Rabu, 27 Maret 2019

Awal Pagi

BAB
Empat Puluh Dua 


Aku dan Nara mengawali pagi dengan tenang. Bila tidak hujan kami berdua sering berjalan menembus kabut tipis pagi yang turun mencium tanah di tengah pematang sawah. Setahun rasanya sudah kami lalui bersama Nara. Akhirnya pernikahan kami berdua bisa berlangsung dengan sahdu. Semua mata yang hadir dalam pernihakan kami berdua menitikkan air mata. Cobaan besar sudah kami lalui menjelang pernikahan. Polisi Saryo juga hadir dalam pernikahan. Luka tertembus peluru di pahanya sudah sembuh.

Bondan di beri keringan hukuman. Setelah menjadi saksi atas kejahatan Farah dan Arkon juga bos besarnya Polisi Marno. Ketiganya kini sedang mendekam dalam jeruji penjara. Dan Nara di nyatakan tidak bersalah, namanya di bersihkan dari catatan kewarganegaraan. Kedua adikku sekarang bertambah dewasa. Ibuku lebih memilih untuk tinggal di rumah. Rupanya racun yang bersemayam di tubuhnya mulai menggerogoti ketahanan tubuhnya. Aku dan kedua adikku bertekad untuk menjaganya sampai helaian nafas terakhir. Walaupun begitu Ibuku tetap melakukan aktivitas jarak pendek setiap hari.

Setiap selesai Sholat Shubuh aku sudah membocengkan Nara dengan sepedaku untuk berdagang ke pasar. Sementara ibu mertuaku menghabiskan masa-masa tuanya di rumah tercintanya. Berkebun, menumbuk padi, menyapu halaman. Bahkan kalau lagi musim panen padi, Ibu mertuaku bersikeras untuk ikut memotong padi dengan ani-ani. Kondisi kesehatannya memang membaik. Tetapi penyakit akibat usia gampang menerpanya bila badan teralalu di paksa untuk bekerja. Kami berdua sering kewalahan menghadapi niatnya.


Bila sedang musim liburan sekolah. Aku dan Nara berangkat lebih pagi pergi ke pasar. Biasanya anak-anak sekolah dari orang gedongan sering jalan-jalan dan membeli jajan untuk di bawa pulang kerumah. Matahari belum tinggi benar, kami berdua sudah siap-siap berkemas untuk pulang kerumah. Atau duduk-duduk sebentar di bawah pohon beringin yang rindang sambil makan bubur kacang hijau yang lezat. Kami berdua selalu tertegun bila melihat penjara Purbalingga yang dulu begitu menyeramkan sekarang berubah menjadi begitu banyak di kunjungi oleh manusia. Tidak hanya dari penduduk lokal Purbalingga yang ingin melihat mayat-mayat membeku yang bersejarah itu, tetapi juga dari berbagai penjuru dunia yang ingin melihat kejaiban yang tersimpan di kota kecil Purbalingga.

Berita tentang ruangan bawah tanah di Pubalingga begitu melesat cepat ke rumah-rumah penjuru dunia. Pagi itu selepas berdagang dari pasar, sedang duduk-duduk berdua sambil makan bubur kacang hijau. Kami berdua di kejutkan dengan segerombolan orang yang membawa benda yang bisa memancarkan cahaya. Segera bayangan pertempuran itu terbayang kembali, lalu ku tarik lengan Nara agar menjauhi orang-orang yang sedang membawa benda aneh itu. Langkah kami di cegat, dan mereka mulai melakukannya lagi. Membuat cahaya yang menyilaukan mata kami berdua. Sebauh motor berhenti tak jauh dari kami. Kami merasa lega, Polisi Saryo datang dengan dua orang anak buahnya.

