Sabtu, 02 Maret 2019

Mimpi Akhir Malam

BAB 
Dua Puluh Lima 


Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Tuduhan itu benar-benar sudah membuat Nara terdampar dalam penjara yang dingin dan gelap. Belum lagi aku dapat kabar dari Polisi Saryo kalau Polisi Marno punya ambisi untuk berbuat yang tidak senonoh dengan Nara. Aku tak mengira sudah satu tahun Nara di penjara. setiap malam aku seperti di cekam ketakutan karena sosok wajah polisi Marno yang pernah di tunjukkan kepadaku kerap hadir dalam tidur malamku.

Suatu malam aku bermimpi Nara di kejar-kejar oleh Polisi Marno di safana yang sepi dan para penjaga berada di titik yang sangat jauh dari jangkauan Nara untuk minta Tolong. Aku melihat wajah Polisi Marno sangat bernafsu untuk menjamah tubuh Nara yang sudah lelah berlari ketakutan menghindar darinya. Dalam mimpiku itu, entah kenapa aku hanya melihat Nara ketakutan minta tolong. Sementara kedua kakiki seperti tertancap kayu yang kuat. Kedua kakiku seperti terserap energi setiap aku berusaha melepaskannya. Aku hanya berteriak menyumpah serapah pada Polisi Marno dari kejauhan. Polisi bejat itu menengok ke arahku dengan tatapan kemenagan.

Polisi Marno sesekali menghampiriku secepat kilat. Lalu terbang bagai burung Elang. Ia tertawa keras, mulutnya terbuka. Aku mencium bau Alkohol dari minuman Topi miring. Aku mengetahuinya ketika Ia balik badan hendak berburu Nara yang semakin lemah karena terkuras tenaganya. Di saku belakangnya terselip botol minuman tak waras dengan simbol Topi Miring. Ia mungkin tahu aku memperhatikan botol minuman memabukkan itu, secara sengaja ia mengambil botol itu dan menenggaknya sambil berjalan. Lalu berlari secepat kilat mengejar Nara di titik kejauhan.


Aku melihat Nara seperti burung yang patah sayapnya, sebentar terbang lalu di saat itu hingga di pohon satu ke pohon lainnya. Lalu jatuh kembali. Sementara Polisi Marno seperti burung Elang mengejar Nara dan mempermainkan kecepatan sesuka hatinya. Aku sendiri merasa aneh, karena dari tempatku berdiri jarak dari Nara dan Polisi Marno sejauh 1 Mil, kedua mata, telinga, serta panca indera lainnya bisa menembus batas jarak pandang normal mata manusia biasa.

Aku hanya menangis ketika menyaksikan tangan Polisi Marno berhasil menyobek lengan baju Nara.

“ Brengsek, Polisi bejat!, kalau berani kita bertarung secara jantan!.” Aku berteriak dari jarak satu Mil.

“ Ha-ha-ha!." Polisi Marno mengejekku dengan kerlingan mata yang menjijikan seperti kanibal yang hendak memakan bangkai mayat seorang gadis yang berpenyakit kusta dan kudis. Tanpa merasa dirinya sedang di awasi olehku dari kejauhan, Ia mencium baju lengan Nara seperti Vampir yang sedang menciumi darah bekas korbannya. Aku tak kuat melihat adegan tersebut. Aku sejenak memalingkan mukaku dari pemandangan yang mengenaskan. Karena Calon Istriku akan di gagahi oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dan pengaman rakyat jelata tanpa senjata.

Aku melolong menangis seperti Anjing kurapan karena tak bisa berobat ke Dokter Hewan lantaran biaya mahal serta bukan dari ras yang berkualiatas. Tetapi lolongan tangisku berubah menjadi tertawa. Karena di saat yang genting dan mengkhawatirkan sebuah tendangan kaki kanan Nara tepat mengenai kemaluan beserta kedua testisnya. Sesaat kemudian, Polisi Marno melolong seperti Srigala yang kesepian merindukan kawan lamanya. Polisi Marno berguling-guling dengan mata tertutup menahan rasa sakit yang tertahankan.

“ Ha-ha-ha, Rasakan itu Polisi bejat!.” Aku tertawa dan berteriak dari jarak 1 Mil, aku percaya kalau dia dapat mendengar.

Sesaat lamanya Polisi Marno menahan rasa sakit sambil terkulai lemas di atas padang safana. Aku mendengar lenguhan sapi-sapi yang menjadi media untuk mengurangi dan mempertajam kepekaan bagi para Napi yang terkena hukuman panjang. Sapi-sapi itu seperti tertawa melihat ketololan Polisi Marno yang tak berdaya dengan tendangan seorang perempuan yang minim pengetahuan tentang ilmu bela diri.

