Di luar itu, sayembara adalah alat pendorong orang untuk menulis karya hingga rampung. Apa pun alasan yang mendasari tindakan orang untuk menyertakan karya mereka ke dalam sayembara, tindakan yang dilakukan selalu sama. Mereka harus merampungkan tulisan pada batas waktu tertentu, karena pengiriman naskah mereka tidak bisa melewati batas waktu yang ditentukan. Dan mereka tidak bisa menyertakan ke dalam lomba naskah yang setengah rampung.
Sebenarnya, hampir setiap minggu para penulis menyertakan tulisan mereka dalam sayembara rutin. Mereka mengirimkan naskah ke redaksi koran, dan redaktur akan membuat "penjurian" untuk menentukan cerpen mana yang keluar sebagai pemenang minggu itu untuk dimuat di koran mereka. Redaktur bertindak sebagai juri yang akan menyeleksi naskah-naskah yang ia terima, dan kemudian memilih satu untuk dimuat di koran mereka.
Hal yang sama berlangsung dalam dunia penerbitan. Para penulis akan mengirimkan naskah mereka dan para redaktur penerbitan, dengan kriteria yang mereka tetapkan sendiri untuk menentukan "pemenang", akan memilih naskah-naskah yang ada di tangan mereka.
Hanya saja, dalam "sayembara" yang jurinya adalah para redaktur koran atau penerbitan, penilaian seringkali dipengaruhi oleh siapa penulisnya. Itu aspek non-satra yang memiliki pengaruh cukup besar bagi redaktur untuk menentukan naskah yang layak dimuat. Sementara dalam sayembara novel seperti yang diselenggarakan oleh DKJ, variabel "nama besar" tidak akan pernah mengganggu penjurian karena dewan juri tidak pernah mendapati nama para penulis dalam naskah-naskah yang mereka hadapi. Pertarungan menjadi lebih adil karena satu-satunya yang menjadi bahan pertimbangan untuk memilih pemenang adalah kualitas karya-tidak peduli siapa pun penulisnya.
Dua kali terlibat dalam sayembara novel DKJ sebagai juri dan mendengarkan pertanggungjawaban juri pada sayembara beberapa tahun lalu, saya mencatat bahwa masalah utama bagi kebanyakan naskah peserta sayembara adalah keperajinan (craftmanship). Dan itu masalah yang masih muncul sampai sayembara terakhir tahun ini. Ini tanggung jawab institusi pendidikan kita. Karena itulah dalam kesempatan ini saya menyinggung-nyinggung masalah infrakstruktur.
Jika institusi pendidikan kita memiliki kesadaran lebih serius untuk membekali siswa dengan kecakapan menulis dan tahu cara meningkat minat baca siswa, maka kelemahan dalam hal-hal yang elementer niscaya bisa lebih mudah diperbaiki. Jika menulis diajarkan secara lebih benar, oleh guru yang menguasai bidang itu, orang tidak harus melakukan pencarian yang terlalu keras untuk memahami hal-hal yang elementer. Jika urusan semacam ini tidak ada dalam pikiran, kita tidak akan pernah mewujudkannya. Atau seringkali ketika kita mulai menyadari hal-hal yang perlu dilakukan, maka masalahnya sudah begitu parah dan tidak tahu dari mana harus dimulai.
Oleh A.S Laksana
0 Comments:
Posting Komentar