Minggu, 03 Maret 2019

Penculikan

BAB 
Tiga Puluh Tiga 

Cuaca pagi ini sangat cerah. Sinar matahari belum merekah sempurna. Awan-awan putih berserakan terhampar bagai lukisan indah yang menempel pada kanvas. Latar belakang langit yang bergradasi mewah menambah kemegahan pesono langit Purbalingga. Ruam-ruam kemerahan bercampur biru luat terpampang di ufuk. Tak heran kalau para penikmat alam sangat betah untuk menikmati awal pagi yang indah. Rusukku sudah sembuh setelah penyembuhan hampir satu bulan. Para Polisi kehilangan jejak para penyerang markas Polisi. Sedangkan ku kini sedang menelusuri jejak takdirku.

Pagi ini aku sudah sampai di proyek pembangunan sekolah untuk sekelas SMA. Posisiku sebagai kenek alias membantu para profesional (Tukang) mengerjakan segala sesuatu yang berhubungan dengan adukan semen, bata merah, kayu, paku dan sebagainya. Sudah hampir 4 bulan aku menjalani profesi ini. Aku merasa pekerjaanku terasa menyenangkan. Di samping mendapat imbalan tak mengecewakan, aku juga dapat menatap gerbang besar pintu penjara yang luas. Lalu bila ada waktu senggang maka aku menyempatkan untuk mengunjungi Nara pada setiap jam istirahat. Itupun bisa di hitung dengan jari. Karena sangat susah untuk bisa bertemu dengan Nara dalam penjara. Kalau Polisi Saryo sedang piket maka kunjunganku tak banyak mengalami kesulitan. Selesai kunjungan, aku kembali ke proyek pada jam setengah dua.


Bekerja di proyek tak melulu soal fisik yang kuat tetapi juga mental dan pikiran yang terbuka. Saling membantu dan menolong adalah kunci kedekatan antar sesama para kuli dan tukang. Mandorku juga tak pelit dengan ilmu. Suatu kali aku mendapatkan kehormatan dari sang mandor untuk berlatih memasang bata merah. Aku sangat gembira mendapatkan kepercayaan seperti ini. Kata-kata motivasi yang ku terima adalah: “Latihan yang serius Mar kelak kemampuanmu itu akan berguna suatu saat.” Seharian aku melatih memasang bata. Minggu berikutnya mandor menyuruhku untuk melepa dinding dengan adukan semen, dan setelah di rasa punya potensi. Mandor menyuruku untuk membuat kusen dan beberapa jendela. Semua latihan itu sangant bermanfaat bagiku nantinya.

Sorenya suasana di tempat proyek sudah sepi hanya ada beberapa mandor yang sibuk melihat hasil pekerjaan anak buahnya. Aku pamit pada salah seorang mandor untuk pulang ke rumah. Biasanya aku sampai kerumah menjelang sholat Isya. Jarak tempuhku tak lagi sama. Kerena sekarang aku bekerja tepat di jantungnya kota Purbalingga yaitu Alun-Alun Purbalingga. Jam dinding besar berbentuk segi empat menempel kuat pada sebuah menara kecil berdekatan dengan dua buah pohon beringin yang besar, jam dinding itu akan berdentang setiap jam sekali. Ku tengok ke arah jam itu, pukul 5 lebih 15 sore wib. Burung-burung kuntul hilir mudir berdatangan pulang dari berbagai penjuru sawah untuk beristirahat di pucuk-pucuk teratas pohon beringin. Konon pohon beringin itu pernah juga menjadi sarang persembunyian para warga karena takut melihat tentara Jepang yang lewat.

Bengkel sepeda Pak tua sudah tutup. Mungkin ada keperluan dengan keluargaku. Aku mencari bengkel sepeda lain untuk menambah angin ban sepedaku. Aku kaget bercampur takut, rupanya Pak Tua itu belum pulang. Dia sedang berdiri di samping bengkel sedang memegangi seekor kucing. Ia mencabut belati lalu memotong leher tanpa ampun. Kucing itu menjerit, lalu diam membisu. Akupun menjerit dalm hati, sekujur tubuhku terpaku pada pemandangan mengerikan. Dia menatapku. Sepeda ku ku kayuh untuk menghindar dari pemandang yang mengerikan, tanpa berani menoleh seperti yang ku lakukan sudah-sudah.

Sepanjang perjalanan, otakku di jejali dengan berbagai pikiran apatis tentang kota Purbalingga. Apakah kota Purbalingga kini makin misterius dan di penuhi dengan hal-hal yang di luar pikiran waras. Farah tetanggaku berubah menjadi seorang penjahat yang tak menyisakkan ruang sedikitpun di otaknya pelajaran agama yang di ajarkan oleh guru spiritualnya di kampung. Nenekku juga pernah bercerita kalau dulu ada kisah seorang nenek tega memutilasi cucunya sendiri dan memasaknya. Lalu dagingnya di suguhkan kepada ibu bapaknya sepulang berdagang di pasar. Aku tak bisa membayangkan kalau suatu saat kota kecil Purbalingga yang nyaman dan damai akan menjadi kota terlarang yang tidak boleh di kunjungi oleh wisatawan lokal ataupun bule-bule. Aku tak bisa membayangkan kalau kotaku yang kucinta suatu saat akan mendapat cap sebagai desa “Zombi dan Kanibal”.

