Hujan kembali turun. Ia menemani kami yang tengah menekuri soal-soal ulangan tengah semester. Kelasnya dicampur antara kelas satu, dua, dan tiga. Siapa dapat siapa, kami senang mendapatkan teman duduk yang tak terduga. Tujuannya mungkin supaya saling kenal, tapi bagi para penganut paham moduisme, mereka sangat menanti-nantikan kegitan UTS yang menggetarkan itu. Cara apapun mereka keluarkan, salah satunya pura-pura membantu adik kelasnya, padahal tong kosong nyaring bunyinya, otak kosong garing bulshitnya, itu tulisan di kaosnya Eka Kurniawan.
Aku tak terlalu pintar, bodoh kadang-kadang, jadi tak begitu pengaruh soal duduk dengan adik kelas manapun. Aku pantang mencontek. Ia adalah aib, mengandung pamali, dan bukan sifat seorang ksatria, begitu kata guru agama yang tak mau lepas dari ingatanku.
Dua pengawas dari sekolah lain sedang duduk di depan kelas. Mereka terlihat muda, salah satunya terlihat gelisah. Ia kerap mengelap wajahnya dengan kacu yang diambilnya dari saku belakang. Mukanya terlihat pucat dan bekeringat. Mungkin lambungnya berulah. Sedangkan satunya lagi, enak-enakan ngudud (merokok) sambil terus mengawasi kami. Aku semakin bingung, kita para murid lelaki dilarang keras merokok, tetapi sebagian guru merokok seenaknya tanpa memperdulikan perasaan kami.
"Heh, fokus saja, jangan ngeliatin bapak begitu, mau ngrokok juga!"
"Nggak Pak!" kataku, kaget. Jantungku makin blingsatan.
Dulu ketika aku masih MI, mendengar: guru digugu dan ditiru, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Sekarang mungkin semboyan itu makin bergeser saja ke arah yang makin mengenaskan. Bisa saja semboyannya berubah makin kejam saja, singkat dan membunuh. Guru kencing berdiri, murid kencingin guru. Pengetahuanku sangat rendah waktu itu, jadi aku tak tahu masalah etika ini, siapa yang memulai dan dan siapa yang akan mengakhiri. Aku juga tak tahulah, macam mana.
"Kau tahu yang duduk tak jauh dari sampingmu adalah seorang vokalis. Suaranya mirip Duta SOS." Kataku pelan pada kiera. Setelah bosan mengamati para pengawas dari dua puluh menit yang lalu.
"Yang mana Kak," tanyanya penasaran.
"Rambut lurus, belah tengah, jam tangan di kanan, lengan bajunya digulung, dan ada bekas luka bakar di pipinya."
"Oh, kalau tidak ada luka bakar, ia pasti sangat tampan," ujar Kiera.
"Ia cowok yang jarang bicara, berbeda sekali ketika ia sedang manggung. Ia salah satu korban konflik perang yang terus berlangsung sampai sekarang."
"Oh kasihan, namanya siapa kak."
"Maleo, bersama bandnya mereka sering mencari donasi buat panti asuhan yang mereka tinggali," ucapku berbisik, pengawas itu makin tak enak dipandang.
"Heh kalian berdua, sudah selesai belum!" kata salah seorang pengawas. Satu pengawas lainnya sibuk mengedarkan berkas untuk ditanda tangani.
"Mereka punya konser setiap akhir bulan di Alun-Alun Purbalingga," ucapku lebih pelan lagi.
"Kakak mau nonton?" tanya Kiera.
Aku mengangguk saja.
Lewat kode rahasia. Ares minta 'pertolongan'. Ku tuliskan beberapa jawaban kepada Ares. Aku memang tak pandai dalam soal hitung, tetapi soal bantu membantu aku tak ingin ketinggalan. Dengan sangat hati-hati ku lemparkan bola kertas ke padanya.
"Yang sudah selesai boleh di kumpulkan, tak perlu lama-lama, kayak jawabannya benar aja." Kata salah seorang pengawas berbibir hitam itu.
Hujan berhenti mendadak, senyap, adem, dan terdengar ritual menetes. Burung-burung gereja mulai keluar dari peraduan. Mencari makanan untuk menyambung pahala dan ketaatan.
"Duluan Ki," kataku.
"Ok kak, saya juga sudah selesai."
Aku berdiri dan berjalan keluar kelas. Wajah Ares terlihat murka. Ia telah membuka kertas contekan yang kuberikan beberapa menit yang lalu. Bukan jawaban seperti yang ia harapkan. Tetapi, sebuah tulisan: kerjakan sendiri, aku juga nggak tahu jawabannya. Tangannya mengepal, kedua matanya melotot. Suara tawaku mengkerdilkan niat busuk Ares yang terselubung.
