit bertopeng benar-benar mengejutkan mereka. Ku lihat darah mengalir dari balik tubuh anah buah Farah dan Arkon.

Beberapa anak buah Farah dan Arkon berusaha kabur dari penyergapan lari menghindari peluru yang berdesing tak beraturan. Pasukan dari Kodim O84 dari Purbalingga itu tak mau meninggalkan kegagalan. Beberapa pasukan langsung mengejar mereka melalui lorong-lorong. Sementara Farah dan Arkon sudah menyerah tak berdaya. Pakaian yang di kenakan oleh Farah tak mencerminkan sekali kesopanan. Atau memang dia kurang bahan dalam membuat baju sehingga sebagian lengannya terbuka lebar. Merasa cantik dan tubuh indah, hingga memamerkan ke anak buah yang kesemunya laki-laki, padahal ada masanya Farah tak bisa melawan waktu dan kerentaan akan menerpa kulitnya yang mulus.

Dalam euforia kemenangan. Kami lengah, tangan kanan Polisi Marno dengan cepat mengambil pistol mini di balik punggungnya. Ia menembakkan kearah Hasan sipir pendiam. Tepat mengenai kepalanya. Seketika tubuh Hasan terkulai lemas mengejang sebentar, lalu terdiam untuk selama-lamanya. Aku terkejut. Nara dan Anis pun demikian terpukul melihat orang yang melindunginya selama ini mati tertembak oleh atasannya sendiri.

Reflek Nara menghampirinya. Polisi Marno hendak menembaknya kembali. Kami memang terpisah karena pertempuran tadi. Tetapi aku masih bisa melihat kesemuanya. Ku lihat sniper susah payah mengangkat senjatanya. Mengaharahkan ke Polisi Marno. Tangan kanannya tertembus peluru, hingga terliha gemetar.

Dor!, peluru itu melesat menghampiri Nara. Anis menghambur cepat dari arah belakang menyongsong peluru dari pistol yang di tembakkan kearah Nara. Tepat mengenai dadanya. Anis terkulai lemas menyentuh tanah. Nara kulihat makin histeris. Sahabat karibnya roboh di terjang peluru. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Peluru di pistolku habis. Apalagi di depan ku Polisi Saryo sedang mengerang kesakitan tertembus peluru di pahanya. Aku berusaha menghentingkan darah sebisanya. Melalui instruksi dari Polisi Saryo.

Dor!, suaranya lebih keras. Seorang Sniper dengan susah payah menembak Polisi Marno. Tepat mengenai Pistol itu dan terjatuh dari genggaman Polisi Marno. Beberapa pasukan elit kembali dari terowongan sambil membawa tawanan. Dor! Terdengar kembali. Sniper mengarahkan tembakan ke Polisi Marno. Tidak tepat ke kepala atau dada. Tetapi berhasil merobohkannya. Darah mengucur dari paha kanannya. Sniper tampak gemetar karena darah mengucur dari lengan kanannya. Tembakannya pun meleset.

Beberapa pasukan juga muncul dari arah lain. Mereka tidak menyangka. Kalau anak buah Farah dan Arkon begitu nekad. Hingga bisa melumpuhkan Polisi Saryo. Tetapi mereka masih hidup. Mereka langsung meringkus Polisi Marno, juga tidak ketinggalan membawa Farah dan Arkon dalam tawanan. Aku bisa bernafas lega. Tetapi kematian Hasan dan Anis membuatku sangat sedih. Harapanku tidak terwujud, yaitu bisa mengundang mereka semua dalam pernikahan kami yang sederhana.

Ku bantu Polisi Saryo untuk berdiri. Ku gunakan bajuku untuk menahan darah yang mengucur di pahanya. Aku tertatih memapah Polisi Saryo menuju ke tempat Nara yang sedang menangis karena kehilangan sahabat karibnya sejak kecil. Dia tak menyangka kalau perpisahan dengannya begitu cepat. Sampai di dekatnya ku lihat Nara sedang mendekatkan telinganya ke mulut Anis yang sedang sekarat. Entah apa yang sedang di bisikinnya. Apakah orang sekarat dapat berbicara selancar orang yang waras. Mukjizat Allah lah yang berbicara.

Hasan sudah tergeletak tak jauh dari Nara yang sedang menemani Anis yang terbujur kaku. Pasukan elit dari kodim 070 itu menatap perpisahan Nara yang memilukan. Para tawanan termasuk di dalamnya Farah dan Arkon ikut menyaksikan. Tak ada kesedihan di wajah mereka. Bahkan Farah terlihat tersenyum puas melihat salah satu dari teman kami berhasil di bunuh. Sementara Arkon kulihat menundukkan wajahnya. Aku tak tahu maksudnya. Apakah dia menyesal setelah kejadian ini. Atau hanya pura-pura saja. Lalu membunuh kami satu persatu kelak di masa depan.

