Kamis, 07 Maret 2019

Bertemu Geng Fark

BAB 
Tiga Puluh Tujuh


Aku semakin khawatir keberadaan keluarga Nara dan keluargaku sendiri. beberapa tahun belakang kelompok Farah dan Arkon masih menteror dengan berbagai macam tekanan kepada keluarga Nara juga keluargaku. Syukurlah Allah masih melindunginya. Beberapa Polisi yang menyamar sebagai penduduk desa kerap menggagalkan aksi-aksi mereka. Adikku, Wiro hampir saja menjadi bulan-bulanan kelompok Farah dan Arkon kalau saja Polisi yang menyamar sebagai warga tidak menolongnya. Cerita itu aku dengar dari Polisi Saryo yang baik hati.

Aku membaca koran yang diantarkan sengaja oleh Polisi Saryo tempo hari. Di halaman depan terdapat tulisan besar yang membuat bulu kudukku merinding. TEROR DI DESA KALIGONDANG. Ratusan Polisi menjaga perbatasan desa Kaligondang. Kejahatan Farah dan Arkon meluas ke seluruh warga desa Kaligondang. Mereka kerap kali melukai fisik untuk mendapatkan harta yang diinginkan.


Dalam berita yang di tulis di koran tersebut. Geng Fark adalah dua nama yang di gubung. Farah dan Arkon. Setelah Polisi seringkali menggagalkan aksi-aksi mereka. Geng Fark seperti menghilang di telan angin puyuh. Tetapi tetap saja teror itu akan membekas dalam ingatan warga desa Kaligondang dan sekitar.

Ku letakkan Koran itu di sudut ruangan. Pikiran mengawang seolah tak berpijak. Langkahku terpaku dalam ruangan jauh dari peradaban. Sejak aku tinggal di sebuah pulau Nusa Kambangan, pikiranku seakan terpotong oleh goresan khawatir yang mendalam. Tinta kecemasan akan selalu mengaum dalam pikiranku. Untuk itu aku harus berbuat sesuatu, minimal aku bisa keluar dari tempat membosankan yang terpencil di sebuah Pulau angker dan banyak di hinggapi hewan-hewan tak lunak.

Sebuah ruangan yang selalu jadi pusat perhatianku. Misterius dan membuat penasaran adalah kesan pertama ketika kaki menginjakkan ruangan ini. Makin hari aku semakin penasaran dengan ruangan di sebelahku yang selalu terkunci rapat. Ruangan itu selalu di jaga oleh dua pengawal yang selalu mengawasi dan memberikan makananan. Kini mereka sedang keluar mencari makanan. Biasanya salah satunya tinggal di situ. Tetapi hari seperti di rencanakan oleh Allah keduanya pergi secara bersamaan. Ini adalah kesempatan yang baik untuk bisa memasuki ruangan misterius itu.

Ku cari cara agar bisa membukanya tanpa mendobraknya. Aku pernah di ajari oleh sahabatku Narman bagaimana membuka kunci dengan alat sederhana. Ku temukan sebuah kawat yang cukup solid. Ku coba buka kunci itu tapi rupanya tak ada reaksi apa-apa. Ku coba mendobraknya tetapi yang kudapatkan bahu kananku seperti menghantam gunung yang kokoh tak bergeming.

Kedua mataku menangkap sebuah replika senjata AK 47 tergantung dinding. Ku raih senjata itu dengan kasar. Tiba-tiba aku terkejut dan mundur beberpa langkah. Pintu itu terbuka pelan-pelan. Aku paham kenapa pintu susah dibuka dan ajaran Narman tak berlaku. Pintu sangat tebal hampir 100 cm. Hanya dari luar bentuknya mirip pintu kayu. Pintu tebal 100 cm itu terbuat besi baja yang telah diproses dengan berbagai campuran metal. Hampir 3 tahun aku berada di Nusa Kambangan ini tetapi baru kali ini aku mengetahui sebuah pintu tebal seperti bukunya orang pinter.

Aku langsung masuk dan melihat seisi ruangan. Firasatku bertambah kuat. Pintu menutup kembali. Di depanku ada sebuah tangga yang menurun ke bawah. Ruangan di depanku sangat gelap dan pekat. Seperti cairan gurita untuk menyerang musuh. Tangga itu berkilau mirip pita kaset yang terkena sinar matahari. Ku pastikan sekali lagi. Ternyata tangga itu adalah satu-satunya jalan yang bisa ku lalui.

Ku injak tangga pertama itu, aku terbelalak seperti hendak di terkam Singa lapar. Seluruh ruangan tiba-tiba menjadi terang. Bukan karena listrik yang menyala. Tetapi gerbang atas terbuka. Gerbang sebesar stadion sepakbola Eropa terbuka secara pelan-pelan seeakan terukur tepat waktu. 15 menit sudah peristiwa di awal pagi yang menakjubkan itu, kini aku seperti di dunia luar yang tak ku kenal. Ku cubit kulitku keras-keras tapi rasa sakit yang kudapatkan, aku tak bermimpi.

