Selasa, 05 Maret 2019

Dunia Lain

BAB 
Tiga Puluh Enam 

Sudah setengah jam mereka ngobrol. Nara dan Anis memutuskan meninggalkan pengawal yang tergeletak pingsan oleh pukulan Nara. Sepanjang pembicaraan hidung Anis selalu di pencet karena tak tahan dengan bau bangkai.

“ Na, tadi tempat apa, baunya seperti bangkai.”

“ Tempat itu gudang mayat bekas kecelakaan, bunuh diri, dan peluru nyasar. Belum lama tempat itu di kosongkan tetapi tetap saja bau bangkai.”

Nara bergidik dan merinding.

“ Dasar kau Na. Ngga bilang-bilang.”

“ Ini penjara Nis, segala sesuatu bisa saja terjadi.”

“ Katanya di penjara ada hotelnya Na, benar ngga.”


“ Bisa jadi, tinggal duitnya saja. Dengarkan aku baik-baik, segala sesuatu bisa terjadi di penjara ini. Penjara itu hanya sebagai tempat “rekreasi” bagi orang-orang yang berduit. Hukum di sini dapat di beli. Paham kau Nis.”

Anis mengangguk.

“ Sekarang kamu ikut aku. Akan ku tunjukkan sebuah ruangan yang bisa menyelamatkan kita berdua dari cengkraman para sipir penganggu.”

“ Ruangan rahasia, maksud kau ingin kabur begitu.”

Nara mengangguk mantap.

“ Tapi...” Anis ingin mendebat. Bibir Nara lebih cepat mengeluarkan kata-kata.

“ Jam istirahat masih panjang. Para Sipir masih sibuk dengan perut mereka. Tapi ada satu syarat yang perlu kau patuhi, jangan sampai bocor ke tangan Polisi bejat tak bermoral.”

“ Kenapa Na.”

“ Semua pihak yang mengetahui ruangan ini akan kena batunya Nis, karena memberi tahu tempat rahasia itu kepada salah seorang tahanan. Kalau perlu nyawa kita sebagai taruhannya.”

“ Jangan khawatir Na, aku juga sudah ingin bunuh diri.” Anis seperti berguman.

“ Apa Nis bunuh diri. Kamu udah sinting ya. Ingat pelajaran guru ngaji kita dulu bahwa: orang yang bunuh diri itu akan mendapatkan tempat yang buruk di akhirat. Bunuh diri juga menampakkan konsep diri yang lemah tentang dirinya dan juga lingkungan sekitar. Kamu harus ingat kata guru ngaji kita Nis.”

Anis tersenyum pahit mendengarkan nasihatnya yang seperti terpendam dari dalam lubuh hati yang dalam.

Nara mengajak Anis ke sel tahanannya. Setelah lolos dari pengawasan sipir. Tak ada CCTV yang bisa merekam jejak mereka berdua. Ini penjara daerah tetapi punya daya misteri yang luar biasa. Hingga mungkin suatu saat dapat menjadi pusat perhatian dunia. Nara merupakan penghuni tunggal sel dalam penjara, hingga ia bebas mekukan aktivitas sendiri di dalam sel.

Sel yang mengurung Nara adalah sel terunik dimana ada foto presiden. Di sel yang lain tidak ada foto seperti itu.

“ Nis kau lihat foto siapa itu, jangan kau katakan lupa.”

“ Aku tahu, foto itu bukannya seorang presiden.” Tampak ragu.

“ Nilai sejarahmu berapa.”

“ Aku jarang ke ruang kepala sekolah semenjak kelas 6, jadi lupa.”

“ Kenapa.”

“ Horor, temanku pernah menjadi korban pelecehan dari oknum kepala sekolah yang tak bermoral itu.”

“ Nis, tidak semua kepala sekolah punya reputasi buruk tentang prilakunya kepada murid-murid perempuan yang cantik.

“ Aku hanya waspada saja.”

“ Dasar.”

“ Na, aku tak pintar mengingat gambar.

“ Sekarang kamu lihat.”

Nara mendekat ke bawah foto presiden. Dengan memakai bantuan kursi, tangannya menggeser foto presiden itu ke arah kanan. Tiba-tiba lantai terbuka dan ada anak tangga di bawahnya. Kedua mata Anis mendelik melihat kejaiban yang baru saja di lihatnya. Anis ingin menjerit sebagaimana kebiasaannya ketika menemukan dan melihat hal-hal yang ajaib. Nara turun dari kursi dan meletakkan kembali kursi itu ke tempat semula.

