Minggu, 03 Maret 2019

Titik Balik

BAB 
Tiga Puluh 

Udara sejuk di awal pagi membuat suasana tenang dan nyaman. Saat itu pula Bondan terbangun dari pingsannya. Ia dapati sekujur tubuhnya penuh denan lebam ke biru-biruan. Pelipis matanya sebek dan terasa sangat menyakitkan. Bondan tengah berada di rumah Ibu Baroroh, atas bantuan dari warga. Ibu Kinarsih setelah ikut mengantar kerumahnya ia pun langsung pamit melanjutkan perjalanannya ke Pasar. Sebuah naluri kemanusiaan yang kerap kali menggendor jiwa untuk menolong orang yak tak berdaya. Keduanya belum tahu kalau laki-laki hitam berkumis itu adalah penyebab dari kemelut yang menerpa dua keluaraga itu.

Tubuh Bondan di letakkan pelan-pelan di sebuah bale. Sebuah tiker anyaman daun pandan menjadi alas tidur dengan bantal berwarna hitam. Dengan telaten Bu Bar mengelap luka yang tampak menganga di kedua pelipisnya. Wajah Bondan seperti baru saja di pukuli oleh Muhammad Ali petinju yang telah bersyahadat lewat tangan dingin Malcom X sebagai guru spiritulanya. Tetapi Bondan bukan Muhammad Ali yang bisa menahan pukulan telak dari anak buah Arkon dalam durasi panjang. Bondan memang punya beladiri, tetapi ketika di keroyok bisa babak belur juga.


Bondan jauh-jauh merantau dari negeri sebrang karena alasan keamanan. Kampungnya masih di selimuti genangan darah akibat kerusuhan antar warga yang tidak kunjung menemui titik perdamaian. Entah apa yang di perebutkannya. Dengan alasan keamanan Bondan rela meninggalkan tempat lahirnya merantau ke Pulau Jawa. Padahal di daerahnya kaya akan hutan alam dan penghasil kekayaan melimpah. Bondan merantau ke Jawa dengan perbekalan seadanya. Ia pergi bersama seorang kawan yang kebetulan berasal dari Desa Kesamen yang sudah lama mukim di samping rumahnya. Sedangkan Ibunya menuju rumah saudaranya untuk menghindari kerusuhan. Hampir satu bulan Bondan tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Bondan akhirnya bertemu dengan Farah dan menerima pekerjaan sebagai kaki tangannya untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kotornya. Kini sang perantau itu terbaring tidak berdaya karena penganiyaan yang terlalu berat baginya. Kini mantan anggota Geng Fark bertubuh kekar itu terbaring lemah tak sadarkan diri karena dikeroyok oleh sesama anggotanya.

Pukul 10 siang Bondan terbangun dari pingsannya. Kepalanya terasa berat dan cenut-cenut. Matanya terasa berat untuk di buka, di tambah sebuah luka menganga menambah rasa sakit yang terkira pada lingkaran matanya. Lingkaran di bawah mata membentuk cekungan hitam mirip mata panda. Bu Bar menghampirinya dengan tangan kanan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauknya, sementara di tangan kirinya teh manis hangat.

Bondan menyenderkan tubuhnya pada dinding bambu rumah. Rasa sakit ia lawan. Ia mencoba tersenyum pada Bu Bar yang tengah duduk di tepi bale. Raut muka Ibu Baroroh tampak bersahabat dengan alam sekeliling Bondan. Caranya memandang Bondan bagai Ibu memandang anaknya yang tak pulang selama beberapa tahun ke kampung halaman.

“ Nak bagaimana keadaanmu.” Bu Bar bertanya smabil memandang wajah Bondan dengan teduh seteduh payung ketika jelang terik matahari.

“ Lumayan Bu, saya di mana.” Bondan masih bingung.

“ Kamu di rumah saya, lukamu parah sehingga saya dan temanku di bantu warga membawa kamu kesini.” Jelas Bu Bar.