Wajah Nara merah padam melihat temannya sudah tak bernyawa. Ada perasaan marah yang memuncak. Ia bangkit dan menatap satu persatu wajah tawanan termasuk Farah dan Arkon. Ada tatapan kebencian di sana. Ia begitu menakutkan ketika marah. Aku tak mengerti kenapa Nara bisa menjadi menakutkan seperti itu. Nara mendekat ke Polisi Marno yang sudah di borgol kedua tangannya. Sampai di dekatnya. Polisi bejat itu mengatakan sesuatu yang membuatku marah tak terkendali.

“ Bagaimana Nara, apa mau di lanjutkan percintaan kita yang sempat tertunda.” Polisi Marno dengan senyum puas berhasil mempengaruhiku.

“ Dasar bajingan.” Aku memukul mulutnya yang hina itu. seketika darah muncrat dari mulutnya. Tak ku sangka sebuah tendangan keras tepat mengenai selangkangan Polisi Marno. Nara melakukannya sepenuh hati. Kami berdua ingin meneruskan kemarahan kami. Tetapi pasukan elit itu mencegahku dengan nada keras. Setelah kejadian itu, sebuah tawa keras terdengar yang datangnya dari Farah. Ia tetawa ngikik seperti kuntilanak. Arkon terdiam melihat bosnya tertawa bahagia.

“ Mas siapa yang sedang tertawa itu.”

“ Dia adalah penyebab terbesar yang membuat pernikahan kita tertunda.” Aku spontan menjawabnya. Dia sudah kalah dari awal, tatapi dendam kebencian hasil dari cemburu memuncak ia lampiaskan kepadamu.

Nara langsung menuju ke arahnya. Dan menampar sekeras-kerasnya tamparan. Tawa itu langsung berhenti. Suasana makin tegang. Manakala Nara mengambil pisau kecil. Aku heran dari mana dia dapat pisau itu.

“ Dasar murahan!.” Farah makin memprovokasi Nara yang sedang emosi.

“ Aku berlari menuju Nara dan memegang tangannya. Nara berteriak karena niatnya tercegah oleh genggaman tanganku. Aku terpaksa melakukannya. Karena situasi begitu cepat. Dua orang pasukan elit langsung terjun membantuku karena yang sedikit kewalahan. Aku baru menyadari kalau wanita sedang marah bisa mengeluarkan tenaga Banteng. Nara bisa memunculkan sebuah tendangan ke perut Farah. Ia pun tampak kesakitan. Pisau kecil masih terpegang erat di tangannya.

“ Na!, kalau kamu melakukannya berarti kamu saja dengannya. Jangan kau terpancing dengan ucapan Farah. Dia itu ingin melihat kita hancur berantakan.” Aku membentak Nara dengan keras. Emosiku juga terbakar melihat Nara begitu tak bisa di kendalikan. Sementara Farah terus tertawa di bawah penjagaan satu orang pasukan elit. Kedua tangannya sudah terbrogol dengan kuat. Wajah dan tampilan Farah sudah sangat berbeda, bahkan nyaris tak kukenali. Tatapan matanya memperlihatkan kebencian yang mendalam pada kami berdua.

“ Ayo kita kembali ke Markas, kita selesaikan urusan ini. Dan yang paling penting kita sudah berhasil menyelamatkan situs sejarah yang mampu menggetarkan dunia.” Ungkap Polisi Saryo. Dia menatap kami berdua. Ada kemenangan di mata Polisi jujur dan baik hati. Ku lihat Nara sudah lebih tenang. Kami pun bergegas meninggalkan ruangan rahasia yang menengangkan. Petualangan hidup ku dan Nara takkan terlupakan sampai anak cucu.

Aku berjalan paling belakang, sambil membawa mayat Hasan yang baik. Entah kenapa tubuh Hasan begitu ringan. Maka ku tolak satu orang pasukan elit yang ingin membantuku. Karena dia sendiri juga mengalami luka di bagian tangannya. Nara juga melakukan hal yang sama. Dia membawa sendiri tubuh Anis yang sudah terbujur kaku. Apakah mayatnya seringan mayat Hasan. Atau memang ototnya sudah terlatih sejak kecil, akibat membawa barang dagangannya ke Pasar bersama ibuku. Semoga saja kuat sampai Markas.

0 Comments:

Posting Komentar