Rabu, 16 Juli 2025

Personal Calling

BABAK 88
Kalau guru sudah menemukan panggilan pribadi (Personal Calling) dalam mendidik anak-anak di sekolah, maka mereka akan melakukan, mencari, mengevaluasi, memperbaiki apa-apa yang kurang ketika mengajar dan memberikan materi kepada peserta didiknya pada puncak rantai ruh seorang guru. Ia akan melampaui cara berpikir yang umum. Tidak lagi mengajar mendidik sekadar untuk menggugurkan kewajibannya sebagai guru, tetapi ia akan menempatkan diri pada puncak marwah sebagai seorang guru. Ia mendampingi para peserta didik tidak lagi membuat seberapa besar harapan si anak tercapai, tetapi akan melakukan pendampingan dengan melibatkan seluruh panca indra yang dibungkus oleh hati yang terus lurus dan selamat dari pelbagai sikap dan sifat buruk yang sering menggerus niat seorang guru pada perjalanannya.

Guru yang sudah terpanggil hatinya, ukurannya tidak lagi materi sebagai target utama dalam misinya sebagai seorang pengajar. Jika target utama, yakni pucuk-pucuk duit, maka yang terjadi ia akan berhenti pada lingkaran pikiran seperti itu. Tidak salah sih, hanya saja mengurangi 'niat', katakanlah seperti, saya belum menemukan istilah yang tepat. Ini sangat dilematis, jika kalian berada pada posisi seperti ini, satu sisi anda berusaha menunjukkan tekad seorang guru, di sisi lain ada peran lain sebagai juru pendidik. Saya kira luruskan niat sempurnakan ikhtiar, adalah kata yang tepat untuk saat ini. Serta tidak mengabaikan konsep keseimbangan, uang, Tuhan, keluarga, pengabdian, serta dapur. 

Ada hal yang lebih besar ketika anak-anak bisa memikul seluruh kemandirian, dan bisa dicicil ketika dalam hidup dan kehidupannya yang mereka hadapi. "Hati akan tersentuh oleh Hati" begitulah Aa Gym selalu memberikan petuah pada kajian subuh ketika saya mendengarkan beliau pada kurun waktu 2000an. "Dan hati itu ibarat teko, kalau isinya susu yang keluar susu, bila isinya comberan, yang keluar pun isinya comberan. Maka, rawatlah hati sebagai kalian merawat mesin." tambahnya. Materi memang penting, misalnya uang, tetapi ia efek saja dari seluruh rangkaian aktifitas pekerjaan yang dilakukan oleh seorang guru. "Sah nggak kalau mengajar ingin mendapatkan uang". Ya sah saja, mereka masih memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya, simak saja guru honorer yang tidak hanya melibatkan sisi hatinya tetapi harapan besar pada uang ketika ia selesai mengajar. Dalam dunia pelayanan pendidikan, selalu saja ada pengecualian yang mesti di tolerir sebagai bentuk memanusiakan manusia, katakanlah seperti itu. Saya pikir guru honorer yang setia dengan gaji seperti yang kita dengar, mereka telah melibatkan seluruh panca indera dan kemanusiaan untuk menjadi pejuang bagi peradaban bangsa. Pada titik inilah mereka yang duduk di singga sana mestilah merenung sedikit, dan berhenti untuk bercakap-cakap, sudah saat mereka turun gunung memberi mereka harapan yang lebih besar, dari pada sekadar untuk terus menggaungkan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sudahi betul, beralihlah pada wilayah yang nyata dan berdampak. Mereka telah melewati fase yang berbeda, dan sudah selayaknya kita perlu mengangkat topi, memberi hormat setinggi-tingginya. Dalam hal ini kita perlu merunduk pada guru yang telah mengeluarkan api tekad sepanas-panasnya, hingga api yang panas terasa dingin, seperti mukjizat nabi Ibrahim, guru pada level itu amatlah sukar untuk mengkategorikan, apalagi memberi label tertentu. Pada posisi apa mereka sebenarnya, jawabannya mereka pada tipe pewaris para nabi, yang pengorbanannya tiada banding.

Begitu juga sebaliknya, guru yang sudah "melimpah" dalam arti tertentu, hingga tak lagi menemui kesulitan yang sering dibayangkan oleh guru yang sudah "layak" dalam arti tertentu. Mungkin ini kurang tepat, tetapi saya tidak bermaksud untuk membandingkan satu sama lain. Kadang nasib dan kerja didiknya akan memperjelas siapa seberapa besar "nyali" seorang guru dalam menghidupkan api tekad dalam dirinya. Cekap semanten.

0 Comments:

Posting Komentar