Ku injak tanga kedua. Tak ada reaksi apa-apa. Begitu juga dengan tangga ke tiga dan keempat. Begitu ku injak tangga ke lima sebuah kursi berderat-deret muncul tepat di belakangku. Kursi itu aneh dan menyeramkan. Apakah kursi itu sebuah kursi yang digunakan sebagai kursi penyiksaan seperti yang ku lihat di musium dekat Alun-Alun Purbalingga. Lalu di susul dengan suara kumbang yang berdengung-dengung.

Mendongak keatas awan tampak putih berjejaran laksana bunga kembang sepatu. Aku terkesima dengan salah satu awan. Awan itu seperti orang duduk sambil kedua tangannya berdoa. Sedangkan sekelilingnya awan terbentuk seperti gugusan apa adanya. Inilah keajaiban Allah yang di turunkan kepada manusai sebagai peringatan keimanan.

Ku injak tangga ke enam tak terjadi apa-apa. Lalu terakhir sebagai tangga ke tujuh sebuah pintu berat terbuka lebar. Aku melihat bangunan rel kereta Api yang memanjang tak berujung. Aku pernah melihat bangunan rel kereta Api ini persis di buku sejarah kelas 6 SD yang dibangun secara kerja rodi di bawah tatapan kejam tentara Jepang. Sayang desakan ekonomi tak membuatku berjalan mulus di pelataran sekolah SLTP.

Ku cari-cari gerbong kereta Api. Siapa tahu sedang jongkok sambil "merokok" mengepulkan asap. Aku mendelik kegirangan. Di belakangnya bergunung-gunung batu bara yang tersimpan dalam kotak-kotak memanjang. Hanya saja dalam dunia nyata benda itu lebih ajaib dan punya aura menakutkan. Ku dekati pelan-pelan benda yang ku tebak sebagai Kereta Api itu yang masih mengepulkan asap lewat cerobong.

Gerbong pertama tak terdapat apa-apa. Bumi seperti berputar. Matahari seakan di atas kepalaku, ketika memasuki gerbong ke tujuh. Ratusan mayat terbujur kaku dengan darah yang masih segar. Aku semakin tak mengerti sebenarnya apa yang sedang terjadi di Kota Kecil Purbalingga ini. Apakah kota ini akan menjadi Vietnam kedua akibat begitu banyak kejahatan dan kebiadaban yang sering tak terlihat. Mataku melotot melihat kedua pengawal yang selalu memberikan keamanan saat di Nusa Kambangan telah terbuai ususnya. Satunya lagi leher hampir putus. Tak ada tentara Jepang disini karena para prajurit sejati Indonesai telah membuatnya kabur ke kampung halamannya. Ataukah cucu dari tentara Jepang masih bertengger hidup setelah mendekam 9 bulan di perut-perut wanita yang menjadi korban nafsu tentara Jepang.

Aku mendapati dari cerita itu dari para sesepuh di desaku. Tetapi zaman itu sudah berlalu, bahkan banyak orang Indonesia yang bekerja di bawah tatapan mata Jepang dengan bayaran sangat manusiawi. Bahkan nilai kedisiplinan orang-orang Jepang menjadi buah bibir bagi orang-orang "sekolah" di desaku. Salah satunya Lurahku yang begitu menerapkan kedisiplinan gaya Jepang. Tetapi Aku hanya kagum pada guru ngajiku yang begiti di siplin tanpa membawa pelajaran soal disiplin dari negri matahari terbit itu.

Renunganku buyar manakala terjadi ribut-ribut. Aku sembunyi di balik gunungan batu bara itu, tetapi aku tak merasa aman. Ku langkahkan kedua kakiku ke arah semak-semak tinggi. Seekoar ular hitam menyambutku. Aku tak bergeming. Rasa takutku ketahuan membuatku lebih banyak diam dari pada berteriak. Jika aku berteriak dan panik maka patukan Ular yang sudah mengembangkan kepalanya akan mamatuk dengan Innocent. Ku lemparkan sebuah batang kayu ke arahnya. Ia pun mau mengalah pergi meyelusup ke semak-semak lebih dalam.

Nafasku seperti habis mendorong minyak goreng dari drum-drum ketempat pengemasan. Seperti yang ku lakukan 4 tahun yang lalu di desa Kalimanah-Purbalingga. Dari balik terowongan itu ratusan orang bersenjatakan golok dan senjata rakitan keluar dengan membawa seorang yang ku kenal. Mereka sedang membawa Polisi Saryo dengan tangan terikat di belakang. Wajahnya lebam bekas pukulan. Darahku mendidih. Hendak ku tolong tetapi itu sangat konyol jumlah mereka sampai ratusan. Aku tak mengerti kenapa mereka menyandang senjata yang katanya dapat melumpuhkan Gorila untuk sebuah penelitian. Dari mana mereka belajar. Dan untuk apa. Kota Kecil Purbalingga sangat aman. Tidak ada kudeta atau apapun. Semuanya berjalan dengan lancar. Kalau tikus-tikus kantor mungkin banyak berkeliaran di bawah meja-meja bau apek.