“ Nis ayo kita masuk sebelum jam istirahat habis. Kalau kita ketahuan bakal menjadi bulan-bulana sipir tak bermoral itu.”

Anis masih terdiam, mungkin shock melihat hal yang ajaib itu.

“ Malah bengong, ayo!.” Tangan kanan Anis di tarik paksa. Anis tak sempat berontak kedua kakinya sudah menyentuh anak tangga hingga menginjak lantai bawah. Nara menarik tuas pada anak tangga. Hal yang ajaib terjadi. Anak tangga naik keatas dan menutup rapat secara teratur dan membentuk lantai yang sama dengan ruangan sel. Nara dan Anis melanjutkan petualangannya dengan membawa obor yang telah di persiapkan untuk perjalanan menembus lorong-lorong. Untuk sekarang tak di perlukan, tempat ini terang walau tak benderang. Entah dari mana cahaya itu.

Di luar sel. Para tahanan belum kembali dari istirahatnya. Seluruh sel masih sepi dari penghuni. Sel ini mirip kandang Harimau yang hendak bertarung dangan para Gladiator untuk menyenangkan seorang Raja baru yang tak tahu cara memimpin rakyatnya.

Nara kembali menelusuri jejak yang telah di tunjukan oleh sipir pendiam. Sebelum masuk kedalam terowongan panjang. Kembali Anis di buat kagum melihat pemandangan yang maha indah, sebuah padang safana yang terbentang luas. Disana tampak para tahanan sedang menggembalakan sapi sambil duduk-duduk di sebuah pohon besar.

“ Na Aku baru tahu di balik tembok tinggi nan besar ini ada sebuah pemandangan indah yang belum pernah ku lihat. Ada Kastilnya lagi, padahal aku sering melewati tempat ini. Penjara ini seperti kehidupan yang bisa menembus ke dimensi lain.” Anis terkagum-kagum melihat pemandangan indah ini.

“ Aku juga Nis, ketika baru mengetahui penjara ini. Padang safana dan Kastil itu tertutup oleh tembok yang menjulang tinggi keatas seperti hendak menyentuh langi. Satu lagi Nis, yang bisa menikmati tempat seperti itu adalah orang-orang yang sudah lulus dalam sebuah ujian. Ujian “fisik” dan juga ujian mental kita sebagai seorang perempuan. Kamu lihat para penggembala itu rata-rata wanita muda yang tampak riang kita lihat. Tetepi mereka sangat tersiksa lalu akhirnya banyak yang bunuh diri. Dunia luar banyak yang tidak tahu tentang soal ini.”

“ Maksudnya Na.”

“ Tiap sebulan sekali mereka harus rela tidur dengan kepala sipir di penjara, baru mereka dapat kembali menikmati suasana safana yang indah itu. Kamu lihat tadi di kejauhan ada kastil yang bercat putih dan menara tinggi. Wanita-wanita itu akan tidur di dalamnya dengan fasilitas mewah.”

Mereka berdua mulai memasuki lorong.

Anis diam sejenak sambil terus mengikuti Nara menyusuri lorong gelap. Nara sudah mempersiapkan sebuah obor yang di persiapkan sebelumnya.

“ Kastil yang kamu maksud itu apa Na.”

“ Kastil itu tempat tinggal bagi siapa saja yang sudah kehilangan orientasi hidupnya dan menyerahkan sebuah kehormatan dirinya dengan harga murah. Tempat semacam itu harus kau jauhi. Jangan sekali-kali kau berpikir untuk tinggal disana. Aku mendapat informasi itu dari seseorang yang sudah lebih dulu masuk penjara ini. Kamu paham sekarang Nis.”

“ Nis!.” Nara berucap sekali lagi.

“ Ya Na.” Anis tergagap menjawab pertanyaan Nara. Pikiran Anis sedang berkecamuk mendengar kisah Nara.

