Selasa, 02 April 2019

Sebuah Pengakuan

BAB
Empat Puluh Tiga 


Aku mulai menjauhi Musholla. Aku berteman dengan seorang laki-laki yang ku kira baik, tetapi aku malah kehilangan kehormatanku.

Aku menangis, sedih, dan marah. Lalu aku mencoba membunuhnya pada suatu malam. Tetapi aku hanya berhasil menancapkan pisau beracun itu pada pahanya. Aku puas. Tetapi mala petaka itu baru saja menghampiriku. Ternyata lelaki itu anak bupati. Dengan memfitnahku di depan bapaknya akhirnya aku di jebloskan ke penjara dengan tuduhan pembunuhan berencana lengkap dengan saksi yang telah di sumpel mulutnya dengan duit.

Di penjara aku sengaja menghindar dari kamu, padahal aku sudah tiga tahun di pernjara. Tetapi takdir Tuhan berkata lain. Kamu menemukanku. Lalu kamu menolongku dari sipir bejat itu, padahal sipir itu adalah pelanggannku yang ingin menikmati tubuhku ini. Tetapi aku tidak protes karena aku sudah mulai muak dengan diriku sendiri.


Kamu mengajak ke suatu tempat rahasia yang tak kukenal. Kamu memerintahkan supaya berhati-hati dengan kastil itu. padahal aku sudah lama tinggal di situ. Aku sudah merasa tak punya harga diri. Masa depanku juga tak sempat ku pikirkan lagi. Tetapi setelah kamu menemukanku, aku mulai ada harapan dengan hidupku. Aku begitu senang ketika kita menemukan lorong-loroang rahasia itu, aku seperti anak kecil yang berhasil memenangkan sebuah pertandingan lari. Lorong itu adalah hadiahku. Kamu tahu Na, kastil itu berisi semua barang-barang haram. Ada bertonton shabu-shabu yang tersimpan dengan rapi. Jutaan Kilo Ganja, dan masih banyak lagi. Banyak orang-orang yang sering muncul di TV membeli barang-barang itu. lalu pulang dengan mobil-mobil mewahnya. Padahal di kota kecil kita ini mobil mewah masih bisa di hitung dengan jari. Para pejabat dari kota itu juga suka mampir kesini. Aku pernah melayaninya sekali. Dan ia pun memberikanku sebuah hadiah yang menggiurkan berupa Mobil Mewah. Tetapi aku tak mengambilnya. Aku menjadi pendamping orang yang selalu bertopeng itu, orang bertopeng itu juga seringkali berbuat yang membuat hatiku makin menjerit. Terakhir Na, ada begitu banyak Uang Palsu yang tersimpan dalam ruangan yang hangat, dan tak ada di tikus di sana.

Ketika kamu tertidur akupun menuliskan surat ini, dan selama kamu tidur aku berusaha mencari jalan masuk ke kastil itu lewat lorong rahasia yang ternyata dapat di mulai di bawah pohon beringin Alun-Alun Purbalingga. Entah kenapa aku menuliskan surat ini. Bila aku mati nantinya, tentunya kamu tahu apa yang akan di lakukan.
Salam. Sahabatmu. Anismara.

Aku dan Nara berpandangan ketika selesai membaca surat itu, Nara menyerahkan kotak kayu kecil itu padaku. Pengakuan Nara dalam surat tersebut menimbulkan tantangan sekaligus perasaan cemas. Menariknya, ada semacam tuas di sisi kotak kayu kecil tersebut. Ketika ku tarik tuasnya, kayu bagian tengah terbelah menjadi dua. Ada setumpuh kunci, dan satu kunci yang paling beda bentuknya.

“ Na, kunci macam apa ini.” Aku terheran-heran melihat kunci dengan gigi tak biasa. Kunci itu panjang dan ujungnya seperi trisula.

“ Aku tak tahu Mas, yang jelas surat ini harus kita serahkan kepada Polisi Polisi Saryo. Taruhannya kita berdua bisa di jebloskan kedalam penjara.”

“ Baiklah, itu ide yang paling bagus.” Setelah keluar dari penjara Nara memang menjadi lebih kritis dan mempunyai firasat yang tajam.