“ Perkenalkan nama saya Ibu Baroroh, panggil saja Bu Bar.”

“ Saya Bondan Bu.”

“ Nak Bondan sekarang harus makan, biar tubuhmu kembali kuat.” Bondan terdiam untuk sesaat. Dengan gemetar ia mulai makan. Ia teringat perkelahian dengan anak buah Arkon. Hampir saja clurit yang di pegang Arkon membabat perut dan ususnya kalau saja aksi Akon dan temannya tidak kepergok Ibu Kinarsih dan Ibu Baroroh.
***
Seminggu kemudian Bondan nampak lebih segar. Bekas lebam kebiruan nampak pada wajahnya. Jati diri Bondan belum di ketahui oleh Bu Bar, apalagi masalah profesinya. Keberadaan Bondan di rumahnya sudah di ketahui oleh ketua Rt setempat dan pejabat setempat. Pada hari-hari berikutnya Ia tinggal di Masjid dekat dengan rumah Bu Bar. Bondan kerap kali membantu pekerjaan rumah Bu Bar. Atau membawakan barang belanjaan ketika berpapasan di depan Masjid. Bu Bar sering mengantarkan makanan untuk Bondan yang sekarang menjadi Marbot Masjid untuk merawat kebersihan.

Selepas sholat Maghrib Bondan berkunjung ke rumah Bu Bar untuk membantu pekerjaan rumahnya. Aktivitas yang akhir-akhir ini sering di lakukannya. Pulang kampung rasanya belum tepat bila dirinya belum menebus segala kesalahannya. Bondan ucapkan salam sebelum masuk ke rumah dan menunggu pemilik rumah menjawab salam. Kebiasaan ini sudah lama ia tinggalkan sewaktu menjadi anak buah Farah. Kembali ia menemukan jati dirinya yang telah hilang di telan pergaulan dan cara hidup yang jauh dari norma-norma Agama. Bondan merasa sangat rindu dengan kebiasaan seperti ini.

Bondan tidak tahu kalau di rumah Bu Bar sedang ada tamu. Di rumahnya ada Marko dan Ibunya sedang mengobrol masalah Nara yang tak kunjung menemui jalan keluarnya. Senyuman lembut Bu Bar menyambut Bondan yang sedang berdiri di depan pintu. Bu Bar mempersilahkan masuk. Bondan mengekorinya dari belakang.

Bu Bar mengenalkan Bondan kepada Marko dan Bu Kinar. Ketika kedua mata Bondan menatap wajah Bu Kinar tubuhnya langsung gemetar, wajahnya pucat, dari kedua bibirnya mengucapkan istighfar berkali-kali. Bondan mengenali wajah Bu Kinar dengan baik ketika mengintainya bersama Nara di pagi buta.

Bondan langsung teringat peristiwa di awal pagi, bagaimana ia membuntuti Bu Kinar dan Nara selama perjalanan menuju ke pasar. Bahkan setiap gerak-gerik keduanya tanpa pernah terlepas dari pengamatannya. Bondan masih ubingung siapakah mereka sebenarnya. “Apakah mereka ini punya hubungan dekat dengan gadis yang pernah ku jebak dengan duit palsu itu.”

“ Nak Bondan, Marko ini calon menantu saya, tetapi sayang pernikahannya di tunda gara-gara Nara di tangkep Polisi karena di tuduh mengedarkan uang palsu.”

Deg!. Jantung Bondan seperti tercerabut dari tempatnya. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhnya.

“ Jadi Nara Wina puteri Bu Bar. Ya Allah, ampuni hamba yang penuh dosa ini.” Setelah mengatakan hal itu, tubuh Bondan gemetar. Lututnya lemas. Ia bersimpuh di lantai rumah Bu Bar sambil meneteskan air mata.

“ Kenapa Nak Bondan, Bondan mengenal putri saya.”

Bondan mengangguk lemah.

“ Bu Bar, sayalah penyebab putri Ibu di penjara.”

