Sabtu, 02 Maret 2019

Pencuri Bertato

BAB 
Dua Puluh Enam 


Di bawah cahaya rembulan, aku berlari ke tengah sawah lalu memanjat bekas runtuhan bangunan Rel Kereta peninggalan Belanda, setelah itu aku berteriak kencang agar beban di pikiranku sedikit berkurang. Aku sempat menghujat takdir yang sedemkian kejam karena tak berpihak padaku.

Suasana sekitar hening. Gemericik ari dari sungai kecil terdengar jelas. Suara kodok saling bersahutan. Di atas reruntuhan bangunan rel kereta api zaman Belanda aku berpikir keras bagaimana bisa Nara di penjara. Kedua tanganku menengadah ke atas. Aku mohon pertolongan kepada Allah Swt atas cobaan ini. Dadaku naik turun menahan kesedihan yang terpendam. Selain di Musholla aku sering mengadukan kesedihanku kepada Allah diatas bekas bangunan rel kereta Api yang terdapat di tengah-tengah sawah. Aku teringat dengan satu nama, “Polisi Marno.” Nama Polisi itu terasa sangat menganggu pikiranku selama ini.

Aku turun dari bangunan bekas rel kereta api zaman Belanda. Aku melangkah menyusuri pematang sawah sendirian dan hanya di temani dengan cahaya bulan. Beberapa kali aku melihat burung semak terlihat terkantuk-kantuk terkena cahaya bulan. Ular yang beroperasi malam juga sudah mulai mencari binatang pengerat. Dari kejauhan tampak cahaya petromaks yang tampak mengecil, para pemburu sedang mencari belut-belut yang akan di jual ke pasar, atau memenuhi pesanan beberapa tetangga.


Sengaja Aku tak pulang ke rumah, tadi sore aku sudah berjanji akan menemani Narman untuk menjaga Poskamling bersama beberapa teman lainnya. Keluar dari area persawahan aku melangkah ke sebuah perempatan jalan, di sana mungkin Narman sudah menungguku dengan sebuah radio milik ketua RT yang sengaja di alokasikan untuk teman sewaktu meronda. Sampai di depan Pos ronda, ku lihat ada obor tertancap di salah satu tiang. Suasana masih sepi tak ada seorang pun di dalam gardu pos. Aku mendengus kesal, Narman mangkir dari janjinya. Tak lama kemudian 5 orang teman datang secara bergerombol. Masing-masing membawa Obor dan senter. Perjalanan meronda bersama teman-teman akan terasa lebih mudah. Dua orang membawa senter. Keduanya memang berasal dari Kasta Brahmana yang mau turun Ronda. Aku bersimpati atasnya. Kami mengambil rute dari area persawahan karena maling sering mengambil jalan pintas melalui sawah dan sering tak terkejar manakala memasuki hutan bambu yang tumbuh lebat di pinggiran sawah.

Tiba-tiba kami di kejutkan dengan tiga bayangan yang tengah tergopoh-gopoh memanggul barang curian. Maling yang lain mengikutinya dari belakang. Tanpa di komando aku dan kawan-kawan langsung berteriak: “Maling-Maling-Maling!.” Suara teriakan kami di dengar oleh mereka, hingga membuat panik dan langsung kabur. Kami seperti kawanan regu SWAT (Special Weapon and Tactic) mengejar dengan langkah ringan berlari di pematang sawah yang sudah kami hafal seluk beluk jalanannya.

Kawanan maling itu tersudut di tanah lapang yang luas, kami mengepung mereka dengan membawa pentungan dari bambu. Tiba-tiba salah satu dari mereka mengeluarkan golok, kami berenam sedikit kaget bahkan diantara kawan kami hendak lari karena tak mau ambil resiko yang lebih besar. Salah satu kawan kami maju menghadang langkah maling yang ingin kabur. Keduanya saling berkelahi mengadu kemampuan. Tapi tak lama teman kami mengerang karena terkena sabetan golok di pahanya. Ia mundur kebelakang sambil meringin kesakitan. “Marko ini bilah bambunya.” Salah satu kawanku berlari sambil melemparkan bilah bambu panjang yang kuat dan sekel. Tanpa pikir panjang aku langsung memukulkan keras kearah maling yang memegang golok. Menggebuk tubuhnya dengan bilah bambu dengan keras. Pergelangan tangan maling itu seperti terkena setrum listrik hingga golok terjatuh ketanah.