“ Na, apa kita di takdirkan untuk berpetualngan seperti ini. Bergelut dengan sesuatu yang jarang masuk akal. Kita sudah membuat Kota kecil Purbalingga ini ramai di kunjungi oleh turis dari berbagai penjuru dunia untuk melihat seribu mayat yang bersejarah itu, dan satu lagi di bawah penjara itu terpampang luas sejarah yang belum di temukan oleh orang lain. Rupanya kunci-kunci rahasia itu makin terkuak bila ada orang yang pertama kali menemukannya. Kamu telah menjadi simbol bagi kunci-kunci lain. Polisi dan Geng Fark juga menemukan ruangan rahasia setelah pertama kali kamu menemukannya.”

“ Tetapi tugas kita rupanya belum selesai, kita orang desa tetapi di takdirkan menjadi saksi sejarah yang tak terelakan. Selain itu kita bisa menjadi target untuk di bunuh bila ketahuan telah membongkar rahasia kastil itu. Awal Pagi kitapun takkan sama bila ketahuan oleh pihak keamana kastil.” Jawab Nara.

Aku dan Nara kembali meletakkan kotak kecil di balik baju-baju “kenangan”. Untuk saat ini kami berdua tak ingin merusak kebahagiaan yang baru saja kunikmati ini. Besok adalah tepat untuk memberikan nama. Karena kami lihat anak kami yang masih bayi sudah puput tali pusarnya. Di balik kebahagiaan ini ada beban berat yang sedang berdiri menahan langkah-langkah ringan kami, bila belum menyerahkan surat itu kepada Polisi Saryo. Aku dan Nara menjaga surat itu sama hati-hati dengan anak kami yang masih bayi.

Aku tidur beberapa jam saja ketika pagi setelah sholat Shubuh. Setelah membaca surat peninggalan dari Anis, aku dan Nara benar-benar akan mengalami tantangan baru yang akan kami alami. Aku dan Nara khawatir kalau orang-orang yang pernah mengenal Anis di kastil itu suatu saat bisa mendatangi kami secara tiba-tiba. Lalu Desa Kaligondang bisa menjadi mencekam untuk yang kedua kalinya. Kasihan bagi warga yang masih meraskan truma pernah melihat para kompeni membrondong paras sesepuh desa dengan senapan di guguran sabuk wulung.

Ketenangan di awal pagi pun tak sesejuk layaknya udara pagi. Kami memulai pagi itu dengan kegiatan rutin memeriksa kertas apakah masih di tempatnya. Suasana pagi masih normal seperti biasa, tak ada letusan senjata oleh aparat Polisi yang sedang menembak rampok toko Emas. Mungkin perampok itu ingin menyenangkan anak-anaknya dengan hadiah. Apakah aparat penegak hukum belum berpikir sampai sejauh itu. Nenek pencuri buah saja, bisa mendapatkan hukuman: Hukum di Indonesia memang tak lagi manusiawi, tumpul ke atas tapi tajam kebawah. Kata para  pakar hukum di Indonesia.

Sore nanti kami berdua ingin menemui Polisi Saryo dan menyerahkan surat yang telah menyita waktu tidur kami. Aku dan Nara masih berpikir ulang bila Polisi Saryo nantinya mengajak kami berdua berpetulangan menemukan barang-barang haram yang sedang teronggok di kastil yang tak pernah tersentuh oleh hukum. Tetapi mata Nara selalu berbeda bila mengingat Anis yang telah mengorbankan dirinya dan masih punya sisa nurani dengan menuliskan surat ini.

Tangisan bayi kami pecah. Nara buru-buru menghampirinya. Burung-burung pagi berteriak menyemangati anak-anaknya yang belajar terbang. Kendaraan mobil pick up mulai terdengar deru mesinnya. Para petani mulai menyambangi sawah-sawahnya. Desa Kaligondang sedang berada dalam situsai normal. Kota Purbalingga terlihat kecil di satelit luar angkasa bahkan mungkin tak terlihat. Satelit itu benar-benar sudah mengurangi privasi mahluk di bumi.

Awal Pagi ini awan-awan mulai bergerak seiring waktu mengunjungi rumah-rumah besar dan kecil, Desa Kaligondang, Kesamen, dan juga kota Purbalingga. Tetapi awan-awan hitam itu enggan bergerak di atas kastil tersebut yang menjulang tinggi di tengah-tengah padang safana.

0 Comments:

Posting Komentar