Nara lalu berhenti di sebuah ruangan yang dulu sempat ia sholat di dalamnya. Nara menarik lengan Anis untuk masuk bersamanya. Nara meraba-raba sebuah batu. Lalu muncullah sebuah obor yang belum nyala. Nara memberikan obor itu kepada Nara setelah di nyalakan melalui obornya. Tanpa sengaja Nara menyentuh sebuah tombol lain yang terbuat dari batu. Sipir pendiam itu rupanya tak memberitahukan semua tempat-tempat rahasia kepada Nara. Sebuah pintu terkuak. Keduanya berpandangan lalu tersenyum layaknya anak kecil menemukan tempat mainan.

Keduanya lalu masuk kedalam ruangan yang masih gelap hanya ada sinar kecil jauh di atas sana, setelah mereka masuk pintu besar terbuat dari batu itu langsung menutup. Keduanya kaget hampir pingsan, karena pintu tiba-tiba menutup dengan sendirinya.

“ Na gimana ini, aku tak ingin mati sebelum bertobat. Aku memang telah membunuh tetapi aku terpaksa ya Allah.” Tiba-tiba Anis seperti ketakutan menghadapi malaikat maut. Sementara Nara sedang mencari sesuatu untuk bisa membuat terang tempat ini tak mendengar jelas apa yang sedang di ucapkan oleh Anis.

Kedua obor yang di pakai untuk menerangi tiba-tiba mati. Anis makin ketakutan. Nara mencoba mengatasi kekalutan ini. Seekor nyamuk besar menggigit tangan Nara. Spontan ia menepuknya dengan keras, lalu sebuah cahaya besar dari lampu neon panjang menyala satu persatu. Nara cepat mengerti, ia kemudian bertepuk sekali lagi. Dan lampu neon itu satu persatu kemabali mati. Seperti anak kecil Nara kemudian mengulangi kembali tepuk tangan sekali lagi. Maka ruangan itu kembali menyala.

Nara tak mengira dapat melakukan sesutu yang menakjubkan. Padahal di rumahnya tak menemukan cahaya sebesar ini. Sebuah cahaya yang menurut orang sekolahan kalau nyala itu berasal dari listrik yang mengaliri ber kilo-kilo watt. Anis begitu histeris begitu ruangan bercahaya bagaikan cahaya-cahaya lampu di bulan Ramadhan. Semunya begitu membuat mata keduanya membelalak. Nara dan Anis sekarang berada di sebuah ruangan besar yang berubin marmer serta berdinding purba.

“Na, ini seperti di duni lain. Dunia yang sama sekali kita tidak kenal. Duninya para mahkluk langit yang turun ke bumi untuk memberantas manusia yang tak menghormati alam.” Begitu seloroh Anis. Ia melupakan sejenak kejadian tragis yang membuatnya masuk ke penjara.

“Benar Nis, ini seperti ruangan operasi bayi-bayi haram hasil hubungan tak bermoral seperti yang ku lihat ketika menjenguk teman sekolah yang cesar karena hamil di luar nikah.” Jawaban Nara membuat Anis melotot.

Keduanya berjalan menuju cahaya yang lebih terang. Kepala mereka terbentur benda di depan. Sebuah benda terbuat dari kristal tebal hingga 10 meter menghalangi langkah keduanya. Nara mencoba menepuk tangannya tetap tak ada reaksi. Bertepuk tangan, bersiul, bahkan berteriak, tembok lebar, besar, dan tebal itu tak bergeming. Nara dan Anis mulai mencari cara lain agar bisa membuka tembok kaca yang di taksir sebagai pintu masuk. Nara menemukan sebuah lobang kecil seukuran tongkat obor. Nara mencoba memasukannya, ternyata sesuai.

“Nis coba kau cari ada lobang tidak di sekitar kamu.”

“ Coba lihat apakah ini lubang yang kau maksud.”

Nara menghamipiri Anis. Wajahnya cerah.

“ Tak salah lagi Nis, coba kau masukkan tongkat obornya. Kita tunggu reaksi apa yang akan terjadi.”

Nada gemuruh tiba-tiba terdengar. Kaca tebal terbuka dengan menarik keatas. Nara dan Anis berpelukan girang bukan main. Nada gemuruh tak terdengar. Nara dan Anis mulai masuk kedalam menuju ke cahaya yang lebih teranng. Keduanya makin memasang sikap waspada. Kulit-kulit keduanya tiba-tiba meraskan sebuah hawa dingin yang maha dahsyat. Anis yang tak tahan dengan hawa dingin yang tak mempan di lawan langsung bersi-bersin. Nara tak suka dengan respon karena ini ruangan bisa saja sebuah jebakan yang mematikan.

