Seorang siswa kala itu tak berani untuk menatap wajah sang guru. Guru matematika itu pernah menendang bokong temanku. Ia tak membawa PR. Puncaknya setelah disuruh maju kedepan tuk mengerjakan soal yang tertulis di papan hitam. Baru selesai menggoreskan kapur putih untuk yang kesekian kali, guru itu menghardiknya keras-keras, bahkan meneriakinya dengan sebutan; "Dasar Otak Menir, Makan sayur kangkung mulu!" lalu sebuah tendangan menyusul sampai ia terhuyung-huyung keluar dari pintu kelas. "Siapa yang bisa menyelesaikan soal ini! suaranya lantang membahana. Runtuh semua persendian, lututku gemetar, jantungku berdenyut-denyut, separuh logikaku lenyap begitu saja, berganti dengan kecemasan luar bisa. Takut tak bisa mengerjakan soal matematika, sekaligus takut akan hukumannya, selain itu seluruh pikiranku akan terhenti manakala sangsi sosial yang kurasakan membuatku mual dan ingin kencing. Memang tak ada yang menertawaiku jika tak bisa mengerjakan soal, mereka juga merasakan bayang-bayang guru psikopat killer siap membabat siapa saja yang otaknya beku, bebal, soal aljabar.
Ia pun memanggil siswi perempuan tuk membawa hasil PRnya ke mejanya. Lalu mengerjakan soal di papan tulis. Guru Killer itu duduk sambil pandangannya ke langit-langit. Ketika buku PRnya sampai di tangan, dan dia membaca cepat-cepat. Karena sudah tahu alur pengerjaan dan juga jawabannya. "Otake Semenir! ucapnya sambil membuang buku PR siswi itu dilempar melalu jendela terbuka. Dan wajah gadis seputih tepung, dan bibirnya berkedut-kedut menahan tangis, bibir atasnya maju lima senti. Baru duduk siswi di kursi kayu coklat. Ia berdiri kembali. "Cepat ambil bukunya!"
Dua jam pelajaran adalah neraka sunyi tanpa api tekad pembelajaran, yang ada hanyalah kenyataan pahit atas kekecewaan yang menidih tipis sebuah mental anak desa dengan guru killer campur psikopat, psikopat dalam artian mahir menguliti setiap keberanian untuk berpikir tentang ilmu eksak yang selalu diajarkan tanpa ramah tamah. Yang ada merobek setiap jiwa dan menyeretnya dalam mimpi-mimpi buruk di penghujung malam, tanpa pernah merasakan kegembiraan setiap guru itu melangkah dari kantor. Kegeringan itu hadir ketika guru killer dan psikopat itu berhalangan hadir karena satu lain hal (istilah kata).
Kegembiraan sesungguhnya manakala pelajaran SBK, Seni Budaya dan Ketrampilan datang di jam berikutnya. Teman-Temanku menghela nafas panjang, air mukanya sedikit kendur, dan degup jantung mereka teratur sesuai hembusan nafas. Saat itu kami sama-sama menuliskan lagu beserta not-notnya. SEMALAM DI CIANJUR. Kami nyanyi bersama diiringi gitar yang enak dari Pak guru, guru yang masih muda, dan senyumannya selalu lebar, dan ia merangkap sebagai guru olahraga. Ia selalu mengacungkan dua jari, telunjuk dan jari telunjuk dan jari tengah sebagai bahasa tubuh ketika memberikan instruksi, dan tiap kali selesai mengajar ia selalu mlipir ke belekang sekolah untuk membuat api rokok kreteknya. Situasi semacam itu malah menenangkan mental kami. Ia seolah berpesan; Jangan Takut, jadilah Versi Terbaikmu. Kami selalu dirundung ketakutan manakala Pak Guru Matematika datang, dan Menjadi Diri Sendiri ketika guru Seni datang Membawa Gitar di tangan kanannya sambil melambaikan salam dua jarinya. Ia mengajarkan kekuatan sejati tentang sebuah pertahanan diri agar tidak stress dan mengakhiri hidup anak-anak ditiang gantungan. Itu sangat menyedihkan. Guru seni memberikan energi tentang memberi, merawat, berbagi, dan memastikan hati para murid selalu dalam keadaan stabil.
Sekolah pada ujung programnya meski tidak selalu begiu, selalu mengembangbiakkan pemikiran kreatif sampai mereka menemukan versi terbaik mereka untuk bekal hidup dan kehidupan.
0 Comments:
Posting Komentar