Teman-teman kami mulai mengeryok maling-maling itu, sementara aku berhadapan langsung dengan maling pemegang golok. Jantungku berdetak cepat. Keringat dingin mulai keluar. Ini bukan perkelahian biasa. Aku mengayunkan sebuah pukulan kearah wajah nya. Tetapi yang ku terima sebuah pukulan mendarat telak di wajahku. Sontak aku tersungkur kebelakang, rupanya maling itu punya ilmu beladiri. Aku tak menyerah begitu, tanpa pikir panjang aku langsung loncat harimau menerkam maling itu hingga berguling ke tanah. Aku berhasil memukul wajah berkali-kali. Pada saat itu pula sebuah sikutan keras menghantan rusukku, cengkramanku terlepas, kini giliran wajahku yang di bogem mentah berkali-kali. Tetapi kesadaran masih terjaga, aku berhasil memegang tubuhnya dan menghajar perutnya dengan lutut kananku sekuat tenaga. Maling itu mungkin punya beladiri, tetapi aku juga punya tubuh yang kekar dan berotot. Walau begitu mukaku sudah mulai terasa sakit dan panas. Aku memukul mukanya bagian rahang sekali lagi, maling itu jatuh ketanah sambil meringis menahan dua titik sakit di wajahnya juga di daerah perutnya.

Jumlah kami lebih banyak di banding jumlah para maling itu, hingga malam ini kami menjadi pahlawan bagi Desa Kesamen. Sebagian penduduk yang mendengar teriakan kami sudah berkumpul merubung maling yang sudah babak belur. Malah diantara penduduk tersebut begitu girang karena mendapatkan barang curian di tengah sawah di tinggal oleh maling tersebut ketika kepergok oleh kami.

Sebagian penduduk lalu membawa maling itu ke kantor polisi untuk di mintai pertanggung jawaban. Sebelum di bawa maling yang berhasil di tangkap. Aku periksa seluruh tubuhnya dengan senter milik salah seorang teman. Tubuhnya tegap dan berotot. Sekilas wajahnya keras menahan marah yang akut. Aku terkejut melihat tanda Tato Burung Rajawali ada di sekitar pergelangan tangannya. Belum semuanya ku periksa para warga sudah membawa maling itu ke Kantor Polisi. Tepatnya di di Desa Kaligondang. Aku kembali pada kawan-kawan mengobati luka dengan obat-obatan ala kadarnya. Pos ronda di jaga oleh beberapa warga lain dengan membawa golok untuk berjaga-jaga. Aku dan teman-teman pulang ke rumah untuk beristirahat. Hatiku sedikit terobati dengan berhasil meringkus kawanan pencuri di Desaku.

Tetapi tanpa sepengetahuanku dedengkot dari para maling itu sudah berhasil kabur duluan kehutan bambu di seberang sawah. Dedengkot maling itu kemudian lari ke suatu tempat yang sama sekali tidak bisa terdeteksi oleh warga. Ku berharap maling tersebut dapat diadili dan di jatuhi hukuman yang pantas sesuai dengan kejatahatannya. Tiada tebang pilih seperti yang di tuturkan guru PMP di SD dulu. Tajam kebawah dan tumpul keatas. Sejak peristiwa penangkapan maling di desaku, aku semakin jarang bertemu dengan Narman. Bahkan ketika sholat Jumat dan sholat 5 waktu aku tidak pernah melihat lagi batang hidungnya di barisan Sholat.

0 Comments:

Posting Komentar