“Nis, tahan bersinmu.” Tegas Nara.

“ Aneh, bersin kok di tahan.” Anis menatap Nara kesal.

Langkah mereka semakin dekat dengan ruangan pendingin yang luas. Keduanya harus melangkah di bawah hembusan hawa dingin yang menggigit tulang. Jalan itu berujuang pada sebuah ruangan yang lebih besar. tampak ada ranjang-ranjang yang terbungkus dengan plastik bening. Hawa dingin terus berhembus seakan mencegah benda yang terbungkus dengan plastik itu agar tidak membusuk.

Nara dan Anis mendekat penasaran benda apa yang terbungkus plastik itu, sementara hawa dingin benar-benar di bawah nol derajat. Keduanya harus berjuang keras untuk bertahan dari dingin yang terlalu ekstrim ini.

Tiba-tiba Anis berteriak kencang dan langsung pingsang. Untunglah tangan Nara sigap menangkap tubuh Anis agar tak membentur ubin yang keras itu. Nara juga kaget seperti di hantam tronton berkekuatan besar dan kuat, di depannya ada sebuah mayat yang sangat di kenalinya. Bupati Purbalingga yang di kabarkan di culik ternyata telah di bunuh oleh tangan profesioanal hingga jejaknya tak terendus, bahkan Polisi sendiri tak bisa melacaknya. Mungkin keluarga Bupati sudah melupakan karena kejadiannya ketika Nara masih kecil dan hanya melihat foto besarnya di pajang di ruang Kepala Sekolah setelah foto sang presiden dan wakilnya.

Nara meletakkan tubuh Anis di lantai. Sementara Ia berkeliling di sepanjang ranjang-ranjang yang berisi mayat puluhan ribu. Ruangan itu seperti terletak di ujung dunia lain. Kedua kaki Nara seperti habis maraton terasa pegal dan melelahkan. Baru seperempat ruangan yang ia kelilingi. Kepalanya terasa pening melihat pemandangan yang mengerikan dimanan ranjang-ranjang itu di penuhi dengan mayat yang telah membeku seperti batu es. Kedua lengan di sedekapkan. Nara terpaku sebenter di depan banyak mayat yang asing baginya. Ia pernah melihat baju seragam yang di pakainya di buku pelajaran sejarah.

Nara seperti melampau di mensi waktu. Sosok di depannya adalah seorang jendral Belanda yang masih lengkap dengan seragam. Di bagian pinggang ada sebuah senjata yang masih tersarung, di kepalanya juga masih ada topi khas seorang jendral. Lalu di lihatnya memanjang di antara ranjang-ranjang itu ribuan mayat berkostum tentara Jepang, Belanda, lengkap dengan seragamnya.

Anis terbangun dari pingsannya berusaha untuk berdiri. Tangannya memegang pinggiran ranjang yang terbalut dengan kain berbau aneh. Kepalanya tarasa pening sekali. Ia terhuyung dan ingin jatuh tanpa sengaja ia memegang sebuah tuas yang berada di pingir ranjang. Tuas itu seperti menggerakkan ranjang itu dengan cepat. Kemudian ranjang itu terbalik, dan menghadirkan pemandangan yang mengerikan. Mayat yang telah membeku itu terbalik dan di ganti dengan mayat lain yang ternyata ada di bawah ranjang. Anis menjerit ketakutan. Karena melihat ranjang-ranjang lain yang berada di jalurnya ikut juga terbalik. Nara yang sedang memeriksa mayat-mayat membeku itu terkejut mendengar teriakan Anis. Ia pun menghampirinya.

Nara benar-benar shock di hadapanya ada mayat-mayat lain yang tersembunyi di bawah ranjang. Nara menyimpulkan kalau tempat tidur itu terdapat empat mayat. Dua diatas dan dua di bawah. Berarti jumlahnya makin banyak.

