Minggu, 17 Februari 2019

Tentang Umar

5. Merantau


Meninggalkan tempat yang nyaman, anak dan istri adalah hal yang paling berat. Tapi Umar harus mengambil keputusan, pekerjaan di kampung yang sulit membuat ia mengiyakan ajak seorang teman untuk merantau ke Tanjung Pinang. Meski pahit ia harus jalankan niatnya untuk memupus nasib sekaligus melawannya hingga akhir nafasnya. Keluarga Umar termasuk Outlander atau pendatang, sebagian besar tetangganya tak begitu menyukainya, beberapa dari tetangga juga secara terang-terangan memberi label kepada Umar: "Sekarang Umar jadi kere, merantau saja harus jual sebagian rumah."

Hati perih, jiwa tergores, air mata mengalir, sang istri membesarkan tekadnya. Nasib harus diubah, meski harus melawan waktu yang memedihkan. Rumah yang berdinding bambu harus ia ubah menjadi bata merah hingga rayap tak sanggup menggerotinya. Bukan hanya itu, ada misi besar yang ada di kepala Umar, yaitu menunjukkan kepada para penganut kebencian, pendengki, bahwa semangat mampu merobek sebuah takdir, semunya ada masanya. Kehidupan akan terus bergerak, roda pedati terus berjalan. Kadang kita di bawah dan di atas. Takdir akan berlaku adil kepada siapapun yang berani mengubah nasibnya sendiri.


Menggendong tas lusuh di punggung, Umar melangkah menuju titik kumpul. Di sana Umar akan di jemput dengan Bus Malam yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Priuk, dari pelabuhan ini Umar akan berlayar menaiki kapal PELNI menuju Tanjung Pinang. Sebuah Perjalanan yang tidak mudah, Umar membulatkan tekad bahwa dengan merantau dapat memupus segala kelaraan, kemiskinan, dan mengubahnya menjadi titik balik semangat pembuktian, sebaik-baik penghinaan adalah membuktikan diri lebih baik dari para penghina.

0 Comments:

Posting Komentar