Minggu, 10 Februari 2019

Pesan Sang Guru

Kampus STIE SEBI tahun 2003. Saya keluar dari ruangan tempat menuntut ilmu. Mata kuliah Manajemen yang diampu oleh Pak Ahmad Juwaini. Sebelum Stand Up menjadi gegap gempita seperti sekarang ini, Dosen yang satu ini sudah melakukannya dengan baik. Tak perlu diragukan, saya merasa ada kegembiraan ketika mengikuti mata kuliah ini. Seger seperti minum air zam-zam oleh-oleh dari seorang teman. Santai tapi dengan joke-joke berkelas. Selesai, saya seperti habis berendam dalam oase.

Sebuah papan informasi yang di pajang salah satu ruangan untuk memungkinkan mahasiswa/i dapat membaca dengan baik. Pamflet berwarna kuning kecoklatan tertempel disana. Berisi tentang pendaftaran Tahsin dan Tahfidz lengkap dengan alamat dan pengajarnya. Sebersit getaran ada dalam relung-relung hati. Ada panggilan yang tak biasa, mewarnai spektrum berpikir tentang kompetensi. Bukan soal bisa atau gagap, ada kehausan untuk melakukan perbaikan, ada noda yang harus di bersihkan. Lalu muncul semangat berlapis azzam untuk mendatangi tempat bercahaya itu, lingkaran berkah beruntai doa-doa para malaikat. Tempat itu ada di jalan Asia Afrika, Gang Beo.


Sabtu Siang saya bergegas untuk menuju ke tempat itu, lengkap dengan semangat yang ada. Naik angkot dari pasar Ciputat. Perjalanan pertama tidak mulus, yang mulus adalah doa, karena doa selalu ikhlas, kapanpun dimanapun. Minyak wangi sudah menguap berubah menjadi bau burket alias bubur ketek, sebutan beken waktu itu. Perjalanan dari Pamulang Dua menggunakan angkot menjadi petualangan yang menarik. Saya bisa memberi tanda, ketika tiap pagi saya melihat orang yang duduk di depan saya ngupil selama mungkin. Untunglah saya tidak mengidap penyakit jijian. Kalau siang seperti ini, seperti di Oven tapi menikmati setiap detil angkot membuat saya banyak menjalani dengan kegembiraan.

Saya harus jalan kaki karena turun dari angkot bukan di jalan Beo, tetapi di gang lain. Saya punya mulut yang di delegasikan untuk bertanya, berkata baik, atau lebih baik diam. " Gang Beo di mana ya Pak." Saya bertanya kepada salah seorang pedagang bakso yang terlihat kuyu, tetapi senyumnya tulus. " Sudah dekat, adek tinggal jalan sekitar sepuluh menit. Gangnya ada di sebelah kiri." "Terimakasih." Jawab saya.

Setelah melewati pohon-pohon bambu yang rindang, beberapa rumah yang menarik, 20 menit berjalan kaki. Akhirnya sampai juga di sebuah Masjid. Kumandang Adzan Ashar sudah menggema, menggenggam nafas peradaban. Dari Bilal hingga kini. Kumandangnya terus membelah sampai akhir yang di tentukan.

Selesai sholat Ashar, saya menuggu. Ada rasa tak percaya diri, bagaimana mungkin saya menemui seorang Hafidz Quran dengan menggunakan celana trening putih dengan kaos berkerah, tak berestetika. Setengah kemudian ketika saya sedang mencoba membaca Al Quran, dari balik pintu muncul sosok yang menenangkan, ada kenyamanan ketika melihat langkah-langkahnya, siapapun yang pernah menjadi muridnya akan merasakan hal sama. Sebuah peci menghias di kepalanya, baju koko berwarna putih, dan celana bahan. Sebuah senyuman tulus khas seorang guru ketika beliau berjalan ke arah saya.

" Udah lama." tanya Beliau.

" Belum." Jawab saya singkat.

Lalu pembicaraan hangat terjadi, saya ceritakan apa adanya. Saya seperti lahir membawa rasa tidak percaya diri, ini penyakit kronis. Sebelum Jam 4 sore, Ustadz Muzzammil memintaku untuk tilawah surat tertentu. Eh bukan, Waktu itu beliau hanya menyuruh untuk membaca surat dan ayat yang sedang saya buka. Saya tahu bacaan saya amburadul, tetapi beliu membesarkan hati saya. " Cukup bagus bacaannya."

Saya bergabung dengan teman yang lebih senior, membentuk lingkaran cahaya. Bergema ayat-ayat yang menenangkan. Lembut dan merdu suaranya menenangkan hati, mengingatkan dosa-dosa yang pernah saya lakukan. Cahaya-cahaya kebenaran keluar dari lingkaran cahaya. Saya begitu pilu, nestapa, dan jumawa, menganggap punya segudang ilmu tapi tak bisa berbuat banyak ketika sang ahli mulai menguji. Hasilnya saya harus belajar dari awal. Tak masalah, ada kegembiraan di sana. Seperti masuk dalam era kenabian, sahabat-sahabat rasul sedang bercakap-cakap dengan ilahi, lewat ayat-ayat yang mulia.


Dedikasi Untuk Alm Ustadz H. Ahmad Muzzammil, MF Al-Hafizh
Satu buku tulis berisi pesan-pesan Ustadz Muzzammil hilang, saya harus menulis ulang dari awal. Ada yang tak mampu saya tulis, rekam jejak ingatan saya terbatas. Mohon Maaf.

0 Comments:

Posting Komentar