Rasa dingin yang terus menusuk tulang membuat Nara dan Anis memutuskan untuk keluar dari ruangan rahasia yang menakutkan itu, ruangan rahasia yang ternyata sebagai gudang penyimpanan mayat-mayat dari jaman belanda dan jepang. Juga ratusan tokoh yang terkenal dengan pelindung dan pengayom rakyat ikut juga menjadi terbujur kaku di dalam ruangan itu. Nara menyimpulkan kalau jumlahnya kira-kira 1000 mayat lokal, Belanda dan Jepang.

Mayat yang terbaru adalah seorang Bupati dan Putranya yang membujur kaku, pucat dan menakutkan. Bupati itu bahkan masih memakai sarung, peci, dan baju koko. Begitu juga dengan putranya.

Seluruh dunia belum tahu akan keberadaan mayat-mayat yang mungkin di rindukan oleh anggota keluarganya. Penjajahan Belanda dan Jepang atas bumi pertiwi Indonesia sudah lama berakhir. Tinggal tekanan “moral” yang terus menghantui penduduk Indonesia sampai sekarang. Untuk apa mayat-mayat itu di awetkan dalam suhu yang sangat dinngin. Saksi sejarah siapa yang mengetahui semuai ini. Ternyata di balik tembok besar penjara Purbalingga ada rahasia besar yang belum terjamah, juga ada jembatan panjang yang menghubungkan dengan pulau Nusa Kambangan yang belum di ketahui oleh seluruh penduduk Purbalingga juga seluruh mata dunia.

Selain itu ada padang safana yang begitu menyejukkan pandangan. Ketiga pemandangan itu belum di ketahui oleh penduduk Purbalingga yang belum pernah masuk ke penjara, melihat tembok itu saja sudah mengerikan apalagi niat untuk masuk kedalamnya. Tembok penjara Purbalingga itu di buat dari batu hitam dengan campuran butir batu koral langsung dari gunung Slamet. Keempat, misteri ini bagian dari kecelakaan yang di rekayasa untuk kepentingan pribadi. Atau jangan-jangn semua keganjilan sebuah kebetulan untuk melakukan Kudeta merangkak terhadap pemerintahan Jawa Tengah.

Nara dan Anis mencabut kembali tongkat obornya. Pintu besar, lebar, dan tebal itu turun menyentuh kebawah. Rasa hangat pelan-pelan merayap ke tubuh Nara dan Anis. Nara mencari-cari batu yang di taksir sebagai tombol rahasia. Tangan lentik Nara menemukan satu batu yang agak menonjol. Ia putar tetapi keras bukan main. Nara mencari lorong lain. Matanya menagkap sebuah lorong gelap kira-kira seratus meter dari pintu keluar yang telah gagal di bukanya.

“ Nis kita coba melewati lorong itu, kita harus terus bergerak. Sipir penjara itu mungkin sudah sadar kalau tahanannya ada yang kabur.”

“ Baiklah terserah kamu sajalah. Kepalaku masih pusing.”

Sampai di mulut lorong. Nara meraih korek di kantong bajunya. Kedua obor nyala kembali. “ Syukurlah, ku harap tidak mati mendadak seperti tadi.” Ada nyala obor menyala di titik jauh 500 meter. Terlalu jauh bagi lensa Nara dan Anis. Giliran kaki Nara serasa di gigit serangga besar, reflek tangan kanan Nara menepuk dengan keras. Suara tepukannya memantul keras. Ruangan tiba-tiba gelap. Nara mencoba sekali lagi dengan menepuk lengan kanannya tetapi tak ada reakasi. Begitu juga dengan menepuk kakinya keras-keras. Nara tak berani mengambil selimut barang sepuluh buah untuk melindungi tubuhnya dari rasa dingin yang terlalu mengigit. Baginya akan merusak nilai sejarah. Biarkan selimut itu tetap berada di tempatnya.

“ Aneh ini tempat. Datang dan perginya kode membuka ruangan tak bisa kita tebak. Kode itu seperti hantu saja: Datangnya ngga di undang perginya juga ngga di antar.” Nara mengguman. Anis yang masih pusing tak bisa menggubris perkataannya.

Tenaga mereka terkuras ketika sampai di bawah obor yang menyala terang. Keringat keluar dari seluruh pori-porinya. Dingin tak lagi mereka rasakan. Rasa haus mulai menjalari kerongkongannya. Nyal obor keduanya meredup kehabisan minyak.

“ Kita istirahat dulu Na. Kakiku seperti patah.” Pinta Anis.