Aku biasanya mampir dulu di Mushola atau Masjid pinggir jalan. Hatiku amat kacau kalau belum menunaikan sholat wajib lima waktu. Adzan Maghrib sudah berkumandang ketika aku sampai di jalanan panjang yang diapit oleh pohon singkong, palawija dan di belakangnya ada sawah-sawah terhampar luas. Listrik dari PLN belum menjankau ke tempat dan desa yang terpelosok. Sepanjang jalanan yang ku lewati hanya ada penerangan dari lampu diesel dari seorang juragan jengkol yang dermawan. Lampu akan di matikan ketika sudah melewati jam 12 malam.

Sepedaku ku kayuh dengan cepat pada tikungan. Lampu sepede menyala menembus cuaca senja. Di tambah dengan suasana langit yang cerah. Matahari juga baru turun ke peraduan. Aku selalu merasa merinding di tikungan yang di tumbuhi dengan pohon-pohon jagung tinggal panen. Entahlah mungkin mahkluk astral sedang menatapku dengan tajam atau mungkin saja perasaaku. Bila rasa merinding itu makin hebat, ku selalu berkata dalam hati bahwa: “Jin dan Manusia adalah sama-sama mahluk ciptaan Allah.”

Setelah keluar dari tikungan rasa merinding berubah menjadi kaget sampai rem tangan ku tekan keras-keras. Karena jalanan menurun aku sampai terjungkal dan berguling ke tanah. Ngerem mendadak di jalanan menurun akan berakibat fatal. Ku bangun terseok-seok menahan ngilu di sekitar lutut. Tiga orang berbaju serba hitam berdiri tak jauh dari jalanan. Apakah ini hari di mana aku tak lagi bisa berjumpa dengan Ibuku dan kedua adikku, wajah Nara kembali hadir dalam saat-saat yang genting seperti ini. Kucoba berdiri untuk memastikan bahwa bayangan itu cuma halusinaku saja. Tetapi setelah beberapa saat kemudian bayangan itu malah mendekati di ikuti oleh dua orang di belakang.

Lampu dari cahaya sepeda masih menyala sementara rodanya masih berputar lalu berhenti diam. Ketiga orang itu mengeluarkan senter dari balik saku belakang dan langsung menyoroti mukaku yang tegang. Salah seorang yang ku kira ketua nya menghampiriku. Tanpa menanyakan apa maksudnya sebuah pukulan sudah tepat mengenai perutku yang setengah lapar. Pukulan begitu cepat hingga sulit ku hindari dengan posisi aku habis jatuh dari sepeda ada bebarapa luka memar di lutut kananku.

“ Mau Bapak Apa!.” Sambil menahan sakit ku beranikan diri untuk bertanya.

“ Nama sampean Marko kan, sudah jangan banyak tanya.” Tanpa di beri kesempatan untuk menjawab. Kedua orang itu mendekat dan aku mengamuk keberbagai arah. Beberapa kali aku untung dapat memukul dan menendang tetapi episode selanjuntya adalah aku seperti dalam kegelapan ketika pukulan keras menghantam tengkukku. Aku terkulai lemas dan pingsang. Bayangan Ibu, kedua adikku, serta Bu Bar dan Nara menari-nari dalam kegelapan. Perut lapar dan tidak siap dengan keadaan akan membuat pikiran seseorang mudah dilumpuhkan. Aku tak mengira cobaan hidupku datang dan pergi sesuka hati. Dunia memang di penuhi dengan hal-hal yang tidak ku ketahui.

Selanjutnya yang ku dengar adalah sebuah deru mesin mobil Pick Up mendekatiku. Tubuhku seraya melayang seperti kapas. Apakah aku sedang berada di atas keranda. Lalu di letakkan di suatu lobang tempat dunia lain akan segera hadiri. Tak menyangka perjuangan penantian Nara dapat keluar dari penjara makin susut seiring dengan kejadian-kejadian di luar dugaanku. Setengah sadar Mobil Pick Up itu membawaku ke suatu tempat yang tersembunyi dan jauh dari pemukiman penduduk. Tubuhku terangguk-angguk dalam balutan celana panjang kerja yang belum sempat di ganti. Bau adukan semen juga masih menempel pada tubuhku yang keras dan berotot. Walaupun begitu ternyata aku tak tak bisa melawan ketiga orang sendirian dalam keadaan lapar dan tekanan mental yang tinggi. Melawan dunia sepertinya kata-kata yang kurang cocok bagi kejadian yang terus mengggerus kisah cintaku dengan Nara Wina ke dalama sebuah pelaminan masa depan.


penulis : San Marta
Ditulis : 2013
Tujuan : Merekam jejak tulisan agar pembaca tahu progres sebuah tulisan dari waktu ke waktu
Tempat : Deplu Tengah-Bintaro-Jaksel

0 Comments:

Posting Komentar