Polisi Saryo kemudian memberi pengertian kepada kami berdua kalau mereka adalah wartawan yang ingin mewawancarai seputar penemuan ruang bawah tanah. Syukurlah Polisi Saryo yang baik hati itu tetap di samping kami berdua. Dia membantu kami menerjemahkan pertanyaaan-pertanyaan dari orang-orang Bule. Mungkin untuk National Geografic. Aku tak tahulah. Wartawan lokal juga tak kalah bahagiannya mendapati nara sumbernya adalah warga indonesia yang telah menjadi saksi sejarah dunia.

Bulan berikunya ketika Nara sedang hamil, aku dan Nara di undang ke Alun-alun untuk menemui masyarakat yang hadir dari luar negeri Indonesia. Kumpulan orang-orang di alun-alun Purbalingga seperti lautan. Mereka ingin menyalami kami berdua. Salah satunya dengan kawalan ketat dari aparat, Istri dua Polisi dan Bupati turut mengucapkan rasa terimakasih. Kerena telah menemukan jasad suaminya. Kebanyakan dari mereka mereka orang-orang Belanda dan Jepang. Bule-Bule dari negara lain juga ingin melihat siapa sebenarnya penjaga ruangan bawah tanah dari tangan-tangan kotor.

***
Penjara Purbalinga tetap berdiri kokoh. Sistem penjara di rubah menjadi lebih manusiawi. Tak ada lagi perbudakan di penjara. Semua sipir penjara di ganti. Penjara Purbalingga lebih di kenal oleh kalangan dunia. Terutama dengan ruangan bawah tanah. Lama-kelamaan atas desakan dari aparat kepolisian akhinya ruanagan bawah tanah di perketat penjagannya. Masuk ke ruangan bawah tanah sudah melalui pemeriksaan yang ketat. Warga sipil biasa yang tak punya kepentingan akan menemukan kegagalan bila ingin melihat.

Kami mendengar kabar kalau Polisi Marno mendapatkan hukuman lebih barat lagi karena menjadi tersangka utama dalam kematian Bupati Purbalingga beserta anaknya. Kini kabarnya di pindahkan ke Nusa Kambangan dan di asingkan agar ide gilanya tak menular pada orang lain. Kereta pengakut mayat korban pembunuhan juga menjadi objek wisata yang unik sekaligus menyeramkan. Arkon sahabatku dulu tenyata mendapat hukuman lebih berat lagi setelah mengakui perbuatannya telah memutilasi seorang wanita mantan pacarnya. Aku tak mengira kalau Arkon bisa sesadis itu.

Desa Kaligondang berjalan normal kembali bahkan lebih normal. Setelah mencekam karena teror dari geng Fark. Semuanya terlihat indah, para pedagang sudah berani berangkat pagi-pagi buta. Berita maling di desaku, jarang terdengar. Pos-Pos Ronda banyak berdiri untuk mengantisipasi kejahatan yang mungkin terjadi kembali.

Nara kembali mendapatkan tempat di hati masyarakat setelah lama menjadi bulan-bulanan fitnah. Dengan kesabarannya dia berusaha menjelaskan duduk permasalahannya kepada Lurah agar warga masyarakat tak lagi mencibirnya. Semunya di lakukan agar kebenaran menjadi terang benderang. Aku dan Nara memang tak bisa memaksakan kehendak kepada beberapa warga yang terlanjur membenci segala tindak tanduk kami. Kami berdua berusaha bersabar. Karena perjalanan hidupku dan Nara baru akan di mulai.

Sangat berbeda. Di beberapa tempat di dunia kami di sanjung tetapi di desa Kaligondang oleh beberapa warga seperti veteran pembunuh bayaran yang tobat. Dunia ini banyak orang yang terbalik cara pandangnya terhadap dunia dan tempat tinggalnya.