“ Kakiku juga Nis.”

“Kita teruskan perjalanan nanti saja setelah badan segar, aku yakin para sipir penjara sudah kebakaran jenggot kehilangan jejal kita.”

“ Mayat-mayat membeku itu.”

“ Mudah-mudahan bisa menjadi pemandangan yang bagus, kita bisa keluar dari penjara karena telah menemukan ruangan rahasia yang menakjubkan sekalugus mengerikan. Allah telah membimbing setiap langkah kita.”

“ Aku setuju Na.” Jawab Anis sambil ngos-ngosan.

“ Nis bukannya tadi ada putra bupati, kenapa kakinya tidak buntung.”

“ Itu kakak sulungnya. Tak lebih bejat dari adiknya, tetapi yang ku sesalkan kenapa Bupati baik hati itu menjadi korban keserakahan dan kekuasan lain.”

“ Maksdunya.”

“ Semacam menjadi tumbal.”

“ Aku tak tahu Nis.”

Nara kemudian diam. Masalahnya lebih besar dari pada mengurusi putra bupati yang bejat itu. Nara lalu menceritakan kalau ada ruangan yang akan menuju ke duni luar dan sebuah lorong yang akan menuju ke sebuah ruangan tempat Polisi Saryo biasa diskusi dengan teman-temannya. Nara juga menceritakan semua hal yang berkaitan dengan ruangan rahasia iu lengkap lengkap tak tersisa kepada Anis.

“ Nis, kalau aku tidak selamat di penjara setidaknya ada kamu yang akan menjadi saksi akan menjadi sejarah.”

“ Ngomong apa kamu Na, lebih aku yang mati saja. Kamu tahu hidupku tidak ada masa depannya lagi. Sedangkan kamu jalan masa depanmu sangat luar. Ada orang yang mecintai kamu di luar sana dengan tulus, dan selalu menanti kamu dengan setia.”

“ Aku dan kamu masih ada harapan ketika kita masih bernafas. Harapan itu datang dan pergi dengan mudah bila sikap kita salah memperlakukan sebuah Harapan. Begitu juga dengan penantian.”

Anis yang terdiam

Di luar ruangan rahasia seluruh penjaga keamanan sekaligus kepala sipir yang terdiri dari ratusan itu gempar tak tertahankan. Apalagi bagi Polisi Marno yang sekarang tidak saja menjabat sebagai Polisi tetapi sebagai orang kepercayaan seorang bupati di Purbalingga. Seluruh penjaga keamanan terus menyisir padang safana juga tempat-tempat yang nyaman untuk bersembunyi. Hasilnya Nihil. Polisi Marno dan anak buahnya mulai bergerak menjalankan aksinya. Polisi Marno menyembunyikan sesuatu tentang ruang bawah tanah kepada kepala sipir penjara, ternyata selama ini dia telah melakukan bisnis ilegal terkait dengan mayat-mayat bersejarah kepada pejabat di seluruh dunia yang bersedia membeli mayat bersejarah dengan harga tinggi. Uang kotornya Ia habiskan di meja judi, Togel, dan perempuan. Pengusaannya terhadap Bahasa inggris dan Belanda membuatnya tak mudah untuk di sentuh dengan hukum tanpa bukti yang kuat. Polisi Marno tak menyadari kalau suatu saat kekebalan terhadap hukum akan runtuh suatu saat tanpa bisa di elakkan.

Sebagian besar Sipir penjara tak ada yang tahu kecuali sipir pendiam yang diam-diam mengawasi gerak-gerik Polisi Marno ketika melakukan tuganya di penjara, juga para sipir yang telah menjadi anak buah Polisi Marno. Sementara Polisi Saryo tak banyak tahu tempat menyimpan mayat bersejarah itu. Dia memang hanya menempati ruangan itu ketika sedang tak ada tugas. Ia menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari berbagai macam kasus. Pikirannya tak sempat untuk berbisnis haram seperti yang di lakukan oleh Polisi Marno.


Penulis : San Marta
Ditulis : 2013
Tujuan : Merekam jejak tulisan agar pembaca tahu progres sebuah tulisan dari waktu ke waktu
Tempat : Deplu Tengah-Bintaro-Jaksel

0 Comments:

Posting Komentar