“ Jadi kau yang menjebak Nara dengan duit palsu. Tega-teganya kau Fitnah anakku hah!. Saat ini juga Ibu tak ingin melihat wajahmu sebelum Nara bebas dari penjara, pergi kau!.” Bu Bar naik pitam karena laki-laki yang telah di tolongnya justru penyebab Nara di penjara.

Bondan tertunduk lesu. Penyelesan memucak di dalam dadanya. Ia tak mengira akan di tolong oleh seorang Ibu yang anak telah di jebaknya dengan licik. Ia mulai menangis menyesali kesalahannya.

“Sekali lagi, pergi kau dari rumahku!. Jangan kau injak rumah ini sampai kau bisa bebaskan anakku dari penjara.” Bu Bar memarahi Bondan dengan gemetar. Dan emosi meluap sampai ke ubun-ubun. Setelah itu Bu Bar masuk kamar. Melihat kesedihan dan kemarahan Bu Bar, Bu Kinar menyusulnya ke kamar. Sementara Marko sudah seperti Banteng Matador. Matanya merah menahan marah.

“ Dasar penjahat!. Gara-gara kamu pernikahanku gagal di laksanakan.” Aku mendengus kesal dan marah level 10. Reflek ku tinju rahanya yang keras itu. Bondan sempoyongan. Aku tak memberinya kesempatan untuk membalas. Kegaduhan di luar membuat ibuku keluar dari kamar Bu Bar. Padahal aku ingin memukul mulutnya yang menebarkan fitnah. Tetapi niatku tertahan, Ibuku sudah berteriak mencegahku dari perbuatan aniaya. Ibuku tak ingin melihat aku membuat kesalahan lebih besar lagi.

“ Cukup Marko. Apa kau ingin membunuhnya hah!.” Teriak Ibuku. Kini giliran Ibuku yang tampak tak begitu suka dengan caraku menangani masalah.

Para tetangga yang mendengar keributan ini satu persatu mulai berdatangan ke rumah Bu Bar. Aku tak ingin membuat suasana menjadi gaduh lagi. Ku hentikan amarahku pada Bondan. Nafasku tersengal-sengal. Ku cengkram lengan Bondan kuat-kuat.

“ Sekarang kau ikut aku ke kantor Polisi.” Aku mengangkatnya kasar. Bebarapa tetangga yang datang tak sempat ku ladeni pertanyaanya.

Aku kira Bondan akan memberontak dan melawanku. Tetapi tidak ia lakukan. Padahal bila benar-benar berantem fisik denganku, pasti aku akan mengalami kesulitan mengalahkannya. Di samping tubuhnya yang kekar dan berorotot. Ia juga punya tinggi badan 180 cm.

Bondan makin khawatir dan takut kalau dirinyalah yang menggantikan Nara di penjara. Hati kecilnya memberontak agar terus melangkah bersama Marko yang menurutnya adalah orang paling dekat dengan Nara. Sekarang Bondan mengetahui kemarahan Marko. Ia baru tahu kalau Marko adalaha calon suami dari Nara Wina yang malang. Bondan merasa ada yang mengganjal dalam pikirannya bila mengingat kebaikan Bu Bar. Naluri jahatnya ia tekan sampai tak muncul di permukaan, bahkan ia ingin melenyapkan selama-selamanya.

Bondan merasa inilah awal yang baik untuk membuktikan pada Bu Bar bahwa dirinya akan benar-benar menjadi saksi yang akan membela kepentingan Nara di penjara, akhir hidup yang baik adalah awal baik menuju ke tempat tertingga dalam titik sadarnya. Walau nyawa taruhannya. Bondan bertekad akan mengakhiri semua kebejatan hidupnya dan mulai menapaki jalan hidup yang lebih baik.


Penulis : San Marta
Ditulis  : 2013
Tujuan  : Merekam jejak tulisan agar pembaca tahu progres sebuah tulisan dari waktu ke waktu
Tempat : Deplu Tengah-Bintaro-Jaksel 

0 Comments:

Posting Komentar