"Hei, kamu bisa diam tidak!" teriak sang pengawas sambil melempar puntung rokok kearahku. Segera kupergi dari hadapannya. Dari balik jendela, kulihat Ares menjulurkan lidahnya dan tertawa tanpa suara. Baru berjalan beberapa langkah. Karma itu sudah menyergapku. Naura menyusul keluar dan duduk bersama beberapa teman-temannya. Mirip segerombolan burung yang berlindung dari tetes-tetes hujan. Ada yang terasa menusuk dadaku. Aneh, rasanya sakit dan perih. Cemburukah. Kulihat junior italia ganteng itu terus mencoba menawarkan makanan. Segera kutertawakan diriku sendiri. Siapa aku ini, jangan terlalu percaya diri, nggak baik.
"Kenapa kak, cemburu ya?" tanya Kiera.
Aku tak menjawab. Aku tak mau menambah beban moral yang sedang ku perbaiki. Kiera bak pemburu berita, kepo banget. Anak baru in, kadang-kadang merepotkan juga.
"Mau kemana, ikut kak."
Aku mencoba menatap Naura, mencari sebuah jawaban. Kiera mengekor di belakangku. Ada hembusan keegoisan. Hanya sesaat, Naura kembali sibuk makan coklat bersama dengan teman-temannya, jaraknya masih sopan. Kira-kira dua kali orang dewasa bersin, namaku dipanggil.
"Ben, mau kemana, ikutan dong!?" Ia berlari-lari kecil menghindari terkaman gerimis. Meninggalkan beberapa teman cowok yang salah langkah. Tatapan mereka membuat seperti genangan air. Junior ganteng Italia itu mengunyah makanan yang ditawarkan ke Naura dengan cepat-cepat. Tatapannya tak pernah lepas ke arahku, ia seperti seorang sniper.
Ini sisi lain, yang tak bisa kucegah. Sampai kapan, aku tidak tahu. Kutatap junior Italia ganteng itu. Ketika ia balik menatapku aku buru-buru mengalihkan pandangan. Berjalan ke arah kantin, membeli beberapa gorengan.
Baru lima langkah bahuku dicengkram, reflek kumenoleh. Sebuah pukulan cepat tak sempat kumengindar mendarat di atas pelipis. Buk!, aku terhuyung-huyung kebelakang.
"Kak Ben!" Teriak Kiera yang sudah berjalan duluan.
"Jangan Sok Ganteng Ya, anak kere!" teriak Junior itu.
Pikiranku agak kacau, pukulannya keras banget. Detak jangtungku tak karuan. Darahku mengucur merembes ke pakaianku. Kuraba, ada kulit yang robek, dan darah itu begitu kental dan kulihat telapak tanganku penuh darah.
Aku tak sempat membalas junior itu, yang wajahnya semerah kepiting rebus. Pikiranku melambung pada peristiwa mengerikan, darah ini warnanya sama seperti darah yang muncrat dari batok kepala kakaknya Intan.
"Maksudnya apa!," Teriak Noura.
"Kenapa kau belain dia Ra, dia cuman anak kere, pulang pergi naik angkot!"
"Itu urusanku, mulai detik ini jangan pernah memanggil namaku!"
Situasi makin kacau, ketika ia ingin memukulku kembali. Ares muncul dari kelas dan mencengkram tubuhnya. Dan aku memilih pergi bersama Noura dan Kiera untuk mengobati lukaku di UKS. Guru pengawas menertibkan mereka.
"Kenapa kau tak melawan Ben," tanya Noura.
"Tak sempat, pukulannya keras banget, kayak sabet ekor ikan pari."
"Darah, nggak berhenti-henti kak, ini nggak baik kak," katanya, ia lalu lari ke arah kantor.
"Ia cemburu sama kamu Ben," ucap Noura, sambil tangannya terus menekan lukaku.
"Harusnya ia lebih cerdas mendekatimu."
Noura tertawa kecil.
"Ia tak lebih dari anak kecil yang terus merengek minta mainan." katanya. Ketika kulirik seluruh bajuku sudah memerah. Pakaian Noura ikut memerah.
Kiera datang bersama guru yang bisa bertugas di UKS. Dan kepalaku makin terasa pusing. Ini sisi lain yang kuterima sebagi resiko, jika dekat-dekat dengan mereka.
"Kau perlu ke dokter Ben?" nasihat guru penunggu klinik.