Nara menolak semua hadiah yang di berikan oleh orang-orang yang bersimpati atas peran utama dalam menemukan rahasia ruang bawah tanah Purbalingga. Aku menjumpai ketika sore hari, ketika aku kembali dari mencangkul kebun untuk kutanami pohon singkong. Seorang Bule datang dengan Polisi Saryo menuju kerumah Nara. Polisi Saryo dengan sabar menerjemahkan kepada orang Bule kalau Nara tak mau menerima barang apapun sebagai hadiah. Mereka mungkin cicitnya atau yang masih punya hubungan darah dengan mayat yang terbuju kaku di bawah suhu yang amat dingin. Yang kutahu sekarang adalah ruangan bawah tanah yang menyimpang ribuan mayat itu kini dindingnya di ganti dengan kaca tebal berukuran satu meter lebih. Agar para wisatawan/ti dapat melihat rupa-rupa wajah Bule atau Jepang yang tergolek dengan wajah pucat.

Aku tak ingin membuat suasana jadi lebih kacau, maka aku hanya duduk di samping Nara sambil terus memperhatikan Polisi Saryo yang sama sekali tak kumengerti apa yang sedang di bicarakan. Para tetanggaku langsung memenuhi halaman rumah kami. Mobil-Mobil khas eropa sedang terparkir mulus di sana, seorang tetangga yang begitu matre terpaku melihat Mobil tersebut dan mengelus-elusnya bagai ayam yang hendak di sembelih untuk menemani ketupat di hari lebaran.

Sejam berlalu. Para Bule itu akhirnya membawa kembali hadiah-hadiah mereka untuk di bawa ke kampung halamannya. Mobil-Mobil itu tampak membelah kerumunan warga yang begitu ngiler ingin memiliki barang tersebut. Sekedar untuk jalan-jalan di pinggir sawah, atau untuk membawa padi sehabis panen.

“ Na, kenapa kamu tidak mau menerima hadiah dari orang-orang Bule itu.”

“ Mereka sudah menjajah kita selama 350 tahun dengan segala kelicikan dan ambisinya. Aku belum siap menerima mereka dalam hatiku. Darah indonesiaku belum cair betul. Aku masih bisa merasakan perjuangan Jendral Sudirman dalam perang gerilya melawan kompeni sialan itu.”

“ Tetapi kita sudah tidak dalam keadaan perang Na. Dan bisa jadi para Kompeni menjajah tak sampai ratusan tahun, mungkin hanya puluhan.” Aku mencoba berdebat dengannya.

“ Aku yakin mereka masih menyisakkan rasa penasaran dengan bangsa Indonesia. Dan mereka masih ingin bercokol di negeri kita ini. Mungkin saja mereka masih mendendangkan perang walau secara kasat mata kita tidak lagi berperang dengan Bule itu.”

“ Kita sudah merdeka Na.”

“ Tetapi bisa jadi mereka belum mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia sampai kapanpun. Hingga Ibu pertiwi benar-benar jatuh takluk di bawah kakinya.”

“ Dari mana kamu belajar hal tersebut.”

“ Dari duni yang runtuh, sudahlah kita tidak usah berdebat kiamat sudah dekat.” Aku tertohok dengan ungkapan terakhir. Tak lama kemudian Polisi Saryo minta pamit untuk pulang. Aku dan Nara mengantarkan sampai depan rumah.

“ Kamu patut bangga Marko, Istrimu cerdas, punya harga diri, dan tentunya darah merah Indonesai tertanam kuat mengalir seluruh tubuhnya, Nara seperti gadis merah saga. Kau harus bangga.” Polisi Saryo menepuk bahuku dan naik motor berpelat kuning.

Ia menoleh ke arah kami sebelum memacu kuda besinya.

“ O ya satu lagi. Kalian jangan kaget. Peristiwa empat tahun lalu yang menimpa istrimu. Dalangnya tidak hanya Farah. Tetapi Polisi Marno yang sebenarnya yang paling besar perannya dalam “kecelakaan” yang menimpa Nara. Benar memang kalau Farah ingin balas dendam karena kamu tolak cintanya. Dan sebenarnya Polisi Marno adalah adik kandung dari Ibunya Farah alias paman dari Farah. Maaf kalau saya baru cerita sekarang.”

“ Lalu Arkon alias Narman.” Selidikku, apakah dia mata-mata.