Ratusan barisan itu tiba-tiba terbelah. Aku berpikir kalau meraka memberi jalan kepada ketuanya. Aku menanti dengan cemas takut ketahuan. Tak lama kemudian muncul kedua orang yang kuduga sebagai ketua geng yang melakukan kejahatan biadab, aku hendak berteriak tetapi sepontan kedua telapak tangan membekap mulutku yang nyaris histeris. Tak kusangka Farah kini menjelma menjadi seorang terorawati yang kejam. Lalu di sampingnya adalah seorang yang amat ku kenal, Narman. Untuk apa Narman bersama Farah. Jantungku berdegup kencang.
“Apakah dia Arkon.”

Mata Polisi Saryo ditutup dengan kain hitam. Ku harap tidak terjadi apa-apa dengannya. Farah memberi isyarat kepada salah seorang anak buah untuk membawanya ke suatu tempat. Lalu mengeksekusinya dengan lancar. Aku makin khawatir kalau Polisi Saryo akan menyusul kedua pengawalnya ke alam gelap.

Ku lihat ada 100 pengawal Farah dan Narman naik kereta api peninggalan Jepang. Sementara Polisi Saryo di bawa menuju sebuah semak-semak. Kereta Api mulai jalan. Pengawal itu mulai panik dan menendang Polisi Saryo agar segera jatuh ke dalam semak-semak. Pengawal itu masuk kedalam semak-semak dengan tergesa-gesa. Seekor Ular Kobra yang sedang mengerami telurnya terusik dan mematuk kakinnya dengan cepat. Ia pun memberondongnya sambil menahan sakit. Ia tersentak dan kaget. Racun sudah menjalar keseluruh kakinya. Segera ku layangkan sebuah pukulan telak mengenai wajahnya. Ia pun jatuh pingsang atau telah mati di patuk Ular Kobra.

Kerata Api telah meninggalkan jauh. Asap mengepul dari cerobongnya. Pengawal itu mungkin paling bodoh diantara pengawal lainnya. Pengawal bodoh yang sedang mengerang itu mungkin terpikat oleh wajah Bos yang cantik. Tetapi tak pernah menelisik ke dalam karakternya lebih dalam.

Aku mendekati Polisi Saryo yang terikat dan tertutup kedua matanya. Ia sempat menendang sembarangan. Ku lepaskan penutup mata. Ia mengerjapka mata.

“ Marko!, Apa yang kau lakukan di sini. Tempat bersejarah ini telah di kuasai oleh Geng Fark.”

“ Farah dan Narman maksud bapak.”

Polisi Saryo mengangguk. Segera ia ku bantu untuk berdiri. Ku lepaskan ikatannya.

“ Kini kau sudah tahu siapa Narman. Dunia tempat kita berpijak selalu menghadirkan cara-cara yang tidak kita duga.”

“ Jadi Narman adalah Arkon Pak.”

Polisi Saryo mengangguk.

“ Tempat apa ini pak, begitu banyak rahasia dan peninggalan sejarah yang belum di ketahui oleh dunia luar.”

“ Dunia yang terlupa. Tempat-tempat sejarah yang sangat di rahasiakan. Menurutku ada satu atau lebih tempat sejarah yang tersembunyi di kota kecil kita ini.”

“ Kamu tahu Marko, setelah Farah dan Arkon berhasil membuat Nara di penjara, aksinya lebih kejam lagi. Ia seperti di lindungi oleh tangan raksasa hingga sulit sekali menembus persembunyiannya.”

“ Lalu untuk apa mayat-mayat itu.”

“ Mayat-mayat itu akan di mumikan dan akan di jual kepada salah seorang kolektor secara berkala. Satu lagi Marko, di gerbong terakhir itu ada berabagai macam peninggalan benda-benda purbakala yang mereka curi dari musium untuk di jual.”

“ Apa Purbalingga punya situs musium yang maha karya.”

“ Kota ini hanya di jadikan markas untuk mereka setelah mereka mencurinya dari ratusan musium yang tersebar di Pulau Jawa. Ia melampisakan rasa sakitnya hatinya itu kepada kejahatan yang lebih besar.”

“ Dalang di balik semua kejahatannya.”

“ Aku tak tahu Marko, tetapi mereka sangat di cari.”

“ Sekarang akan ku tunjukkan seseorang padamu.”

“ Siapa Pak.”

“ Kamu akan senang berjumpa dengannya.”

Polisi Marno tak menjawab pertanyaanku. Tetapi dia malah menunju ke suatu tempat yang tak terjamah oleh kelompok FARK. Sampai di sana orang itu telah menghadang perjalanan kami berdua. Aku terkejut dan senang sampai terharu. Ku peluk orang itu dengan erat. Orang itu adalah Bondan yang menghilang ketika peristiwa penyerbuan kelompok FARK ke kantor Polisi.


Penulis : San Marta
Ditulis : 2013
Tujuan : Merekam jejak tulisan agar pembaca tahu progres sebuah tulisan dari waktu ke waktu
Tempat : Deplu Tengah-Bintaro-Jaksel

0 Comments:

Posting Komentar