Aku senang bercampur cemas. Ku harap Nara dapat berlari tanpa gangguan dari Polisi Marno yang tak bermoral. Tetapi kedua mataku terbelalak ketika Polisi Marno tiba-tiba sudah berda di belakang Nara dengan kecepatan berlari mirip sprinter jarak jauh. Nara menuju ke sebuah jembatan yang memanjang itu. Nara makin tersudut dan tak banyak jalan keluar dari sergapan tangan kotor. Aku panik dan keluar keringat dingin sekujur tubuh. Kedua kaki Nara pelan-pelan mundur ketepi jembatan itu. Bibir tipis Nara tersenyum indah padaku, aku pun ikut tersenyum. Kedua tangannya melambai padaku seakan mengucapkan selamat tinggal. Aku segera paham akan tindakan yang ia lakukan. Mungkihkan ia akan bunuh diri sebagai pilihan menjaga kesucian dirinya. Dari pada ternoda oleh Polisi Marno yang seperti Monster.

Aku berteriak keras. Tiba-tiba kedua kaki dapat terlepas. Aku melesat berlari kearah Nara yang sedang di bibir jembatan. Dari kedua mataku aku melihat tangan kotor Polisi Marno ingin menangkap tubuh Nara yang mengigil ketakutan. Sebelum tangan nista itu menjamah tubuhnya. Nara sudah cepat kilat menjatuhkan dirinya ke dalam jurang berisi sungai dalam dan batuan cadas yang bisa memotong-motong tubuh Nara. Bila lolos dari batuan cadas, dia akan tenggelam ke dalam sungai.

“ Dasar Perempuan Binal, tak mau tahu di untung.” Polisi Marno hanya melongok ke bawah jembatan, lalu berpaling seperti habis membuang sampah busuk. Kemudian berjalan santai seolah-olah tak terjadi apa-apa. Kini aku dapat berlari secepat kilat kearah Polisi Marno. Jarakku makin dekat dengannya. Aku melompat dari jarak satu mil bagai Singa hendak menerkam tubuh Polisi Marno. Tinggal beberapa inchi lagi aku dapat mencengkram leher Polisi Marno. Tetapi malang, di saat itu pula sebuah timah panas berhasil menghajar dadaku berulang kali hingga aku tak bisa bergerak, tenggorokanku seakan di sembelih oleh golok Idul Qurban.

Polisi Marno tertawa terkekeh-kekeh seperti Mak Lampir yang berhasil mengalahkan sembara dalam laga pertarungan sengit. Ia kemudian mengisi pistolnya dengan peluru penuh, lagi mengokangnya tanpa ekspresi hendak membuat kepalaku berisi butir-butir peluru itu.

“ Dor-dor-dor-dor-dor-dor.” Polisi Marno menembaki kepalaku hingga tak tersisa satupun peluru di pistolnya. Anehnya aku masih sadar walaupun volume nyadar itu makin lama makin mengecil. Kaki kanan Polisi Marno dengan kasar menendang-nendang tubuhku ke pinggir jembatan. Dengan tendangan terakhirnya yang kuat, ia berhasil melemparkan tubuhku dari atas jembatan menuju sungai yang dalam itu.

Tubuhku melayang kebawah deras seperti penerjun tanpa parasut. Satu keanehan lagi muncul, semakin dekat tubuhku ke sungai deras itu. Satu persatu peluru yang berada di tubuhku berhasil keluar dan volume syaraf sadarku makin kuat. Bunyi keras tubuhku menyentuh air, dan tenggelam ke bawah. Sungai yang deras itu berubah menjadi tenang, aku melihat tubuh Nara yang tak bergerak menuju kedasar sungai. Aku berusaha berenang, walaupun di dunia nyata aku tak bisa berenang sama sekali. Sebelum kedua tangaanku berhasil menggapai tubuh Nara. Sebuah pusaran air yang kuat menelan tubuhku hingga ke dasar sungai. Aku berteriak kencang. Di saat itu pula aku terbanguh dari mimpi yang selalu sama pada hari-hari di penjaranya Nara atas tuduhan yang penuh rekayasa.

Mimpi buruk itu seakan menjadi alasan yang menguatakan kalau aku tak bisa terus membiarkan Nara di penjara dalam waktu yang lama. Aku mengartikan mimpi-mimpi itu sebagai fisyarat kalau Nara sedang ketakutan dalam kesendirian yang tak ada ujungnya. Ku harap firasatku salah. Semoga Nara dapat bertahan dari kerasnya hidup di penjara.

0 Comments:

Posting Komentar