“ Aku belum tahu, Narman masih dalam penyelidikkan. Kalau kasus mutilasi yang di lakukannya Narman sudah mengakui dengan jujur di Pengadilan.

“ Tetapi penangkapan istrimu membawa persoalan seluruh jajaran Polisi makin ringan, dia membawa keberuntungan bagi kami para Polisi. Ruang bawah tanah yang ku kira sebagai mitos, berkat penemuannya secara tidak di sengaja sudah merubah wajah Purbalingga sebagai saksi sejarah yang besar.”

Aku mendesah dan berdiri di depan pintu, sambil merangkul Nara. Aku tak ingin kedamaian yang baru kurasakan lenyap karena khawatir di minta kembali untuk membantu menyelesaikan masalah Polisi Saryo dan jajaran Polisi lainnya.

“ Soal mayat bersejarah itu, apakah itu benar-benar ada atau hanya rekayasa dari Polisi Marno.” Nara bertanya.

“ Nah, itu juga yang ingin ku ceritakan. Gara-gara ingin membantu menyenangkan hati Farah dengan melakukan kejahatan kepadamu. Polisi Marno malah mendapatkan kerugian dan kejahatannya terbongkar. Bisnis menjual mayat ke luar negeri menjadikannya dia kaya. Tetapi hal itu tak berlangsung lama karena kamu secara tak sengaja menemukan mayat-mayat bersejarah dalam suatu ruangan rahasia. ”

“ Aku masih bingung Pak, semua itu benar-benar terjadi atau hanya rekayasa. Mungkin ada orang oknum yang ingin melemahkan pemerintahan kota Purbalingga.” Sering bicara dengan Polisi membuatku punya kosa kata yang berkaitan dengan hukum. Padahal kalau Polisi Saryo tanggap, karena aku hanya mengulangi kata-kata Nara barusan.

“ Bicara mu makin pintar saja Marko. Semua itu nyata dan benar-benar terjadi. Dengar baik-baik. Kecelakaan itu ada yang bisa di buat dan ada yang benar-benar murni terjadi. Di dunia ini semua kemungkinan bisa terjadi. Tetapi bila Tuhan sudah berkehendak, sebaik apapun makar yang di lakukan manusia tetap bisa di lumpuhkan.” Polisi Saryo jadi seperti kyai yang sedang berceramah.

“ Wah bapak lebih cocok jadi penceramah dari pada jadi Polisi.” Nara mengeluarkan Joke-nya.

“ Oh gitu ya. Bisa saja kamu Na. Terimakasih atas jamuan kalian. Jaga itrimu baik-baik ya!.” Polisi berlalu sambil melambaikan tangan. Polisi Saryo kini kuanggap sebagai abangku yang punya moral dan dedikasi tinggi terhadap nilai-nilai moral keadilan. Aku dan Nara kaget melihat Polisi Saryo balik lagi menemui kami berdua. Dengan wajah serius dan mimik seorang Polisi benar-benar terbaca.

“ Maaf Marko, saya baru ingat, mungkin kami akan membutuhkan bantuan Nara soal Kastil tersebut. Ku harap kau juga bisa ikut bila kami para Polisi membutuhkan. Dan kalian harus hati-hati walaupun Polis Marno sudah di penjara tetapi dia masih bisa menggerakkan orang dari dalam penjara untuk melakukan pembalasan terhadap kalian. Jangan khawatir aku juga tak akan tinggal diam dan akan melumpuhkan anak buah Marno sampai tidak tersisa, tetapi semua itu butuh penyelidikan yang lebih mendalam.”

Setelah mengatakan hal tersebut Polisi Saryo berlalu dari kami berdua tanpa memperdulikan pendapat kami. Aku dan Nara masuk kerumah dengan pikiran yang mulai menghantui tidur kami. Pertanyaan menggunung seperti: “Untuk apa orang jahat di penjara kalau masih bisa melakukan kejahatan.” Hmmm Penjara bukan akhir perjalan.

0 Comments:

Posting Komentar