Minggu, 03 Februari 2019

BELAJAR DAN BERPIKIR

Belajar adalah proses. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang yang ingin menambah wawasan dan pengembangan diri, sangat rugi bila setiap waktu yang kita gunakan dan habiskan tidak menjadi sarana perbaikan diri sekaligus upgrade kompetensi. Belajar bukan hanya dari buku, tetapi juga bisa dari pengalaman, kejadian, dan fenomena alam yang menjadi sarana belajar tak terbatas. Kalimat melegenda yang akrab di telinga: " Experient Is The Best Teacher." Closing-nya adalah ilmu apapun ujungnya adalah menjadi sarana mendatangkan kedekatan kepada pengenggam langit dan bumi, yakni Allah Swt. Bisa digambarkan misalnya, melihat pribadi yang memiliki kecerdasan tinggi, kita terpacu untuk bisa mengambil inspirasi darinya. "kenapa dia bisa, kok saya ngak." Membenci kebenaran berarti kita berhenti untuk belajar, sama saja kita jumawa. Karena difinisi mutlak arogan adalah menolak kebenaran dan mencaci persona pribadi. Ilustrasi lain misalnya, pertengkaran yang secara "telanjang" di publish secara sengaja atau rekayasa. Bertengkar adalah definisi paling jelek dari komunikasi, menandakan kemungkinan masih sibuk mempertengkarkan perbedaan. Karena banyak perbedaan yang menghasilkan keindahan, kegembiraan, kedamaian. Allah menciptakan manusia memang dalam bentuk yang berbeda dalam arti fisik, tetapi banyak kesamaan dalam hal nilai. Meskipun berbeda keyakinan.


Kedekatan manusia dengan sang penggenggam langit dan bumi membuat keyakinan bahwa hanya Dia sang Maha yang terangkunm dalam seluruh dimensi kecerdasan. Bentuk otak, untuk menghasilkan kemampuan menyimpan data lama dan baru, juga anatomi tubuh manusia adalah media paling tepat berpikir. Sikap arogan hanya akan menunjukkan bahwa ada hal  terbatas yang sulit dijangkau oleh akal sehat, soal kematian, kapan turunnya hujan, jodoh, adalah beberapa kasus kehidupan yang manusia paling brilian pun tak mampu memecahkan misteri Ilahi. Sombong hanya akan memperjelas kedangkalan cara berpikir tentang sesuatu, tak membekas bila melihat keajaiban Tuhan secara kasat mata. Belajar dan berpikir adalah satu paket yang terus abadi.

Rezeki tidak hanya materi, tetapi kefahaman dalam mengolah peristiwa adalah bentuk rezeki yang Allah berikan secara cuma-cuma. Jadi rezeki, anak berbakti, Imu bermanfaat, dan amal long life, adalah bentangan makna tentang definisi keberkahan.

Belajar juga konsisten, karena konsisten mendatangkan kefahaman secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Gagalnya kefahaman adalah terlalu meremehkan campur tangan Allah dalam memberi keberkahan. Terlalu mengajukan akal sebagai jalur utama untuk memahami sesuatu adalah kedangkalan lain. Motif yang terselubung, dibalik untuk apa kita belajar hingga mengurangi timbangan pamrih yang sering orang gunakan untuk berlindung dari tengiknya pekerjaan dunia. Lalu ajal datang secara tiba-tiba hingga tak sempat menambal kesombongan yang terlanjur berkarat. Di sisi lain, ada tipe otak yang selalu berpikir untuk belajar memaham-mahamkan sesuatu agar tidak terjebak dalam stigma jumud, kebenaran terpancar di wajahnya sampai malaikat maut menyapanya di penghujung usia.

Motif yang lurus (niat) adalah berkah dalam belajar. Soal dapat pekerjaan perlente atau pekerjaan tak berkelas tak menjadi soal untuk terus berpikir, agar belajar bijak memahami sesuatu. Kalau kuliah menjadi motif utama dalam mendapatkan kemudahan dalam menduduki posisi penting dalam pekerjaan, maka proses belajar berhenti sejak dia duduk di bangku kuliah pertama kalinya. Komitmen awal menentukkan sejauh mana lompatan kita ketika belajar. Lalu menjadi sangat berhati-hati karena merasa ada kamera ihsan yang terus coba dipertahankan, meski harus jatuh bangun bangkit lagi. Hakikat belajar adalah mendatangkan rasa khouf dan Raja, semakin berilmu semakin hitung-hitungan dengan jejak rekam Malaikat Rakib Atid jalankan.

Tak jadi soal, ketika sarjana hukum menjadi seorang pendidik, karena pendidikan bukan mutlak menjadi wewenang ilmiah orang-orang bertitel sarjana pendidikan. Karena mendidik bukan soal titel tetapi soal kapasitas, kompetensi, loyalitas, kecakapan, tanggung jawab, dan lain yang setara, soal teknis mungkin saja menjadi wilayahnya. banyak hal yang menuntut kita berpikir sebaliknya (Logika Terbalik). Kalau masih menyangkal, kunjungilah satu lembaga pendidikan, maka heterogen kesarjanaan menjadi sangat harmonis, satu sama lain saling melengkap, bersatu padu menjadi pendidik heroik.

Tabuhlah genderang perang dengan segala hal yang melunturkan cahaya. Karena ilmu adalah lentera, sinar, cahaya, yang bisa meredup kapan saja tanpa menyisakan barang sedikitpun. Di runut apa akibantnya, karena terlalu menggampangkan untuk membungkam cahaya, hingga gelap menyelubungi nurani. Wilayah kebenaran dan keburukan menjadi remang-remang. Bukalah pintu cahaya agar gelap tak mampu bernaung hingga para pembisik kebatilan merasa frustasi.

Hal lain dalam menggenggam pikiran adalah belajar menyemangati diri sendiri, menyobek kemalasan, mengubah kebiasaan, tidak mudah putus asa merupakan bentuk kemauan yang tinggi dalam menciptakan panorama belajar yang dinamis.


Tertulis 24 Desember 2008, Pukul 20:03 WIB
Di tulis ulang 2 Februari 2019, Pukul 12:13 WIB

0 Comments:

Posting Komentar